Penulis: Iko Dian W/Administrasi Bisnis 2015
Lebih dulu mana antara pembangunan, alam, atau manusia? Lalu, manakah yang akan berakhir lebih dulu: manusia, pembangunan, atau alam? Atau bahkan semuanya memulai dan berakhir secara bersama-sama. Ya, pertanyaan sederhana bermunculan seiring dengan perubahan-perubahan yang ada. Perjalanan dimulai bukan “dari mana” tapi “apa sebenarnya”, itu saja. Perubahan tak jauh kaitannya dengan kata “kreativitas”, dan di dunia ini hanya manusia yang memiliki kemungkinan untuk kreatif yang bisa mewujudkannya.
Melihat hal ini, secara terpaksa kita harus menyelam ke dalam filsafat antropologi.
Ketika seorang bayi manusia dilahirkan, dia belum menjadi apa-apa. Kata kaum eksistensialis: “Ketika kau berhadapan dengan seorang bayi yang baru dilahirkan, hanya satu ketentuan yang dapat kau katakan tentang bayi itu secara hampir pasti, ialah bahwa dia pada suatu saat akan mati.” Tidak ada lagi yang dapat kita katakan tentang ketentuan dari seorang calon manusia.
Berbeda ketika kita melihat seekor bayi hewan misalnya. Seekor bayi hewan telah memiliki esensi hidupnya dan mengetahui fungsi-fungsinya. Seekor kambing tahu apa yang harus dimakannya. Semua itu telah diatur oleh insting-insting nya. Dia telah memiliki esensinya sebagai kambing. Dia telah larut dalam alamnya secara hampir sempurna seperti gula larut dalam air dan alam seakan telah menggariskan hidup yang akan ditempuhnya nanti.
Namun, manusia berbeda dengan hewan. Manusia seakan rapuh untuk menyatu dengan alam. Seoalah-olah diantara manusia dan alam ada sebuah jarak. Untuk mengetahui dirinya manusia harus mencoba-coba, mereka seakan-akan terbengkalai di tengah-tengah alam. Disinilah letak kekurangan manusia, tetapi disitu pula letak kelebihan manusia. Karena ini berarti manusia memiliki kebebasan dan kemungkinan yang terbuka. Tidak hanya sekedar memiliki sebuah kemungkinan, manusia bahkan adalah sebuah kemungkinan itu sendiri. Sebab, manusia membentuk dan mengembangkan dirinya sesuai dengan apa yang diinginkannya. Oleh karena itu pengertian sebuah dosa hanya pada manusia, bukan hewan. Karena kebebasan dan kemungkinan itu adalah manusia, meskipun telah ada batas-batasannya.
Manusia itu sebenarnya terbengkalai di alam. Ia menuntut untuk bangkit dan mengurus dirinya sendiri. Dia harus menjadikan dirinya sesuatu dan yang dituju manusia adalah ego idealnya. Manusia akan mencari-cari nilai yang kurang sempurna untuk diarahkan kearah yang paling sempurna. Dan karena yang paling sempurna itu adalah Tuhan, maka kata Sartre: “Manusia bercita-cita menjadi Tuhan” (Budiman, 2006). Kita mendapat sebuah gambaran seperti apa manusia terbengkalai di alam, oleh karena itu manusia harus membentuk dan mencari sampai menemui dirinya. Kebahagian manusia baru bisa diperoleh ketika dirinya menjadi pribadi yang berharga dan mampu berdiri sebagai individu. Dapat dikatakan, justru karena manusia lahir tanpa memiliki esensinya itu, mereka mencoba mencari harga diri agar dirinya menjadi berharga.
