Oleh: Joko Iwan
Pagi buta ketika semua orang masih sibuk dengan indahnya pulau kapuk, diriku telah bangun terlebih dahulu. Kubuka tirai jendelaku yang sederhana agar suasana dalam rumah terasa lebih menyegarkan. Di luar tampak langit masih berwarna biru gelap tanda sang surya hendak bangkit dari peraduannya. Di bawah jendela telah tampak ayam-ayamku tengah mengais-ngais tanah untuk mencari cacing sebagai santapan paginya. Kurasakan pula angin pagi yang dingin menerpa wajahku untuk menghilangkan rasa kantukku.
“Pak, sarapannya sudah siap.” Suara nan lembut tiba-tiba terdengar dari belakangku. Aku pun membalik badan, kulihat seorang wanita berdiri sambil membawa piring di tangannya.
“Ya, Bu. Bapak juga sudah selesai bersiap-siap ke sawah,” kataku sambil melihat wanita tersebut. Dia adalah belahan jiwaku yang telah sekian tahun hidup bersamaku. Ya, dia adalah istriku. Dia lalu menepuk bahuku dengan pelan sembari membawakan sepiring nasi putih dengan lauk ayam goreng dan tempe. Lalu aku pun mengambil piring tersebut dan memakan nasi dan lauk yang ada di atas piring.
Setelah nasi tandas kumakan, aku menuju ruang depan untuk mengambil sebilah cangkulku yang telah setia menunggu di sana. Kuambil cangkul tersebut serta peralatan tani lainnya. Kunyalakan pula sepeda motor bututku yang terparkir di ruang depan rumahku. Kulihat sejenak isi rumahku, tampak dinding perpaduan antara kayu tripleks dengan tembok bata merangkai dan membentuk rumah kecil nan sederhana ini. Kukeluarkan sepeda motor bututku tersebut ke teras rumah lalu kupacu meninggalkan rumah kecilku itu menuju area persawahan yang tengah kugarap.
***
Saat kupacu motorku ke area persawahan, mentari tampak tengah mengintip malu-malu di ufuk timur. Di kejauhan kulihat samar-samar papan putih berdiri tepat di depan area persawahan. Semakin dekat dengan area persawahan, semakin kudapati dengan jelas tulisan yang tercantum di papan putih tersebut. Di papan yang terlihat seperti baru dipasang tersebut. Di situ tertulis dengan huruf besar : “TANAH INI MILIK PERUSAHAAN PT MOBILE OZON. Tertanda CEO”. Mataku terbelalak kaget saat melihat tulisan bercat hitam tersebut.
Pikiranku kaget melihat apa yang kulihat di depan mataku ini dengan tatapan tak percaya. Apa-apaan ini! Seenak diri mematok tanah orang lain sebagai tanah sendiri! Tak bisa dimaafkan! pikirku dalam hati. Tanpa pikir panjang lagi aku pun segera mencabut papan patok tersebut. Kucabut dan kubanting papan itu ke tanah. Aku mempunyai pikiran untuk membakar papan itu setelahnya. Lalu datanglah dua orang bertubuh kekar dan bertampang garang menuju ke arahku. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba mereka menyergapku dan menanyaiku berbagai hal tentang apa yang barusan kulakukan.
“Apa yang telah anda lakukan pada papan pemberitahuan tersebut!” hardik salah satu dari pria kekar tersebut. “Papan ini guna menandai serta memberitahu warga sekitar bahwa tanah ini sudah milik perusahaan kami!” tambah pria satunya lagi lebih keras lagi.
“Milik perusahaan kalian? Asal kalian tahu, ini tanah sudah sejak dulu milik keluarga saya secara turun temurun! Tak sudi saya jika tanah pertanian saya ini diambil orang lain secara sepihak oleh perusahaan kalian!” kesal saya pada keduanya. Kepalaku serasa memanas mendengar penjelasan keduanya bahwa tanah persawahanku ini diklaim oleh perusahaan bejat tersebut.
“Apakah anda punya sertifikat atau semacamnya untuk membuktikan jika tanah persawahan ini sebelumnya adalah milik anda?” tanya salah satu pria tersebut sambil setengah mengancam.
“Saya tentu saja punya, hanya saja saat ini sertifikat tersebut tidak sedang berada di kantor desa karena suatu hal,” kataku pada mereka.
“Nah, itu berarti tanah Anda telah dijual pada perusahaan kami karena sudah ada surat pernyataan pemindahan kepemilikan tertanda Karto, nama anda sendiri.”
Apa…? Jadi aku telah ditipu oleh Herman, Sekretaris Desa laknat dan mata duitan itu. Memang aku dengar dari teman-teman sesama petaniku, Herman berencana menjual aset dan harta desa untuk sebuah perusahaan besar yang ingin mendirikan pabrik di atas lahan persawahan milik warga. Tak kusangka rumor yang beredar di kalangan warga desa ternyata benar ada. Aku merasa kaget, perlahan pandanganku mulai kabur. Aku pun jatuh pingsan ke tanah.
