Salah satu kebijakan yang digaungkan pemerintah Joko Widodo di periode kedua adalah kebijakan food estate. Hal ini dibuktikan dengan adanya proyek food estate ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Food estate adalah pembentukan ratusan ribu hektar lahan sebagai lumbung pangan nasional. Adapun kebijakan ini mulai digaungkan pemerintah sejak pandemi COVID-19 di awal tahun 2020. Tujuannya, agar Indonesia dapat mengatasi ancaman ketergangguan persediaan dan distribusi pangan akibat pandemi.
Salah satu provinsi yang menjadi wilayah proyek food estate adalah Kalimantan Tengah. Namun, kebijakan food estate ini ditentang oleh para pegiat lingkungan. Mereka beralasan, kebijakan ini dapat merusak hutan alam dan gambut yang menjadi sumber kehidupan makhluk hidup. Untuk membahas hal ini lebih lanjut, Pantau Gambut bersama WALHI Kalimantan Tengah dan Yayasan Madani Berkelanjutan mengadakan webinar bertajuk “Food Estate Kalimantan Tengah: Kebijakan Instan Sarat Kontroversi” yang diadakan pada hari Selasa, 23 Februari.
Peneliti Pantau Gambut, Clorinda Wibowo, menyatakan bahwa kebijakan food estate dijalankan di atas lokasi yang tidak cocok dijadikan lahan pertanian. Pemerintah memilih lahan eks proyek lumbung pangan orde baru di Kalteng, yaitu Pengembangan Lahan Gambut (PLG). Di dalam PLG, terdapat Fungsi Ekosistem Gambut (FEG) lindung sebesar 883 ribu hektar. “Yang lindung itu tidak boleh diapa-apain dan harus dikonservasi, karena bila dikeringkan (dijadikan food estate) akan mengakibatkan kekeringan, banjir, dan kebakaran.” Ucapnya.
Bertani di lahan gambut, menurut Clorinda, sulit dilakukan. Lahan gambut menyimpan air yang sangat banyak. “Tanaman seperti padi, sawit, dan palawija tidak bisa ditanam di lahan gambut yang terlalu basah, sehingga harus dikeringkan.” Ujarnya. Mengeringkan lahan gambut dapat membuat gambut mudah terbakar dan mengeluarkan sedimen pirit yang membuat tanah menjadi sangat masam dan dapat mencemari lingkungan. Alih fungsi lahan gambut juga mengorbankan tutupan hutan gambut secara masif. Pada akhirnya, terjadi kebakaran hutan berulang di lahan eks food estate. “Daya tahan lingkungan dari gambut berkurang, sehingga terjadi kebakaran.” Tambahnya.
Dalam sejarahnya, proyek food estate banyak mengalami kegagalan. Contohnya, proyek PLG yang digagas Soeharto hanya mewujudkan 110 ribu hektar lahan dari target 1,45 juta hektar dan proyek Ketapang Food Estate yang hanya merealisasikan 100 hektar dari target 100 ribu hektar lahan. Kegagalan tersebut mengakibatkan kerugian finansial yang besar bagi Indonesia. Proyek PLG pada orde baru menganggarkan uang sebesar 7 triliun rupiah yang terbuang percuma. “Negara mengalami kerugian sebesar 1,9 triliun rupiah.” Ucapnya.
Selain itu, Clorinda mencatat bahwa proyek food estate dijalankan dengan terburu-buru. Hasilnya, pemerintah terkesan tidak mempunyai rencana matang terhadap proyek ini. Menurutnya, pemerintah tidak menggunakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang memadai. Pemerintah hanya menggunakan KLHS Cepat yang menggunakan analisis komputer dan meniadakan kegiatan turun lapang dan diskusi dengan ahli. “Proses kajian akademisnya terkesan dikesampingkan. Mega proyek yang sebenarnya berpotensi berdampak sangat besar terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi harusnya dikaji dengan lebih komprehensif.” ujarnya.