Manusia seakan-akan telah memberontak karena alam telah mengabaikannya. Mereka tidak pasrah pada alam dalam mencari esensinya sehingga mereka merubah alam itu. Manusia berusaha menjadikan dirinya sesempurna mungkin, di mana alam pada kenyataan harus mengabdi kepadanya. Kita mendapati bahwa sekarang alam telah dikuasai manusia. Ketika alam menyediakan hal-hal yang tidak praktis untuk hidup, manusia akan berusaha mencari kemungkinan-kemungkinan yang dirahasiakan alam agar kemudian menjadikan hal yang lebih praktis. Kemudian muncul teknologi, manusia telah menunjukan bahwa dia mampu mencari dan sanggup menemui rahasia-rahasia tersebut. Kelahiran dari teknologi merupakan hasil hubungan yang kurang ramah antara manusia dengan alam. Dapat kita bayangkan kewaspadaan seorang perompak atau bajak laut yang sedang melihat kapal barang besar dan kemudian membajaknua untuk mencari barang berharga, kerahasian itu seoalah-olah dirahasikan alam, sedang sang perompak berusaha untuk mengeksploitasinya.
Kata pepatah: “Tidak ada yang abadi di dunia ini selain perubahan”. Namun perubahan yang seperti apa yang kemudian manusia tawarkan kepada alam? Apakah perubahan yang membawa manusia ke masa yang lebih istimewa adalah masa dimana alam terabaikan atau sebaliknya? Kita melihat bahwa alam sekarang sudah tidak bersahabat, manusia berlomba-lomba untuk menguasai dan menjadikan alam sebagai bahan perubahan. Jika ditelaah, sebenarnya alam tercipta untuk dimanfaatkan oleh manusia. Sebab manusia adalah makhluk termulia di bumi ini, maka segala sesuatu memang disediakan untuknya.
Diantara tugas manusia, yaitu memanfaatkan alam dan tenaga yang dikandungnya guna memenuhi keperluan dan kebutuhannya pun juga teman-temannya. Hubungan manusia dengan alam adalah manusia sebagai pemanfaat, dan bukan sebagai saingan yang bermusuhan. Tidak seharusnya manusia mengeksploitasi alam. Bahkan yang lebih tragis nya lagi adalah manusia yang tidak memanusiakan manusianya dengan mengeksploitasi alam untuk sebuah teknologi.
Tidak usah jauh-jauh teknologi yang ada disekitar kita misal smartphone. Apabila kita menongok kasus di Republik Demokratis Kongo misalnya, kita tahu bahwa Afrika sebagai salah satu produsen kobalt terbesar didunia. Perlu kita ketahui bahwa kobalt adalah salah satu bahan baku baterai lithium pada teknologi smartphone yang sekarang biasa kita gunakan sehari-hari. Lebih dari 40.000 anak yang rata-rata usianya di bawah umur malah harus bekerja di areal pertambangan yang memiliki resiko bahaya yang tinggi. Anak-anak dibawah umur itu harus memikul berkilo-kilo hasil tambang kobalt setiap hari dengan upah yang tidak sebanding dengan jam kerja 12 jam/hari. Padahal, seharusnya mereka dapat mengenyam pendidikan dan mendapatkan perlindungan.
Paul (14), salah seorang anak pekerja tambang tersebut bahkan telah 2 tahun sakit-sakitan akibat melakoni pekerjaan yang tidak manusiawi tersebut. “Saya bisa bekerja 24 jam penuh. Datang pagi dan pulang keesekon paginya. Ibu angkat saya ingin saya sekolah. Tapi ayah angkat saya memaksa saya bekerja di tambang,” kata dia, sebagaimana tertera pada situs resmi lembaga pegiat hak asasi Amnesty USA, dan dihimpun Kompas Tekno, Rabu (20/1/2016). Sekarang sudah 2 tahun dia sakit-sakitan akibat pekerjaan yang tidak manusiawi.
Kesadaran kita hanya masih terfokus pada apa yang kita gunakan. Sudahkah kita berfikir dari mana asal dari apa yg kita gunakan? Misalnya saja adalah baterai pada smartphone tadi. Masih banyak yang belum menyadari bahwa smartphone yang kita gunakan sehari-hari ini bisa jadi menggunakan baterai hasil dari tindakan yang tidak memanusiakan manusia dengan alam sebagai bahan baku lnya. Siapa yang kemudian akan berakhir terlebih dahulu: manusia, alam atau perubahan yang dikatakan abadi? Seakan semuanya tidak berdampingan secara serasi, masih ada yang selalu merasa ingin diuntungkan. Sekarang manusia dan alam semakin berjarak oleh perubahan yang terus berdatangan.