Penulis: Dinda Indah Asmara
Setelah pembubaran Belok Kiri Fest, Lady Fest, dan acara nobar alias nonton bareng film Pulau Buru Tanah Air Beta di Universitas Airlangga,serta kisruh segala sesuatu yang berbau ‘kiri’. Lagi-lagi aparat keamanan dan ormas-ormas reaksioner kembali berulah. Kali ini menimpa mahasiswa Papua di Yogyakarta yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB). Sekelompok mahasiswa tersebut berencana mengadakan aksi damai untuk mendukung The United Liberation Movement West Papua (ULMWP) untuk menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG). Aksi tersebut rencananya dilakukan pada 15 Juli 2016 dengan long march yang dimulai dari Asrama Mahasiswa Papua Kamasan sampai Titik Nol Yogyakarta. Dimulai pukul 09.00 WIB hingga selesai. Tindakan represif oleh aparat dan ormas reaksioner ini tidak terjadi saat aksi digelar. Melainkan sehari sebelumnya, tepatnya tanggal 14 Juli 2016.Mahasiswa Papua menerima tindakan represif seperti dikatai-katai kafir, bangsat, bahkan juga monyet. Selain itu beberapa motor mahasiswa juga disita. Mereka juga dikurung dalam asrama hingga kelaparan karena akses untuk mendapatkan bantuan logistik ditutup sama sekali. Bahkan, bantuan yang dikumpulkan warga Yogyakarta melalui ambulans Palang Merah Indonesia (PMI) juga dicegat dan diminta pergi tanpa boleh menurunkan apapun.
Represi aparat dan ormas reaksioner ini menciptakan tanda tanya besar dalam kepala saya. Mengapa tindakan represif diambil? Jawabannya mungkin bisa diberikan dengan cepat: karena kecintaan pada bangsa ini. Tindakan mahasiswa Papua yang merencanakan aksi damai untuk mendukung ULMWP sebagai anggota penuh MSG tersebut dianggap sebagai tindakan makar. Tindakan makar tersebut dinilai telah melukai persatuan dan kesatuan. Selain itu, jawaban lain yang mungkin terlontar adalah karena Negara Kesatuan Repubik Indonesia (NKRI) adalah harga mati. Maka siapapun yang berani mengusiknya haruslah mati juga. Kalau yang terakhir ini adalah karangan saya sendiri. Intinya, segala sesuatu yang dilakukan oleh aparat dan ormas reaksioner tersebut pada dasarnya dilegitimasi oleh semangat yang biasa kita kenal dengan semangat nasionalisme. Menurut Ben Anderson, nasionalisme memiliki legitimasi emosional yang mampu menggugah rasa kecintaan dan pengorbanan. Inilah energi aneh yang bias menempatkan sekelompok manusia dalam satu barisan untuk membela tanah airnya.
Namun, melihat tindakan yang dilakukan oleh aparat keamanan dan ormas reaksioner tadi kembali menimbulkan tanda tanya besar dalam kepala saya. Mengapa mahasiswa Papua yang mendukung pembebasan Papua dengan mudahnya dicap sebagai makar hingga pantas untuk diberangus dan direpresi? Salahkah mereka? Bukankah pembebasan atas Papua yang mereka inginkan juga didasari atas alasan jelas yaitu kesejahteraan? Lalu, benarkah nasionalisme bisa digunakan sebagai legitimasi untuk menghancurkan saudara sebangsa sendiri?
Negara ini dahulunya dibentuk atas keinginan untuk membebaskan diri dari penjajah. Dengan kata lain, negara ini dibentuk atas dasar keinginan untuk bebas dan sejahtera. Maka, berdasarkan tujuan awalnya ini negara wajib menyejahterakan seluruh rakyatnya. Jika negara, dalam perjalanannya, tidak dapat memenuhi tujuannya dan membiarkan rakyat dalam penderitaan yang sama, menurut saya sah saja jika rakyat berkeinginan untuk melepaskan diri. Namun, jika kemudian rakyat yang tidak puas ini justru direpresi dengan legitimasi nasionalisme, maka sudah ada yang salah dengan nasionalisme ini. Nasionalisme yang digunakan sebagai legitimasi oleh aparat keamanan dan ormas reaksioner ini merupakan model nasionalisme resmi. Dijelaskan Ben Anderson dalam bukunya Imagined Community atau Komunitas Terbayang, nasionalisme resmi adalah nasionalisme dari atas. Artinya, nasionalisme yang diresmikan negara demi melancarkan tujuannya. Nasionalisme dari atas ini merupakan lawan dari nasionalisme dari bawah, yaitu nasionalisme yang hadir sebagai keinginan pembebasan nasional yang bertendensi politik anti-kolonial, radikal, dan emansipatoris. Saya sendiri menganggap jika nasionalisme resmi ini adalah nasionalisme yang semu. Karena nasionalisme ini digunakan sebagai pengesahan kewajiban rakyat untuk tunduk kepada negaranya. Padahal, sebenarnya ketundukan itu bukan ditujukan untuk kepentingan rakyat, melainkan hanya kelompok penguasa saja. Seperti yang dikatakan Ben Anderson, “ Model Nasionalisme Resmi mengasumsikan bahwa relevansinya mencapai puncaknya terutama ketika mereka berhasil merebut kontrol atas negara dan untuk pertama kalinya berada dalam posisi untuk menggunakan kekuasaan negara dalam upaya untuk melaksanakan visi misi mereka”. (Dikutip dari: http://indoprogress.com/2015/10/mempertanyakan -nasionalisme-sebagai -tinjauan- atas- transmutasi –konsep- nasionalisme/)
Nasionalisme, dalam hal ini, hanya menjadi alat sekelompok penguasa. Karena itu, nasionalisme ini dapat dengan mudah digunakan sebagai alat untuk mengadu sekelompok manusia dengan manusia yang lain. Selain itu, nasionalisme ini juga mudah digunakan sebagai pembenaran atas solusi bertangan besi untuk menyelesaikan tindakan yang dinilai sebagai pemberontakan. Padahal, mereka hanya mengambil jalan berbeda yang kemudian menganggu kelompok berkepentingan. Hal ini seperti yang terjadi di era Orde Baru. Misalnya, pembantaian ratusan ribu hingga jutaan anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965/1966.
Nasionalisme memang akan menciptakan garis batas antara saya dengan Anda. Namun dalam nasionalisme resmi, garis batas tersebut dapat dengan mudah diciptakan. Kita dapat berubah menjadi saya melawan Anda. Saya adalah orang mencintai negara ini dengan tunduk dan patuh, sementara Anda adalah orang yang dianggap makar karena tidak mau tunduk; senantiasa menuntut hak, atau bahkan melawan. Dengan pembacaan seperti ini, maka tantangan tersebut akan dijawab dengan solusi tangan besi. Kemudian negara, yang pada awalnya dibentuk dengan tujuan pembebasan nasional, bertransformasi menjadi organ penindas yang menakutkan.
Itulah penyebab perlunya keharusan perubahan pandangan nasionalisme kita hari ini. Caranya adalah dengan menumbuhkan kembali lawan dari nasionalisme resmi yaitu nasionalisme dari bawah. Nasionalisme kini harus muncul bukan hanya saat simbol negara dinodai, melainkan juga saat melihat rakyat tertindas oleh korporat nasional maupun asing. Nasionalisme juga harus muncul ketika rakyat sengsara akibat pemimpin yang tidak amanah. Intinya, nasionalisme haruslah digunakan sebagai pemersatu melawan tirani yang menindas, bukan justru melukai saudara sendiri. Karena pada dasarnya kita semua adalah kaum yang tertindas!