Perampasan wilayah adat oleh pemerintah dan perusahaan bukanlah kisah baru yang terjadi hanya saat pandemi. Permasalahan tersebut merupakan kenyataan hidup masyarakat adat, sebelum Indonesia merdeka dan terus berlanjut setelahnya. Selama pandemi covid-19 berlangsung, keadaan bertambah parah. Terjadi dua kemerosotan peran pemerintah dan perusahaan yang berdampak buruk pada masyarakat adat. Pertama, pengesahan perubahan undang-undang minerba dan omnibus yang berimplikasi menguntungkan perusahaan. Kedua, terus terjadi kasus perampasan wilayah adat dengan kekerasan dan kriminalisasi. Hal itu dijelaskan oleh Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam webinar Kemunduran Selama Masa Pandemi : Perubahan Kebijakan yang Tidak Transparan, Pengabaian, dan Kriminalisasi Masyarakat Adat selama Pandemi Covid-19 di Indonesia yang diadakan oleh AMAN (18/02).
Terdapat 40 kasus perampasan wilayah adat selama pandemi dalam catatan AMAN. Kasus-kasus tersebut merupakan kasus yang sudah lama dan tidak mereda meski pandemi. Rukka memberikan contoh kriminalisasi yang menimpa Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan oleh PT Sawit Mandiri Lestari (26/08). Kemudian, perampasan wilayah Adat Rakyat Penunggu di Sumatera Utara oleh PTPN II (29/09).
“Kampung-kampung dibuldoser, kebun-kebun dihancurkan, rumah-rumah dihancurkan, perempuan dipukul, laki-laki dipukul, ada yang bocor, ada yang retak kepalanya, ada tangannya yang patah,” tandasnya.
Hal senada diungkapkan oleh Mia Siscawati, dosen Magister Kajian Gender Universitas Indonesia. Menurutnya, saat pandemi ini ada tiga masalah yang dihadapi masyarakat adat yakni terbatasnya akses perawatan kesehatan, ini merujuk pada minimnya fasilitas kesehatan seperti tidak adanya puskesmas di wilayah adat. Lalu, tentang perlindungan atas hak-hak mereka dan ancaman ketersediaan pangan.
Soal ancaman ketersediaan pangan, hilangnya hak kepemilikan tanah atas wilayah adat membuat situasi semakin sulit. Komunitas-komunitas adat rentan terhadapnya. Mia menjelaskan untuk bertahan hidup, masyarakat adat melakukan pengelolaan dan pemanfaatan lahan.
“Risiko paling besar (red: ancaman ketersediaan pangan) adalah masyarakat adat yang memang kemudian lahannya betul-betul sudah diokupasi oleh perusahaan dan sama sekali tidak ada akses terhadap lahan-lahan yang menjadi sumber pangan mereka,” tuturnya.
Sisi lain, terjadi kemandekan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat meski sudah masuk dalam prioritas program legislasi nasional. Namun, dalam dua kali periode tidak kunjung disahkan oleh DPR. Meiliana Yumi, Perempuan Adat Rakyat Penunggu, mendorong pemerintah segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat dan Perda Masyarakat Adat Sumatera Utara. Sebab dalam RUU tersebut mempunyai peran yang sangat krusial, yakni membahas pengakuan dan perlindungan hukum masyarakat adat.
“Pemerintah menggusur paksa wilayah adat di masa pandemi tahun 2020 kemarin, tepatnya di bulan September,” ucap Yumi.
Penggusuran paksa berada pada wilayah adat Penunggu, yaitu Kampong Pertumbukan dan Kampong Durian Selemak. Yumi menjelaskan banyak masyarakat adat dalam penggusuran tersebut menjadi korban, khususnya perempuan adat. Mereka menghadang dan menghalangi akses keluar-masuk alat berat, pasukan TNI, dan pekerja PTPN II.
“Kami mengalami kekerasan. Sehingga ini memberikan dampak kepada perempuan adat untuk trauma yang memang sampai hari ini masih terasa. Tapi semangat dan perjuangan kami tidak berhenti sampai di sini saja,” tegas Yumi.
Webinar yang dimoderatori oleh Briggita Isworo diakhiri oleh Emilianus Ola Kleden, Direktur Eksekutif Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari. Ia memungkasinya dengan memaparkan sebuah catatan reflektif. Terhadap kerentanan masyarakat adat dan kontradiksi perkembangan jaman oleh pembangunan pemerintah. Emilianus menerangkan saat masyarakat adat dipaksa oleh kekuasaan untuk melepaskan relasi dengan tanah dan hutannya maka itu merupakan ancaman yang nyata bagi mereka.
Penulis: Muhammad Yusuf R.
Editor: Nafa Dyas