Radix malorum est cupiditas
Akar dari kejahatan adalah nafsu.

Sepakbola merupakan salah satu olahraga yang paling digemari di dunia. Bukan hanya Indonesia, seluruh bagian bumi pun mengetahui olahraga ini. Sepakbola telah mengalami berbagai perubahan seiring dengan berjalannya waktu. Dari sebuah olahraga tradisional yang umum dimainkan di pedesaan hingga berevolusi menjadi sebuah olahraga yang ‘mahal’. Akan tetapi, sepakbola tetap memiliki marwah yang sama, terutama pada penikmatnya.

Berbicara sepakbola di Indonesia, ingatan saya tidak terpisah oleh pemain-pemain Mutiara Hitam, Papua. Teringat ketika Oktavianus Maniani atau yang biasa dikenal Okto meliuk-liuk di antara pemain lawan pada Kejuaran AFF Suzuki tahun 2010. Sebeleum Okto, telah dikenal akrab Titus Bonai atau Boaz Salosa yang sama-sama memperkuat tim Mutiara Hitam, Persipura Jayapura. Lebih jauh lagi kita tengok ke belakang ada Ellie Aiboy, Eduard Ivakdalam, atau Erol Iba. Pesona sepak bola Indonesia tidak pernah lepas dari lenturnya ‘goyangan’ pemain Papua di atas lapangan hijau.

Pada semifinal AFF tahun 2016 ketika Boaz berhasil mengeksekusi penalti kontra Vietnam, hampir seluruh masyarakat Indonesia bersorak sorai. Goal Boaz berhasil mengunci kemenangan Indonesia dan memantapkan satu kakinya di partai final. Sebuah momen ketika masyarakat Indonesia bergembira atas jasa pemain asli tanah Papua. Semua seolah bersatu dalam sebuah kegembiraan atas nama kebanggaan bangsa dan negara.

Lunturnya Kebersamaan
Tak terasa hampir tiga tahun yang lalu ketika kita semua bergaung sama-sama menyoraki gol yang dicetak oleh seorang Pace. Namun, seiring berjalannya waktu gaung kebersamaan tersebut semakin redup. Bukan karena kebersamaan yang tak terawat, tetapi karena pola pikir yang terjebak. Menanggapi dari tulisan seorang sobat yang mengangkat stigma terhadap mahasiswa Papua, mungkin akan mucul rasa tidak adil ketika kita semena-mena menuduh masyarakat Papua sebagai biang kerok dari setiap masalah, tapi itulah yang terjadi.
Jumat, 16 Agustus 2019 di depan Asrama Mahasiswa Papua Kota Surabaya, ujaran rasial dikumandangkan dengan penuh amarah dan benci. Seakan-akan mereka bukanlah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kejadian ini bukan hanya sekali, tapi sudah acap kali. Seperti yang dilaporkan oleh Tirto.id dalam Rubrik Sosial Budaya “Kita Orang Papua Diperlakukan ‘Seakan Kitorang Setengah Binatang’”. Stigma terhadap masyarakat Papua yang berada di luar tanah kelahiran mereka sangatlah kuat, hingga sering melahirkan diskriminasi. Stigma-stigma tersebut didaur ulang terus-menerus oleh media massa melalui judul yang menyudutkan orang Papua. Dalam salah satu tulisan Wisnu Prasetyo Utomo di Remotivi, berita-berita bernada rasisme yang ditulis media dapat mempengaruhi publik dan menjadikan berita sebagai legitimasi untuk melakukan aksi-aksi kekerasan.

Stigma akan buruknya teman-teman Papua menciptakan kekerasan kultural yang terus menerus didaur ulang. Sikap-sikap antipati yang terus dilakukan kepada masyarakat Papua di luar tanah kelahirannya membuktikan bahwa ada garis pemisah yang jelas antara ‘aku’ dan Papua. Entah apa yang menyebabkan ini, yang pasti bukanlah proses singkat. Sikap selalu merendahkan yang lain juga berpengaruh terhadap langgengnya siklus diskriminasi terhadap hal yang berbeda di antara kita. Acap kali hal tersebut mengundang hinaan rasial dan menyudutkan mereka yang berbeda secara fisik.

Hinaan rasial dan kekerasan yang terjadi di Surabaya beberapa hari yang lalu, merupakan bukti kuat bahwa terdapat subjek yang merasa jauh lebih tinggi derajatnya dibanding dengan subjek lawan bicaranya. Sungguh hal yang berbanding terbalik ketika kita melihat Okto, Ellie, atau Boaz saat mereka menggiring bola atau mencatatkan nama di papan skor. Mereka yang mengejek mahasiswa Papua seolah-olah lupa dengan jasa Tanah Papua, seolah-olah mereka lupa bahwa Papua salah satu penyumbang migas terbesar di negeri ini.