***
Ketika aku tersadar, aku mendapati diriku terduduk di kursi dengan kedua tanganku terikat di punggung kursi. Sekelilingku tampak gelap dan sunyi, hanya seberkas cahaya yang menyusup masuk melalui sebuah lubang kecil. Dari situ aku tahu bahwa saat ini aku disekap di dalam gudang milik perusahaan zalim tersebut. Tiba-tiba pintu gudang terbuka, dari sana aku dapat melihat dua pria kekar tersebut bersama dengan seseorang bertubuh tambun. Juga sesosok orang berpakaian ala pejabat desa yang tampak tak asing.
Ya, itu tak lain adalah bos perusahaan ini. Di belakangnya adalah Herman, Sekretaris Desa nan laknat itu ternyata saling berkomplot. Dengan kata lain mereka tampak saling memanfaatkan satu sama lain bagi kepentingan mereka masing-masing. Tampak sekilas Herman tersenyum licik kepadaku seakan dia telah melihat kemenangan di depan mata. “Jadi, Anda yang namanya Karto, bukan? Saya ingin agar Anda mau menandatangani surat persetujuan ini segera. Jika Anda setuju, sebagai imbalan saya sudah menyiapkan rumah yang lebih bagus dari rumah Anda sekarang ini,” ujar pak bos perusahaan tersebut, lalu berbalik badan. “Namun jika Anda menolak, jangan harap Anda bisa melihat dunia esok hari!” lanjutnya dengan nada penuh ancaman.
Dari nada suaranya aku dapat memperkirakan jika dia merasa bahwa kemenangan sudah di depan mata. “Aku tak akan mengijinkanmu merampas tanah milik buyutku ini!! Bahkan seinci pun tak akan kuserahkan tanah tersebut pada perusahaan bejat sepertimu!!!” tegasku sambil menghardik si bos perusahaan tersebut.
“Jadi Anda memilih untuk tetap ngotot mempertahankan sepetak tanah itu? Baiklah, jika itu pilihanmu. Perlu Anda ketahui dulu, orang bijak mengatakan bahwa hidup itu adalah pilihan. Jika kau memilih itu, maka ambillah resiko. Ujang! Asep! Hajar dia sepuas kalian!! Aku akan pergi dulu untuk urusan penting lainnya!” ucapnya lalu berjalan keluar gudang sembari diikuti Herman.
“Baik,Boss…!!” ucap keduanya lalu melayangkan tinju mereka ke wajahku secara bergantian.
Hingga pada suatu titik, aku pun jatuh terjerembap ke lantai gudang. Aku dapat merasakan tetesan darah mengalir deras dari mulut serta luka lebam yang disebabkan oleh penganiayaan keduanya. Aku juga melihat samar-samar dua tiga gigiku tanggal karena kerasnya hantaman tinju keduanya. Lalu aku kehilangan kesadaran sedikit demi sedikit.
***
Saat aku sadar, aku telah terbaring di atas kasur putih. Di pinggir kasur kulihat istriku tampak menangis haru lalu memeluk tubuhku hangat. Apa yang telah terjadi? tanyaku dalam hati. Istriku seperti telah membaca isi pikiranku, ia pun berkata, “Alhamdulillah, akhirnya Bapak sadar setelah koma empat bulan.”
Empat bulan! Selama itukah aku pingsan setelah menerima pukulan dari kedua preman itu? “Empat bulan lalu, Bapak ditemukan oleh teman Bapak tengah tergeletak lemas di depan gudang. Hampir bapak disangka sudah meninggal. Tapi, Alhamdulillah Tuhan masih memberi kesempatan hidup lebih lama. Bapak hanya divonis koma oleh dokter. Dokter bilang biar dia yang membayar semua biaya pengobatan Bapak. Untung masih ada orang baik di dunia ini,” tangisnya. “Lalu setelah kejadian tersebut polisi segera mencari pelakunya. Akhirnya Herman dan kedua preman tersebut berhasil ditemukan saat mabuk-mabukan dan berhasil diciduk. Tapi si bos perusahaan tersebut berhasil lolos dari dakwaan karena belum cukup bukti yang kuat,” gumamnya. Lalu ia melepas pelukannya.
“Tapi seluruh warga desa sepakat untuk bersama-sama membuktikan bahwa bos perusahaan itu telah merampas tanah milik rakyat kecil secara zalim. Karena itu perlu kesaksian Bapak di sidang nanti untuk menguatkan dakwaan terhadapnya, sesudah Bapak diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Dan tak hanya itu, banyak orang yang bersimpati pada Bapak agar kesewenangan perusahaan tersebut dapat terkuak.” Setelah itu dia mengusap air mata dari wajahnya. Di depan mataku seperti telah terbentang cerah sebuah kebenaran yang akan terkuak dari kubangan penindasan.
Ilustrator: Fadhila Isniana