Penulis: Jo Cigo

Bertani merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan negeri ini. Tak terbayang apa jadinya bila seluruh petani di Indonesia berhenti mencangkul sawahnya, bisa saja Indonesia akan mengalami krisis pangan yang parah. Tetapi kejadian ini mungkin saja terjadi apabila hak petani direnggut, seperti yang tengah terjadi di Padang. Melalui Surat Edaran (SE) bernomor 521.1/1984/Distanhorbun/2017 Tentang Dukungan Gerakan Percepatan Tanam Padi tertanggal 6 Maret 2017 oleh gubernur setempat, publik dibuat terkejut. Itu dikarenakan SE resmi tersebut mengandung poin yang memerintahkan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dan UPT Pertanian Kecamatan untuk ikut “membantu” program percepatan tanam padi di Sumatera Barat (Sumbar). Yang menurut Irwan Prayitno, Gubernur Sumbar, adalah upaya untuk memenuhi target swasembada pangan. Ada dua SE yang dikeluarkan oleh Gubernur dalam kebijakan ini. SE pertama yang mengundang kontroversi publik kemudian diperjelas dengan SE kedua tertanggal 8 Maret 2017 untuk memperjelas SE sebelumnya.

Adapun isi surat edaran yang pertama sebagai berikut: (1) menggerakkan seluruh petugas terkait termasuk jajaran TNI AD untuk mengajak petani agar segera melakukan penanaman padi sehabis panen, sehingga tidak ada lahan yang bera (kosong); (2) petani harus menanami lagi lahannya 15 hari setelah panen, jika 30 hari setelah panen tidak dikelola petani, maka diusahakan pengelolaannya diambil alih oleh Koramil bekerja sama dengan UPT Pertanian Kecamatan setempat; (3) lahan yang diambil alih pengelolaannya diatur dengan kesepakatan para pihak terkait (petani dan pengelola) dengan ketentuan: seluruh biaya tani ditanggung oleh pengelola, setelah panen biaya usaha tani dikembalikan kepada pengelola, keuntungan dari usaha tani dibagi antara petani dan pengelola dengan perbandingan 20 persen untuk petani dan 80 persen untuk pengelola, dan kerja sama pengelolaan antara Koramil dan UPT Pertanian Kecamatan diatur lebih lanjut dengan perjanjian kerja sama tersendiri.

Meski surat edaran baru telah dikeluarkan, namun isinya tidak merekomendasikan untuk mencabut SE pertama. Isi dari surat edaran kedua tersebut yakni pertama, menggerakkan seluruh instansi terkait termasuk jajaran TNI AD untuk mengajak petani melakukan penanaman padi pada lahan yang tidak termanfaatkan. Kedua, lahan yang tidak termanfaatkan sebagaimana tersebut pada angka 1, dapat diusulkan oleh petani untuk dilakukan kerja sama pengelolaannya dengan pihak ketiga, dalam hal ini Koramil dan UPT Pertanian Kecamatan setempat. Dan ketiga, pengelolaan sebagaimana dimaksud pada angka 2, dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan para pihak (petani dan pengelola) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Menjadi tidak adil ketika swasembada pangan justru memberatkan petani dengan peraturan-peraturan yang ditetapkan. Salah satu peraturan yang jelas membebani petani adalah ketika 15 hari pascapanen lahan tidak ditanami, maka akan ada pengambilalihan pengelolaan oleh pihak TNI atau UPT pengelola dengan pembagian keuntungan sebesar 80-20. Yaitu 80% untuk TNI atau UPT pengelola dan 20% untuk petani. Dari peraturan ini dapat mencerminkan bahwa hak-hak petani yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani telah dicerabut. Bukan hanya perampasan hak-hak petani, peraturan yang diedarkan oleh Gubernur Sumbar tersebut juga menyalahi aturan dari Pasal 39 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia. Di dalam Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa TNI tidak diperbolehkan berbisnis. Tetapi pada surat edaran ini, gubernur memosisikan TNI sebagai pihak yang berbisnis dalam bidang pertanian, sementara semangat keikutsertaan TNI dalam pertanian ini tidak dilandasi oleh semangat sukarela.

Permasalahan lain yang dihadapi oleh para petani adalah tenggat waktu pascapanen yang diberikan oleh pemerintah. Pada surat edaran tersebut, jelas tertulis bahwa ketika lahan pertanian tidak ditanami setelah 15 hari maka pengelolaannya akan diambil alih oleh TNI atau UPT. Padahal petani sendiri memerlukan waktu untuk mengolah hasil panen, sebelum mereka menanami lahan mereka. Waktu yang mereka gunakan untuk mengolah panen sekaligus juga untuk menunggu masa subur tanah secara alami. Selain itu, mereka juga memerlukan waktu untuk menerima jatah pengairan atau irigasi. Waktu jeda yang singkat ini tidak cukup untuk mengembalikan masa subur tanah. Tanah yang terus dieksploitasi justru akan menjadi tanah yang sukar untuk ditanami karena masa suburnya telah habis.

Terlepas dari poin-poin yang tercantum pada edaran tersebut, petani yang memiliki lahan seharusnya mempunyai hak atas tanahnya. Karena milik rakyat, sudah seharusnya tanah tersebut sepenuhnya hak petani untuk dikelola dengan sistem yang ada di masyarakat. Tetapi dengan adanya edaran tersebut, kedaulatan petani pun direnggut. Mereka dipaksa tunduk terhadap sistem-sistem yang dibuat oleh pemerintah demi mengejar target yang mungkin tidak dirasakan manisnya oleh para petani. Swasembada pangan yang dibangga-banggakan oleh pemerintah melukai para petani. Bagaimana tidak menyayat hati, petani sebagai ujung tombak dalam program ini pun harus menerima pil pahit. Karena hak-hak mereka dirampas demi sebuah target angka 3 juta ton padi. Angka tersebut harus tercapai dengan memaksimalkan lahan pertanian yang ada. Tetapi menumbalkan petani yang bekerja. Dari total lahan yang tersedia seluas 230 ribu hektar, petani harus membuka kembali lahan yang mereka punya demi target yang ditetapkan pemerintah pusat yang mencapai 600 ribu hektar.

Surat edaran tersebut membuktikan bahwa penindasan terhadap rakyat masih terus terjadi oleh para pemangku kebijakan. Edaran ini secara terang-terangan melakukan tindakan represif demi mengejar target. Alangkah lebih baik apabila gubernur menggunakan pendekatan dengan memberi penghargaan bagi para petani yang mampu meningkatkan produktivitas panennya. Solusi lain yang dapat digunakan adalah membuat program yang dapat mendukung produktivitas atau memberikan bantuan berupa sarana dan prasana pertanian seperti irigasi, pupuk, pembasmi hama dan teknologi pertanian tanpa mengabaikan hak petani atau melibatkan militer. Dengan adanya surat edaran ini pemerintah berharap bahwa produktivitas petani akan meningkat. Memang akan meningkat, tetapi dengan cara yang memaksa dan menindas. Kita seperti kembali ke zaman penjajahan ketika sistem tanam paksa diterapkan. Demi dalih ketersediaan pangan, hak petani pun menjadi korban.

Ilustrator: Rethiya Astari