Penulis: Bimo Adi Kresno
Mari kita mengingat kembali perjuangan sembilan perempuan yang mempertahankan wilayah mereka di Kendeng, Rembang, Jawa Tengah. Masih jelas dalam ingatan, bagaimana aksi yang mereka lakukan sebagai wujud protes terhadap kejamnya ketidakadilan. Mereka rela mengecorkan semen ke kaki mereka selama sepekan di depan Istana Negara pada 12 April 2016 silam. Semen yang mengeras tersebut seakan menggambarkan betapa kerasnya kehidupan yang membuat mereka sengsara. Pantas rasanya, jika keberanian tersebut membuat mereka disejajarkan dengan sosok perempuan pemberani dalam pewayangan: Srikandi.
Pada 26 Juli 2016 lalu, Srikandi Kendeng kembali melakukan aksi untuk menagih janji berdialog dengan Presiden Jokowi. Belasan rekan pun mereka ajak untuk ikut serta melancarkan aksi tersebut. Namun ada yang berbeda dari aksi mereka kali ini. Bukan lagi mengecor kaki dengan semen, kali ini mereka mendirikan tenda bertiang penyangga para lelaki Kendeng yang bergantian menyangganya. Tindakan ini menggambarkan kondisi kehidupan mereka di Kendeng yang harus hidup di tenda semenjak kedatangan PT Semen Indonesia di wilayah karst tempat mereka tinggal dan mencari nafkah selama ini.
Setelah aksi selama sepekan, perjuangan mereka pun berbuah hasil. Mereka bisa bertemu dan berdialog dengan Jokowi pada 2 Agustus 2016 di dalam Istana Negara. Mereka meminta presiden untuk melakukan tindak lanjut atas pendirian pabrik semen di daerah Kendeng. Mereka juga meminta izin pendirian pabrik dihentikan dan melakukan beberapa evaluasi dan kajian mengenai dampak pendirian tersebut. Salah satunya adalah melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) terhadap pendirian pabrik semen. Kajian ini didasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, mereka mengingatkan Jokowi bahwa adanya peraturan daerah tentang pengelolaan suber daya alam di daerah Kendeng yang perlu dikaji ulang. Akhirnya, Jokowi berjanji segera memerintahkan Kepala Staf Presiden (KSP) sebagai koordinator untuk memulai pengusutan. Terakhir, mereka juga menanti dialog antara pihak korporasi dengan masyarakat Kendeng yang juga dijanjikan oleh sang presiden.
Mengakarnya pijakan kapitalisme
Kasus Kendeng mengingatkan kita bagaimana manusia sangat dekat dengan alam. Indonesia kaya dengan sumber daya alam, baik secara varietas maupun bentang luasan yang sebenarnya tak terhitung. Dalam kurun waktu lama, masyarakat sekitar yang setiap hari bercengkrama dengan alam dan memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan memiliki ikatan batin yang kuat dengan alam. Hal ini mengindikasikan ketergantungan masyarakat sekitar terhadap alam memang tidak dapat dipungkiri. Pun nasib kelestarian alam juga bergantung dengan manusia. Apakah manusia memanfaatkan secara benar dan menggunakan akalnya sehingga alam akan tetap lestari atau sebaliknya? Tak terbatas waktu dan ruang, manusia dengan alam di sekitarnya akan menjadi sebuah rantai kehidupan yang saling membutuhkan dan tak terpisahkan.
Sayangnya, dewasa ini kapitalisme bak menjajah dan menjarah seluruh ruang. Ruang-ruang kehidupan, tak peduli apakah alam atau manusianya, telah dijarah untuk memenuhi keegoisan mereka. Implementasinya, kapitalis membentuk korporasi yang mendengungkan narasi aktivitas produksi sebagai dalih. Bukan hanya itu, dalih untuk pembagunan pun digaungkan. Korporasi selaku pelaku pasar yang mengusai modal akan selalu mengekspansi dirinya untuk terus berkembang. Disadari atau tidak, korporasi selalu berpotensi mengorbankan lingkungan sekitar untuk memperlancar kegiatan produksi. Jika dikaitkan dengan kasus di Kendeng, korporasi yang datang ke daerah tersebut berusaha mengeruk keuntungan dengan menggali pegunungan kapur. Akibatnya, aktivitas tersebut berdampak pada kerusakan alam seperti hilangnya mata air yang sekaligus mematikan mata pencaharian masyarakat sekitar.
Tidak hanya pegunungan karst Kendeng, masih banyak permasalahan yang mengakibatkan ketidakseimbangan kondisi alam. Di Indonesia, kaum pemodal selalu menjadi aktor utama. Sebagai contoh, proyek reklamasi dapat dengan mudah dijalankan di daerah pesisir Jakarta, Surabaya, dan Teluk Benoa. Melihat kondisi ini, dapat dibayangkan bagaimana kondisi masyarakat pesisir yang mayoritas menjadi nelayan. Proyek reklamasi jelas-jelas membuat jalur penangkapan ikan menjadi tertutup. Tak hanya itu, kondisi tersebut juga sangat berpengaruh terhadap kehidupan biota laut. Ancaman matinya mata pencaharian masyarakat sekitar sudah jelas membayang di depan mata.