Sikap Banal Manusia dan Negara
Manusia sejatinya merupakan Homo Homini Socius yang berarti manusia merupakan teman bagi sesamanya. Namun, sifat tersebut dapat berbalik seratus delapan puluh derajat menjadi Homo Homini Lupus yang berarti manusia merupakan serigala bagi sesamanya. Konteks serigala yang saya maksud berarti secara sadar dapat melukai secara fisik maupun verbal terhadap sesamanya. Tindakan melukai tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah kejahatan dan secara alamiah terdapat di setiap makhluk hidup termasuk manusia. Namun apabila sifat-sifat kejahatan tersebut selalu dipupuk hingga menumpulkan sikap-sikap kelembutan hati, lantas apa yang membedakan manusia dengan seekor serigala?

Hannah Arrendt, seorang filsuf pernah menuliskan sebuah laporan ketika ia mewawancarai mantan tentara Nazi. Dalam tulisannya ia mengatakan bahwa kejahatan yang paling keji adalah kejahatan yang tidak disadari. Banalitas kejahatan. Mereka akan menganggap sebuah tindakan yang sebenarnya jahat, namun mereka hanya bersikap biasa saja atau bahkan mewajarinya.

Banalitas Kejahatan dalam menanggapi kasus Papua pun kerap terjadi. Di Indonesia sendiri, sudah banyak daftar kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat, organisasi masyarakat (ormas), paramiliter, aparat, atau bahkan negara. Hal ini bukan hanya sekedar mempertahankan harga diri, namun rasa yang mulai mati. Sisi kemanusiaan yang mulai terkikis akibat dangkalnya pola pikir. Cinta akan sesuatu bukan tentang mengorbankan, tetapi tentang memberi dengan setulus hati. Inilah yang terjadi ketika kita overdosis NKRI tanpa mengetahui kondisi.

Selain manusia yang dapat secara tidak sadar melakukan kejahatan, negara pun bersikap sama. Sikap-sikap banal yang dilakukan negara bahkan dapat diturunkan dalam bentuk sebuah kebijakan atau produk hukum. Berkaca pada apa yang dilakukan negara pada Papua pasca 16 Agustus 2019, negara justru ‘absen’ dalam menangani kasus diskriminasi yang ada. Melalui seruan “memaafkan” untuk saling menghormati tanpa menindak dengan tegas para pelaku diskriminasi menjadi cara yang paling sering dilakui.

Absennya negara tidak dapat dikatakan murni melepas tanggung jawab, namun negara hadir melalui wujud yang lain. Organisasi paramiliter pun dapat dikatakan sebagai kehadiran negara melalui wujud sipil. Organisasi paramiliter yang menjamur semasa perang kemerdekaan pun hadir dengan identitas yang beragam seperti, agama, suku, ideologi, nasionalis, dan lain-lain. Organisasi paramiliter sendiri merupakan kelompok sosial yang berkaitan dengan pasukan keamanan yang disusun seperti pasukan militer dan berfungsi sebagai unsur pembantu tentara. Walaupun secara legal mereka bukanlah tentara negara, tetapi dandanan dan nada membentak mereka sudah cukup untuk hadir ‘mengamankan’ masyarakat.

Tidak hanya sekali atau dua kali paramiliter, ormas, atau bahkan aparat bertindak semena-mena terhadap masyarakat Papua di luar tanah kelahiran mereka. Selain hadir dalam wujud yang lain, negara pun hadir dengan tindakan yang tidak main-main. Teringat ketika Obby Kogoya, mahasiswa asal Papua di Yogyakarta yang dikejar, dipukul, dan bahkan ditendang. Peristiwa tersebut bahkan tertangkap lensa kamera ketika aparat keamanan negara menarik kedua lubang hidung Obby dari belakang. Namun aparat keamanan tersebut pun lolos dari jerat hukum.

