Penulis: Helmi Naufal Z.
Cuk gendeng! 1 seru para penonton dalam hati. Bocah itu sungguh lincah. Di ajang sepak bola Tarkam tahun ini, bocah bernomor punggung lima itu menjadi idola. Bahkan hingga babak final ini berlangsung, bocah itu selalu menjadi nyawa dalam setiap pertandingan. Ketika bola sedang dikuasainya, seluruh penonton hening dan termengu. Hatinya berdebar-debar menantikan kreasi apa yang akan ia ciptakan. Goblok kon!” 2 umpat Arga menyaksikan seorang pemain terkena cedera. “Boncil memang piawai bermain bola. Hingga tak seorang pun dalam tim itu bisa mengimbangi cara bermainnya. Tapi kalau seluruh temannya cedera, bisa-bisa kandas tim payah itu! Toh dia juga tidak bisa bermain sendiri. Ia akan kerepotan mencari, merebut, dan menguasai bola seorang diri.” ocehnya kesal. Dewo tak menghiraukan ocehan kawannya itu. Ia tetap larut dalam pertandingan bola Antar Kampung itu.
Arga dan Dewo memang penikmat sepak bola, khususnya sepakbola Tarkam. Dalam satu bulan ini tak sekalipun mereka mangkir untuk menonton pertandingan di lapangan bola. Letaknya yang berada di belakang paguron 3 mereka, menjadikannya cukup berjalan kaki untuk pergi kesana. Teman-teman di paguron pun seringkali turut menonton liga Tarkam ini bersama mereka. Tetapi khusus hari ini mereka hanya pergi ke lapangan berdua. Teman-temannya sedang latihan bela diri di paguron. Tidak sulit bagi anak-anak paguron mendapat izin dari guru mereka. Apalagi untuk menonton liga Tarkam yang tidak setiap hari ada. Jangankan untuk pergi menonton sepak bola. Meminta izin untuk keluar bermain layangan pun sangat diizinkan.
Dewo dan Boncil, si pemain idaman warga kampung sering kali bertengkar saat berebut layangan tebal 4. Namun pertengkaran mereka tidak pernah lama. Posisi rumah Arga yang bersebelahan dengan rumah Boncil. Membuat Arga sering kali menjadi wasit yang membantu melerai mereka berdua.
Sudah tiga tahun Dewo berada di paguron Taman Siswa, ia kerasan 5. “Pelajaran ditempat ini aneh, tapi saya sangat kerasan.” demikian katanya. Aktifitas di Taman Siswa tidak pernah mati. Dari pagi hingga petang, sekawanan murid sibuk dengan kegiatannya. Berolahraga, latihan seni, hingga pengajaran pengetahuan. Masing-masing dipimpin langsung oleh gurunya. Meskipun begitu, Dewo tidak pernah merasa bosan.
Suratman merupakan guru kesenian yang juga tinggal bersama keluarganya di paguron tersebut. Sehingga murid-murid bisa dengan mudah menemuinya. Tidak peduli meskipun hari sudah larut. Jika dirasa urusan penting, murid dipersilahkan mengganggu jam istirahatnya. Bahkan Suratman tidak akan memberi hukuman jikalau murid datang di malam hari hanya untuk goyon 5 belaka. Arga pun sering melakukan hal itu. Sedemikian dekatnya ia dengan sang guru, sampai-sampai Arga menjaili gurunya itu di malam hari. Jika hal itu terjadi, Suratman dengan gestur tubuhnya yang bijak hanya mesam-mesem 6 di depan Arga. “Itu tandanya murid-murid saya mengalami kekeluargaan yang dapat membangun karakter mereka.” ucap Suratman dalam hati. Menurutnya tidak perlu peraturan-peraturan ketertiban, larangan atau perintah-perintah mekanis. Seiring berkembangnya jiwa dan pengetahuan, lambat laun sang murid akan bisa membedakan mana yang baik-buruk, sopan-ngelamak, beradab-biadab, benar-salah dengan pikirannya.
Di Taman Siswa, belajar pengetahuan menjadi nomor dua. Bukan berarti hanya sedikit perhatian untuk perkembangan pengetahuan murid. Tetapi pribadi sang guru yang memberikan tuntunan hidup lah yang menjadi prioritas utama. Arga dan Dewo merasakan langsung dari Suratman. Disamping itu Taman Siswa sebagai tempat belajar sekaligus tempat tinggal, sangat cocok guna mengembangkan kepribadian murid. “Taman Siswa hidup dengan gayanya sendiri, gaya yang sesuai kepribadian nasional.” ujar Suratman kepada orang tua murid saat pengumuman kelulusan. Suratman ingat betul kalimat itu. Kalimat yang diutarakan Ki Hajar Dewantara saat sidang Majelis Luhur Taman Siswa di Yogyakarta.
Berbeda dengan sekolah model barat di zaman sekarang. Taman Siswa tidak mendewakan pengetahuan dan memaksakan peserta didik dengan indikator yang sudah ditentukan. Disana, para murid seakan-akan tidak diperkenankan tumbuh sesuai kodrat mereka sebagai manusia. “Pak Hajar melihat sebuah gedung yang disebut sekolah, yang tak nampak kepribadiannya. Diwaktu pagi diisi anak-anak belajar dan bermain, dengan sejumlah guru yang berjalan kesana kemari atau duduk. Sekolah itu, setelah jam 1 siang ditutup dan tidak ditinggali.” ucap Suratman melanjutkan pidatonya.
Pengumuman kelulusan telah usai. Banyak pertimbangan dalam rapat penentuan kelulusan. Tidak hanya guru, masyarakat sekitar pun turut serta dalam menentukan lulus tidaknya murid Taman Siswa. Hal itu jelas diperlukan. Sebab kelakuan para murid di lingkungan masyarakat menjadi penilaian dengan bobot yang cukup besar. Dan masyarakat lah yang dapat menilai kelakuan murid-murid saat berada diluar paguron. “Percuma saja mereka cerdas dalam pengetahuan, tapi biadab kelakuan!” ujar Suratman kepada istrinya. Menurutnya mudah saja murid-murid berperilaku baik di dalam paguron, karena mereka sadar kalau sedang dinilai. Oleh karenanya perilaku alami mereka di masyarakat lah yang akan menentukan kelulusan mereka.
Hafal konsep perilaku luhur, tidak menjamin murid mampu menerjemahkannya dalam tataran laku. Hal itu terjadi sebab para murid belum bisa memaknai Budi Pekerti seutuhnya. Dimana budi pekerti belum merasuk ke alam bawah sadar mereka. Betapa indahnya jika murid bisa berperilaku baik, tanpa mengetahui bahwa yang mereka lakukan merupakan tindakan yang baik.
1. Benar-benar gila
2. Bodoh kamu
3. Perguruan
4. Putus
5. Nyaman; tahan tinggal di suatu tempat
6. Iseng
7. Cengar-cengir