Reporter: Nurhidayah Istiqomah dan Muhammad Bahmudah

Malang, dianns.org – Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada 23 Oktober 2015 lalu. PP ini mengatur tentang mekanisme pengupahan buruh berdasarkan ketentuan penghasilan yang layak seperti yang termaktub dalam pasal 4. Pasal tersebut menjelaskan penghasilan buruh terdiri dari pendapatan upah dan pendapatan non upah. Formulasi perhitungan upah buruh tidak lagi berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) melainkan berdasarkan laju perekonomian negara berupa Produk Domestik Bruto (PDB) dan inflasi.

Formulasi pengupahan buruh berdasar laju perekonomian negara yang dianut oleh PP ini disinyalir lebih memihak para pemilik modal dibanding para buruh. Hal ini diungkapkan oleh Faidzin Salam selaku Koordinator Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI) Malang saat ditemui reporter DIANNS (13/11) di kantor SPBI. Faidzin mengaku bahwa PP tersebut merugikan buruh karena peninjauan komponen KHL yang seharusnya dilakukan setiap setahun sekali berubah menjadi lima tahun sekali. Mekanisme pengupahan dalam PP ini dianggap bertolak belakang dengan Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.

UU Ketenagakerjaan pada pasal 88 ayat (4) menjelaskan tentang pemberian upah berdasarkan KHL dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.. Sedangakan dalam PP Pengupahan dijelaskan bahwa mekanisme penentuan upah hanya berdasarkan PDB dan inflasi. “Mekanisme pengupahan sudah diatur dalam UU Nomor 13. Yaitu diatur oleh Dewan Pengupahan dengan survei sesuai KHL, kemudian direkomendasikan kepada walikota yang akan diteruskan kepada bupati. PP ini tidak nyambung karena memasukan inflasi,” papar Faidzin. Hal ini sejalan dengan paparan Eko Wahyu (28) selaku anggota SPBI sekaligus pegawai di PT Surya Sentra Sarana yang menganggap PP pengupahan tidak sesuai dengan KHL buruh. “Karena setiap tahun kebutuhan hidup naik dan perhitungan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dalam PP Pengupahan berdasarkan inflasi. Maka, secara tomastis gaji kita akan mengikuti inflasi bukan berdasarkan pertambahan harga kebutuhan pokok. Sehingga nominal UMK saja yang besar tetapi nilai tukar menurun,” ungkap Eko Wahyu. Senada dengan Eko Wahyu, Faidzin menambahkan bahwa selain kebutuhan buruh yang setiap harinya mengalami kenaikan harga, buruh juga susah untuk menghidupi keluarganya karena faktor upah yang diukur dari tingkat inflasi.

Aksi Serikat Buruh Sebagai Reaksi PP Pengupahan

Terkait penolakan PP Pengupahan tersebut, Serikat Buruh menggelar aksi besar-besaran yang dilaksanakan tepat pada peringatan hari Sumpah Pemuda (28/10) kemarin di kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Jakarta. Aksi ini digelar untuk menuntut pemerintah mencabut PP pengupahan. Gerakan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) memaparkan beberapa tuntutan perihal PP pengupahan. Tuntutan ini berisi pencabutan PP Pengupahan, penghapusan politik upah murah dan perampasan upah buruh, memberikan jaminan dan kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat bagi rakyat, serta melaksanakan reforma agraria sejati dan bangun industri nasional. Faidzin menuturkan adanya politik upah murah dalam PP pengupahan terdapat pada survei penentuan UMK yang tidak sesuai dengan keadaan pasar dan keadaan para buruh. “Misalnya dalam survei transportasi, buruh yang berdomisili di pedesaan. Buruh dari pedesaan membutuhkan transportasi yang memutar tiga kali. Tetapi, berdasarkan hasil survei, biaya transportasi buruh hanya ditulis sekali yaitu pulang-pergi. Dilihat dari survei saja banyak yang di-plintir sehingga nominal UMK itu kecil. Apalagi sekarang ada PP,” jelas Faidzin.

Aksi besar-besaran yang dilakukan pada peringatan hari Sumpah Pemuda tersebut rencananya akan diteruskan oleh serikat buruh sampai pemerintah mencabut PP Pengupahan. Serikat Buruh memiliki rencana untuk menggelar aksi serentak di setiap wilayah sebagai rangkaian dari aksi penolakan PP pengupahan. Faidzin memaparkan bahwa aksi serentak yang diarahkan ke setiap wilayah rencananya akan digelar pada tanggal 13 Oktober 2015 kemarin. Tetapi, aksi tersebut masih harus menunggu koordinasi dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). “Untuk gerakan selanjutnya apabila di Jakarta tidak menyikapi aksi, reaksi setiap wilayah kemungkinan besar untuk menyikapi aksi tersebut juga masih kecil. Karena ketika penyikapan aksi tidak dilakukan secara menyeluruh di Indonesia, aksi tersebut tidak akan kuat,” papar Faidzin. SPBI Malang juga akan mengadakan aksi di Surabaya. Tetapi masih belum ada indikasi kapan aksi tersebut dilaksanakan. Perwakilan SPBI Malang juga masih menunggu rekomendasi Dewan Pengupahan kepada walikota terkait UMK dan keberlanjutan aksi yang akan digelar.

Faidzin mengungkapkan akan ada wacana mogok nasional untuk menyikapi penolakan PP pengupahan. Melihat kondisi beberapa buruh yang tidak bergabung dalam serikat, menjadi kendala mogok nasional tidak bisa terlaksana secara menyeluruh di setiap perusahaan. Hal ini sejalan dengan ketidaktahuan buruh dari PT Sampoerna Malang yang tidak bergabung dalam serikat ketika di wawancarai reporter DIANNS(13/11). Beberapa buruh non serikat tidak tahu mengenai gerakan aksi penolakan PP pengupahan dan menolak untuk melakukan wawancara perihal aksi besar yang akan digelarr. “Kendalanya adalah buruh yang tidak bergabung dalam serikat, ketika mogok nasioal mereka akan tetap bekerja seperti biasa,” terang Faidzin. Faidzin juga menuturkan bahwa kebanyakan buruh non serikat masih pasif dan tidak peduli terhadap sistem yang diterapkan. “Buruh kalau mau di tabrak sepeda motor mereka akan menghindar, tetapi ini di tabrak bahaya seperti sistem. Mau menghindar kemana, itulah yang tidak disadari oleh buruh,” pungkasnya.