Persoalan lain yang tak kalah mengkhawatirkan ialah pesatnya pembangunan hotel yang terlepas dari pengawasan. Seringkali pembangunan hotel mengorbankan sumber daya di sekitar kawasan itu, yang tentunya merugikan alam maupun masyarakat sekitar. Seperti halnya aliran air yang mati akibat pengambilalihan kawasan mata air oleh bangunan hotel. Sumber air yang seharusnya dilestarikan dan dimanfaatkan secara arif dan bijaksana bagi kepentingan masyarakat luas justru dikuasai segelintir orang untuk kepentingan pribadi. Bisa dibayangkan betapa menderitanya kehidupan masyarakat sekitar yang kesulitan memperoleh air sebagai kebutuhan yang vital dalam mempertahankan hidup.
Selain reklamasi dan pembangunan hotel, kita pun sering mendengar kisah pilu tentang penggusuran sepihak lahan tempat tinggal warga. Lagi-lagi ini menjadi dalih kapitalis untuk memutar modalnya. Penggusuran tersebut biasanya dilakukan dengan tujuan mengosongkan lahan pemukiman warga yang nantinya akan digunakan untuk membangun apartemen ataupun rumah-rumah berlabel mewah. Naas, penduduk miskin yang jumlahnya tidak sedikit harus kehilangan rumah mereka. Dapat dipastikan setelah bangunan baru tersebut jadi, hanyalah orang-orang mampu yang mampu menghuni. Nyatanya, rumah yang dijual untuk kelas menengah keatas tersebut tidak semua terisi. Bahkan dapat kita lihat, banyak dari rumah mewah tersebut yang kosong. Terlihat mubazir bukan? Sementara itu mereka, para korban penggusuran, harus bersusah payah melanjutkan kehidupan. Hal ini mengingatkan pada sebuah ungkapan, “More home less people, more people homeless”.
Keberpihakan pemerintah dipertanyakan
Kasus-kasus pengeksploitasian alam sering kali berjalan mulus. Perselingkuhan antara pihak pemodal dengan pemerintah sudah bukan lagi menjadi rahasia. Rakyat hanya bisa menelan ludah saat kepentingannya terpinggirkan demi keserakahan pihak-pihak tertentu. Seperti halnya kasus pegunungan kapur di Kendeng, regulasi dari pemerintah membuka jalan bagi para kapitalis untuk menduduki wilayah pertambangan kapur ditambah dengan persekongkolan dalam pembuatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang mudah direkayasa. Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pembuatan AMDAL, membuat AMDAL bisa dimanipulasi. Pemerintah yang seharusnya memiliki andil besar dalam menyejahterakan rakyat, perlu dipertanyakan ketegasannya. Seharusnya pengawasan dalam pembuatan regulasi di setiap daerah harus diawasi secara ketat. Hal ini bertujuan untuk menjamin keadilan yang tidak merugikan salah satu pihak dan mencegah potensi munculnya celah-celah tertentu yang membahayakan kelestarian alam suatu kawasan. Apalagi di era investasi dalam negeri yang sedang digaungkan sebagai jalan pembangunan seperti saat ini, seharusnya pemerintah pusat juga membenahi berbagai regulasi mulai dari tingkat paling bawah hingga paling atas. Tujuannya ialah mencegah kerugian materiil dan psikologis yang berpotensi dialami manusia dan kerusakan alam sebagai dampak gencarnya proyek pembangunan.
Berdasarkan Teori Kontrak Sosial yang dikemukakan oleh John Locke, negara dibentuk atas dasar perjanjian bersama masyarakat di dalamnya sehingga sudah menjadi kewajiban negara untuk menjamin kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Ironisnya, rakyat mana yang saat ini disejahterakan oleh negara? Rakyat Indonesia atau hanya golongan kapitalis yang kemudian bersekutu dengan negara untuk menjadi penindas baru? Rakyat pun dikorbankan demi kepentingan sepihak dan suara rakyat seringkali tidak diikutsertakan dalam pengambilan suatu keputusan yang vital. Sehingga merugikan satu pihak yaitu rakyat itu sendiri. Hal ini menjadi ironi ketika kondisi negara yang sudah merdeka tetapi rakyatnya belum. Menjelang dirgahayu Republik Indonesia ke-71 ini, patut kita pertanyakan, bukankah nasib rakyat masih sama tertindasnya dengan masa kolonialisme? Hanya saja saat ini penjajahnya adalah saudara sendiri.
Kawal janji presiden
Setelah beberapa aksi yang dilakukan oleh Srikandi di Istana Negara mulai kurun beberapa bulan terakhir, akhirnya menemui titik terang. Pihak kepresidenan berjanji untuk mengupayakan kajian serta dialog yang diminta masyarakat Kendeng. Selain itu, pihak kepresidenan juga turut mengkoordinir KLHS. Sebagai bagian dari rakyat Indonesia, mari kita ikut mengawal janji presiden ini. Tidak hanya berhenti di Kendeng, tidak lupa juga kita ikut mengawasi kebijakan atas masalah-masalah lain yang berkaitan erat dengan lingkungan hidup. Selain itu, juga mengawasi kebijakan yang berkaitan dengan investasi yang memungkinkan keberpihakannya tidak kepada rakyat, supaya tidak ada lagi pihak yang dirugikan. Selaku presiden, Jokowi seharusnya tidak hanya mampu mendengar cerita rakyatnya yang terkena dampak pembangunan dimana keadilan sering kali tidak pada tempatnya, namun juga mampu menjamin kehidupan rakyat dengan kesejahteraan yang berwujud konkret. Semoga kasus-kasus yang berkaitan dengan lingkungan hidup diluar kasus Kendeng juga mampu diusut tuntas. Pun suara rakyat ikut didengar dan diikutsertakan. Sehingga, sila kelima dari Pancasila ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ mampu diimplementasikan dan bukan khayalan semata.
Ilustrator: M. Yusuf Isma’il