Kejadian-kejadian diskriminasi yang acap kali dilakukan kepada masyarakat Papua atas nama penertiban ini menimbulkan reaksi luar biasa setelah 16 Agustus 2019. Negara yang secara tidak sadar melakukan kesalahan secara berulang pun kikuk menanggapi respon besar tersebut. Kasus 16 Agustus tersebut pun memperlihatkan dengan jelas betapa lambatnya negara dalam mengurusi hak warganya. Ditambah dengan blunder yang dilakukan oleh Kapolsek Sukajadi dalam bertindak memberikan minuman keras sebanyak dua dus kepada asrama Mahasiswa Papua di Bandung yang sempat semakin memperkeruh suasana.
Kejahatan lain yang sekaligus menggambarkan negara ini kikuk dalam menaggapi permasalahan Papua adalah dengan secara sadar membatasi akses informasi di Papua. Negara mencoba membatasi penyebaran informasi hoaks atas kejadian Papua melalui pemutusan jaringan data yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Republik Indonesia. Terbatasnya akses informasi tentang kondisi terkini di Papua menyebabkan simpang siurnya informasi. Melalui kanal sosial media Twitter, akun @VeronicaKoman mencoba memberikan informasi aktual dan faktual.

Namun dalam upaya meminimalisasi berita hoaks, Kominfo justru melakukan tindakan keliru atas pemberian cap disinformasi kepada akun twitter @VeronicaKoman. Melalui cap tersebut, akhirnya Kominfo meminta maaf atas kekeliruan tersebut. Dengan dalih pembatasan hoaks, negara melalui perangkatnya justru melahirkan hoaks sendiri. Dalam payung informasi yang kredibel negara justru mangkir dalam menangani bias informasi dengan cara memutus komunikasi dan melahirkan alibi.

Selain akun Kominfo, akun @Puspen_TNI pun turut memberikan label hoax kepada media Reuters UK. Namun, pelabelan tersebut justru berbanding terbalik dengan tindakan akun @Puspen_TNI yang justru melahirkan hoaksnya sendiri. Melalui cuitan yang telah dihapus, akun @Puspen_TNI mengklaim sebuah video perpisahan antara warga dengan satgas TNI di Papua. Namun, setelah ditelusuri, video tersebut ternyata bertempat di daerah operasi Timor Leste. Penelusuran informasi ini justru dilakukan oleh akun @TurnBackHoax, bukan akun si pencuit asli yaitu @Puspen_TNI. Sikap jahat menebarkan informasi yang keliru justru tidak sekali atau dua kali dilakukan oleh negara ataupun manusia. Tumpulnya hati dan tanpa adanya refleksi menyebabkan hal yang jahat pun dapat dilakukan sehari-hari tanpa disadari.

Overdosis Kesatuan, Lupa Bhinneka
Warna-warni negeri ini justru memberikan beragam rona dalam menentukan pilihannya sendiri. Negara selayaknya menegakkan proses demokrasi, bukan pilihan rakyat yang harus dikebiri. Cobalah tiru Gus Dur, ketika Irian Jaya takut akan identitasnya, ia hadir dan menegembalikan nama Papua. Papua yang identic dengan gerakan separatis akibat stigma politis orde baru pun mencoba dihancurkan oleh Gus Dur. Masyarakat yang takut untuk berpendapat dan bersuara justru diwadahi dengan Kongres Rakyat Papua untuk menampung suara mereka. Gus Dur datang sebagai juru damai, mencoba menampung segala masukkan, karna Indonesia bukan hanya tentang Jawa, tetapi juga Papua. Gus Dur secara sadar membuka kembali ruang-ruang dialogis dengan masyarakat di ujung timur negeri ini, ia dengan berani memberikan sesuatu yang jarang di rasakan masyarakat Papua, yaitu nyaman dan aman. Ia paham betul bahwa negeri ini dibangun atas keberagaman, termasuk keberagaman kultur Papua. Kultur yang kerap dianggap secara politis sebagai gerakan separatis pun dihancurkan, bendera Bintang Kejora yang dianggap sebagai lambang separatisme pun diperbolehkan untuk berkibar di bawah bendera Merah Putih. Hal tersebut ia lakukan karna Gus Dur percaya bahwa Bintang Kejora merupakan lambing kultural masyarakat Papua.

Akhir kata, biarlah kami ditampar atas kasus ini, bahwa sejatinya kesatuan bukan berarti dalam satu kebangsaan namun lebih luhur lagi yaitu nilai-nilai kemanusiaan. Biarlah sila kedua Pancasila bukan hanya menjadi sekedar janji, karna kemanusiaan yang adil dan beradab patut diteladani. Sudah saatnya negara & manusia berbenah diri, melakukan refleksi atas apa yang terjadi. Karna kejahatan yang tak disadari hanya berdasar dari nafsu manusiawi. Jadi sudah melakukan kejahatan apa kita hari ini? tanpa kita sadari….

 

Penulis: Johanis Cigo

Ilustrator: Aulia Nurul Qistie