Reporter: Hendra Kristopel

Putusan akhir International People’s Tribunal (IPT) 1965 diselenggarakan dan disaksikan secara serentak di beberapa Negara, termasuk di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta. “Aksi pembunuhan massal dan semua kejahatan tak bermoral sejak 1965, dan kegagalan untuk mencegahnya, atau menindak pelakunya berlangsung di bawah tanggung jawab sepenuhnya Negara Indonesia,” ujar Zak Yacoob, Ketua Majelis Hakim IPT 65. Keputusan akhir itu menyimpulkan bahwa terdapat 10 tindakan kejahatan HAM berat yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965 dan sesudahnya. Negara Indonesia harus bertanggung jawab dan terbukti bersalah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan karena memerintahkan dan melakukan (khususnya Tentara Nasional Indonesia melalui rantai komando) tindakan tidak manusiawi.

IPT 1965 adalah pengadilan rakyat internasional untuk kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia pada tahun 1965 dan sesudahnya, dimana terdakwanya adalah Negara Indonesia. Sidang IPT 1965 yang telah dilaksanakan pada 10 – 13 November 2015, di Den Haag, Belanda. Pemerintah Indonesia selalu diundang pada setiap sesi, namun kursinya selalu kosong. “Patut disesalkan Negara Indonesia tidak memenuhi undangan untuk hadir, juga tidak mengajukan pendapatnya tentang tribunal ini. Demikian pula Pemerintah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia yang juga diundang,” ujar Yacoob.

Akhirnya sidang ini sampai pada puncaknya, yaitu pada tanggal 20 Juli 2016. Laporan keputusan Majelis Hakim disampaikan oleh Zak Yacoob di Cape Town, Afrika Selatan. Keputusan itu menyatakan bahwa telah terjadi penyerangan luas dan sistematis dengan sasaran sebagian warga, yang terdiri dari Partai Komunis Indonesia (PKI) atau organisasi onderbouwnya, pemimpinnya, anggotanya, keluarganya, juga mereka yang dianggap bersimpati. Sasaran yang awalnya terbatas pada mereka yang dituduh terlibat dalam G30S menjadi sangat luas. “Banyak juga korban yang tidak ada kaitannya dengan PKI, semakin lama semakin meluas, hingga merestrukturisasi masyarakat, dan membersihkan kalangan kiri dalam birokrasi dan tentara termasuk para pendukung Soekarno dan anggota progresif Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dalam banyak kasus, juga mengalami persekusi,” ujar Yacoob saat membacakan keputusan akhir.

Sepuluh kejahatan HAM berat dalam laporan keputusan Majelis Hakim, antara lain pembunuhan massal, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda palsu, keterlibatan negara lain, hingga genosida. Berdasarkan pembacaan keputusan, sekurang-kurangnya ada 400.000 orang yang dibunuh menyusul peristiwa G30S. Tindakan ini setidaknya telah melanggar pasal 138 dan 140 KUHP. Pemenjaraan yang juga terjadi telah melanggar pasal 9E UU No. 26 tahun 2000, karena para korban yang telah disebutkan semena-mena ditahan dan dipenjarakan tanpa diadili dan tanpa surat penahanan yang dalam hal ini juga melanggar hukum internasional. “Terlebih, sekitar sejuta orang ditahan berdasarkan penggolongan yang ditentukan oleh ahli ilmu jiwa, yang menilai kesetiaan mereka pada komunisme,” tambah Yacoob.

Selain itu, dengan jenis kerja yang ekstrim, kondisi kerja yang tidak manusiawi, diawasi tentara dan pegawai negeri, seperti yang tercatat dalam keputusan tersebut, para tahanan yang berada pada kamp kerja paksa dikategorikan sebagai korban perbudakan yang melanggar pasal 9C UU. 26/2000, dan melanggar Konvensi 1930 tentang kerja wajib dan paksa. UU No. 26/2000 pasal 9F secara eksplisit juga menyebut penyiksaan sebagai kejahatan yang berlaku surut sesuai pasal 33 UU pengadilan HAM. Tribunal juga mendapatkan bukti adanya orang-orang yang ditahan maupun diculik, namun kemudian hilang tanpa diberi kejelasan.