Pendapat senada dikemukakan oleh Dimas Hartono, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Tengah. Dimas berpendapat bahwa pemerintah tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpendapat mengenai permasalahan ini. “Kami melihat, program food estate ini nir partisipasi bermakna dari masyarakat.” ujarnya.
Dimas juga melihat terjadi beberapa pertentangan terkait dengan asas kepastian hukum, kecermatan, tidak menyalahgunakan wewenang, dan keterbukaan. Contohnya, mengenai asas kepastian hukum, Dimas melihat bahwa proyek ini sudah dijalankan walaupun tidak memiliki dasar hukum yang layak. “Permen LHK 24 tahun 2020 (mengenai food estate) keluar di bulan November, sedangkan proses pembukaan lahan untuk food estate sudah berjalan terlebih dahulu. Sehingga terjadi pembukaan lahan di kawasan hutan yang tanpa izin.”, tambahnya.
Dimas juga berpendapat bahwa masyarakat tidak mendapat informasi yang maksimal dari pemerintah. “Banyak informasi yang tidak dapat dipahami secara mutlak oleh masyarakat di sekitar food estate.”, ujarnya. Masyarakat juga tidak mendapatkan kepastian hak tenurial atas wilayahnya. “Padahal, kita akui di lahan eks-PLG yang dikelola sendiri oleh masyarakat mengalami keberhasilan.” ucapnya. Pola tanam food estate yang tidak biasa dilakukan masyarakat juga dapat menyebabkan hasil panen merosot. Melansir dari Tirto, tantangan petani di Kalteng masih terkait dengan sistem iklim dan kadar air yang tidak seideal Jawa. Sehingga pola tanam tiga kali dalam setahun sulit dilakukan di Kalteng.
Dimas yakin bahwa pemerintah lebih baik mengakui lahan pertanian masyarakat, yang seringkali terancam proyek investasi, daripada melaksanakan program food estate yang berbasis industri. Walhi menganggap peran identifikasi dan perlindungan pemerintah atas lahan pertanian masyarakat masih belum maksimal.
Anggalia Putri, KM Manager Yayasan Madani khawatir dengan luas Area of Interest (AoI) food estate di empat provinsi yang sangat besar, yaitu 3,69 juta hektar. Dari AoI tersebut, 43 persen diantaranya merupakan hutan alam dan 39 persen merupakan hutan gambut. “Ada potensi resiko hutan alam yang bisa hilang. Bila ditebang semua, itu bisa lebih besar dari Pulau Bali.” ujarnya. Adapun AoI di Kalteng sebesar 311 ribu hektar, yang 52 persen di dalamnya merupakan hutan alam.
Putri berpendapat bahwa food estate sangat menggiurkan karena memiliki potensi volume kayu mencapai 243 juta meter kubik. “Berdasarkan analisis kita, kalau semua hutan alam di dalam AoI food estate di empat provinsi diambil kayunya, potensinya mencapai 209 triliun rupiah. Regulasi kita memperbolehkan hal tersebut.”, tambahnya. Pemerintah juga menganggarkan 104 triliun rupiah untuk membiayai sarana prasarana food estate.
Putri juga mengamati bahwa kebijakan food estate dapat berisiko meningkatkan konflik agraria dengan masyarakat. Risiko tersebut disebabkan proyek food estate sebagai Program Strategis Negara (PSN) dapat memberikan kemudahan food estate dalam hal perizinan dan pengambilan lahan. Lokasi pengadaan tanah tidak memerlukan syarat AMDAL, pertimbangan teknis pertanahan, dan lain-lain.
Dalam webinar ini, Pantau Gambut meluncurkan web interaktif foodestate.pantaugambut.id, yang mengkaji pelaksanaan food estate, khususnya di atas lahan gambut. Web interaktif tersebut nantinya akan diisi oleh informasi perkembangan terbaru dari kegiatan food estate di Kalimantan Tengah.
Penulis: Benediktus Brian Iubilio
Editor: Ayuningtyas Bunga Heryana
Foto: Youtube Kementerian PUPR