Penulis: Jo Cigo
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar di era globalisasi dan juga sebagai indikator maju tidaknya suatu negara. Dengan pendidikan pula kita dapat mengetahui peradaban suatu bangsa, karena berhasil atau tidaknya pendidikan di sebuah negara dapat mempengaruhi negara tersebut di kemudian hari. Demi terwujudnya kehidupan yang berperadaban, maka pendidikan haruslah memanusiakan manusia. Sebagaimana pendapat salah satu tokoh pendidikan Paulo Freire, ia mengatakan, “Orang yang buta huruf adalah manusia kosong dan itu adalah awal dari penindasan.”
Sedangkan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan. Upaya kebudayaan (pendidikan) dapat ditempuh dengan sikap (laku) yang dikenal dengan Teori Trikon, yakni kontinu, konsentris, dan konvergen.
Dengan kata lain, tugas pendidikan adalah sebagai proses dialektika yang memanusiakan manusia dan juga mengembalikan sifat hakikat manusia tersebut seoptimal mungkin. Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia. Dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang seperti yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif).
Namun belakangan ini kita kerap mendengar kalimat-kalimat “komersialiasasi pendidikan merupakan salah satu cara kapitalis”, “pendidikan sekarang mendehumanisasi manusia”, atau “pendidikan sekarang diciptakan untuk mencetak manusia yang dapat memenuhi kebutuhan pasar”. Kemudian apabila kita rangkum dari beberapa kalimat tersebut, maka akan timbul suatu pertanyaan, “Untuk apa pendidikan itu ada?”. Apabila pendidikan sekarang mendehumanisasi dan hanya berorientasi pada kebutuhan pasar.
Memang benar jika proses pendidikan memerlukan sarana, prasarana, dan keuangan untuk menunjang proses pendidikan yang baik. Tetapi hal ini tidak dapat dijadikan sebagai suatu alasan untuk mengkomersialisasikan pendidikan. Karena persoalan pendidikan telah diatur dalam UUD 1945. Di dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dinyatakan bahwa kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan merupakan tanggung jawab negara.
“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Kemudian pada Pasal 31 ayat (1) dikatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan Pasal 31 ayat (2), “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Dari peraturan tersebut dapat kita artikan bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Dan pendidikan merupakan salah satu program yang dibiayai oleh pemerintah.
Tetapi dapat kita lihat belakangan ini, banyak sekali cara-cara yang dilakukan untuk mengkomersialisasikan pendidikan. Salah satu contohnya adalah meningkatnya biaya pendidikan. Biaya pendidikan ini meliputi uang gedung, SPP, uang kegiatan, dan lain-lain. Memang keuangan dalam dunia pendidikan merupakan salah satu hal yang penting, tetapi bukanlah segalanya. Apabila sekolah “memalak” murid-muridnya dengan berbagai embel-embel alasan yang menyangkut pendidikan tetapi sebenarnya hanya demi memenuhi kebutuhan laba, tanpa adanya perkembangan pola, sistem, dan implementasi pendidikan yang baik. Maka ini dapat membahayakan esensi dari pendidikan itu sendiri.
Dengan mahalnya pendidikan yang ada, maka hanya ada sebagian golongan masyarakat saja yang dapat menikmati manisnya pendidikan. Sedangkan masyarakat yang tidak sanggup membayar pendidikan yang sudah jelas menjadi haknya, hanya bisa menggigit jari. Masyarakat yang tidak dapat menikmati manisnya bangku sekolah pun harus siap menjadi korban penindasan karena buta huruf. Dan segala bentuk penindasan terhadap manusia yang merupakan tindakan tidak manusiawi atau dehumanisasi.
Dengan sistem yang mahal harganya ini, maka mereka akan dididik bukan untuk menjadi manusia yang seutuhnya. Melainkan manusia yang mengaggungkan materinya, manusia yang menganggap bahwa uang dan materi merupakan segalanya. Dengan uang mereka dapat mendapatkan ilmu, dengan uang mereka dapat mendapatkan pekerjaan, dan hanya dapat berpikir bagaimana caranya mendapat uang sehingga mereka dapat menyekolahkan anaknya.
Adapun sistem komersialisasi dalam perguruan tinggi sudah mulai marak, bukan hanya dari kampus swasta yang mahal harganya. Tetapi juga mulai marak ke dalam institusi pendidikan negeri dengan program pemerintah yang telah disahkan ke dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikaan Tinggi yang berimplikasi pada berubahnya status beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum atau yang biasa dsingkat PTN –BH.
Dalam sistem PTN-BH, perguruan tinggi dituntut untuk menjadi sebuah lembaga pendidikan yang mandiri, tetapi masih dapat menggunakan kekayaan negara. Dengan kondisi tersebut, perguruan tinggi tersebut mau-tidak mau harus memiliki kemandirian dalam pendanaan. Salah satu cara perguruan tinggi yang telah berstatus PTN-BH adalah mendirikan badan usaha komersial atau mendapatkan dana dari pihak ketiga yang justru akan berdampak pada sifat otonom Perguruan Tinggi Negeri yang kemudian membawa PTN tersebut ke arah komersialisasi.
Dengan kata lain, PTN-BH merupakan bentuk privatisasi terhadap dunia pendidikan dan pelepasan tanggung jawab pemerintah terhadap dunia pendidikan. Dari lepasnya tanggung jawab pemerintah, maka akan berdampak pada pembuatan kebijakan-kebijakan kampus yang dibuat secara mandiri. Dapat kita simpulkan bahwa status PTN-BH yang diterapkan merupakan salah satu contoh bahwa faham neoliberalisme telah merambah dunia pendidikan.
Lalu sebuah pertanyaan akan muncul, apabila sebuah perguruan tinggi tidak mampu menjalankan tugas mandirinya dalam memenuhi anggaran pendidikan, maka apa solusinya? Mungkin yang menjadi solusi terakhir dari gagalnya sistem pendidikan ini adalah naiknya uang pendidikan itu sendiri. Dari meningkatnya uang pendidikan, maka akses untuk mendapatkan pendidikan akan semakin sulit. Kemudian berdampak pada meningkatnya angka putus sekolah akibat dari ketidakmampuan membayar biaya pendidikan. Maka kalimat yang mampu menggambarkan kondisi seperti itu adalah “orang miskin dilarang sekolah”.
Pada akhirnya saya mengutip kalimat dari seorang Ki Hajar Dewantara “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidikan hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu”. Dengan kata lain, pendidikan memiliki hakikat sebagai memanusiakan manusia. Bukan mematerikan manusia.