Para tahanan perempuan juga mengalami kekerasan seksual. “Bukti-bukti lisan dan tulisan yang diajukan kepada Tribunal pada 1965 dan sesudahnya adalah lengkap dan tidak terbantahkan. Para korban dan saksi telah menyediakan informasi spesifik dan jelas,” ujar Yacoob. Kekerasan ini dilakukan dalam skala luas dan waktu panjang terhadap sejumlah besar perempuan yang dikaitkan atau bersimpati dengan PKI, mendukung Soekarno atau PNI. Kejahatan ini berupa pemerkosaan, kekerasan seksual dalam bentuk penyiksaan, dan perbudakan seksual.

Majelis Hakim juga mendakwa Negara Indonesia bertanggung jawab atas propaganda palsu atau kebohongan tentang G30S yang menjadi langkah pertama serangan kejahatan terhadap kemanusiaan. Majelis Hakim menyatakan bahwa versi sejarah tentang peristiwa penyiksaan di Lubang Buaya benar-benar palsu adanya. Yacoob menegaskan bahwa sejak awal, fakta itu diketahui komandan tentara di bawah Jenderal Soeharto, yang dipalsukan untuk tujuan propaganda. “Propaganda palsu peristiwa 30 September dan 1 Oktober 1965 yang dituduhkan kepada PKI, membawa dampak yang sangat tidak manusiawi, mendorong pembenaran persekusi di luar hukum,” kata Yacoob.

Majelis Hakim dengan bukti-bukti kuatnya, juga menyebutkan bahwa Amerika Serikat, Inggris, dan Australia terdeteksi terlibat dalam peristiwa 1965-1966. Amerika Serikat terbukti memberikan bantuan dengan memberikan daftar nama anggota PKI kepada pemerintahan Soeharto yang memudahkannya untuk membunuh, menculik, menyiksa, dan melakukan kejahatan lainnya. Sedangkan Inggris dan Australia ikut membantu menyebarkan propaganda palsu melalui media lokalnya. Diplomat ketiga negara itu juga berperan, “Pada awal 1966, jumlah korban dilaporkan ke Washington, London, dan Canberra,” ujar Yacoob.

Pada sidang akhir 13 November 2015, telah disebutkan, bahwa Negara Indonesia saat itu, melalui tentara dan polisi, terlibat dan mendorong terjadinya berbagai pelanggaran HAM berat secara sistematis dan menyeluruh. Majelis Hakim juga meyakini bahwa semua kejahatan ini dilakukan demi tujuan politik, untuk membasmi PKI, dan yang dituduh anggota atau simpatisannya, dan lebih luas lagi, termasuk pendukung Soekarno.

Laporan ini menyerukan Pemerintah Indonesia secara mendesak dan tanpa syarat untuk meminta maaf kepada semua korban, penyintas dan keluarganya, atas peran negara dalam semua kejahatan terhadap kemanusiaan pada peristiwa 1965; menyidik dan mengadili semua kejahatan terhadap kemanusiaan; memastikan kompensasi dan santunan yang memadai kepada korban dan penyintas. Yacoob menegaskan, laporan ini sepenuhnya mendukung dan mendesak semua otoritas untuk memerangi impunitas, merehabilitasi korban dan penyintas, dan mengungkapkan kebenaran sejarah tentang apa yang terjadi, agar generasi masa depan bisa belajar dari masa lampau.

Ditanyakan terkait langkah selanjutnya, Nursyahbani Katjasungkana, selaku kordinator umum IPT 1965 menyatakan bahwa laporan ini akan diserahkan kepada yang berwenang. “Laporan keputusan akhir ini akan kita serahkan secara resmi kepada Komnas HAM, Komnas Perempuan, Menkopolhukam, Menkumham, Menlu, dan Komisi III DPR RI,” ujarnya pada acara Pembacaan Putusan IPT 1965 di YLBHI, Jakarta. Ia juga menambahkan, bahwa pihaknya sedang berusaha untuk menyerahkan kasus ini ke dalam agenda sidang PBB.