Penulis: Dinda Indah Asmara

Suara cetik api terdengar. Titik api memberi sedikit lihat dalam ruangan gelap pekat. Dimar yang telah nyala lalu dipindahkan ke atas meja. Cahayanya jadi semakin meluas dan mata lebih leluasa untuk melihat isi ruangan. Temboknya yang berbata merah, panci-panci berpantat hitam yang digantung berjejeran, rak piring kayu, juga gentong tanah liat dekat pawonan kini terlihat meski dalam keremangan. Ruangan itu adalah dapur yang sederhana. Orang Jawa menyebutnya pawon.

Tangan keriput yang juga menyalakan dimar tadi lalu meraih blarak. Gerakannya menimbulkan suara kresek kresek yang agak riuh. Segenggam daun kelapa kering berhasil ia ambil. Ia lalu menyulutnya dengan api dimar. Api memakan blarak dengan cepat, dan ia menaruhnya di atas kayu kering dalam pawonan. Apa yang disebut pawonan adalah tungku yang dibuat dari tumpukan bata yang direkatkan dan diplester dengan lumpur. Api mulai berkobar-kobar, memakan kayu kering dan merubahnya jadi bara dan abu.

Perempuan tua itu mendekatkan tangannya ke arah api yang baru saja dinyalakannya. Hangat. Rasa itu menjalar ke jari-jemarinya yang kasar. Nyaman sekali api api seperti ini. Sesekali ia menambahkan kayu atau kulit kelapa kering ke dalam pawonan, menjaga agar api tetap terjaga dalam nyalanya.

Cethik geni atau meyalakan api di pawonan adalah keseharian perempuan itu. Setiap subuh menjelang, ia sudah duduk di depan pawonannya. Menikmati hening dan kehangatan sejenak sebelum sibuk memasak untuk keluarganya.

Kobaran api mulai memudar. Perempuan itu bergegas ke belakang, mengambil beberapa kayu kering dalam tumpukan.

Ia tak pernah merasa khawatir akan kehabisan kayu untuk menyalakan api. Kebun belakang rumahnya masih memiliki cukup ranting yang bisa ia pungut, pohon-pohon kelapa yang ia tanam setiap hari menjatuhkan blarak yang bisa ia sisik’i, kelapa yang ia sumbat juga menghasilkan cukup banyak sepet. Semua itu bisa ia manfaatkan sebagai bahan bakar untuk menyalakan api. Tak perlu membayar karena hasil dari kebunnya sendiri.

Api yang meredup mulai menyala kembali. Kayu bakar ia tambahkan secukupnya sebelum ia beranjak mengambil panci. Panci itu ia isi dengan air lalu menaruhnya di atas pawonan. Memasak air adalah hal yang selalu ia lakukan pertama kali sebelum menanak nasi dan memasak sayur dan lauk. Jika air telah mendidih, maka pekerjaan lain akan lebih mudah dilakukan.

Sembari menunggu air mendidih, ia beranjak pergi mengambil beras di kamar belakang, warga dusun itu menyebutnya sentong mburi. Ia menaruh beras yang diambilnya di dalam wadah bambu lalu mencucinya di dekat gentong dengan air dari sumur, kemudian ia mengambil panci yang agak besar mengisinya dengan air yang sebelumnya telah dipanaskannya, memasukkan berasnya, dan yang terakhir ia menutupnya. Ia lalu menunggu berasnya hingga matang.

Srek…srek… , bunyi gesek sandal karet dengan lantai tanah yang telah mengeras, terdengar. Bapak. Ia baru selesai menyapu halaman depan. Bapak langsung duduk diatas lincak, menghisap rokok yang ia linting sendiri. Untuk sejenak matanya terpejam, ia biarkan tubuhnya menikmati sensasi daun tembakau dan cengkeh dalam rokok lintingnya.

“ Masak opo Mak?” , tanyanya ke perempuan tadi.

“Kulupan godhong telo Pak!”, katanya sembari menunjuk pada baskom berisi daun singkong yang kemarin di petiknya di depan rumah, pohon singkong memang ia manfaatkan sebagai pagar. Bapak hanya tersenyum mendengarnya. Kulupan ditambah dengan bumbu kelapa adalah makanan kesukaannya. Ia lalu beranjak ke halaman belakang, mengambil sebuah kelapa yang telah tua, lalu menyumbatnya. Kemudian ia menyerahkanya ke istrinya.
Perempuan yang akrab disapa Emak itu lalu memecah batoknya, menadahi airnya dalam sebuah gelas, dan mengambil daging buahnya. Sebelum ia memarut kelapanya, terlebih dahulu ia menawarkan airnya pada Bapak yang menerimanya dengan senang hati. Ia tak pernah menolak air kelapa. Rasanya yang segar terlalu sayang untuk dilewatkan.

Mak dengan lincah dan terampil mengolah masakannya. Ia mengulek bawang, brambang, cabe, tempe busuk, dan bumbu-bumbu lain. Lalu, mencampurnya dengan kelapa yang diparut dengan disunggat agak tak banyak keluar air. Kemudian dia mengurapnya dengan daun singkok yang telah direbus. Bapak hanya menjadi penonton. Tapi ia adalah jenis penonton yang antusias. Sambil masih terus mengisap rokok lintingannya, matanya tak pernah lepas dari gerak tangan Emak.

Makanan siap. Bapak segera mengambil nasi, mendiamkannya agar agak dingin. Emak memanggil Yeni, cucu satu-satunya yang telah yatim dan ditinggal si ibu merantau. Lalu membuat kopi untuk disruput hangat-hangat. Sambil makan, Emak menanyakan soal pekerjaan di tanah Pak Kusairi dan bapak dengan santai menceritakan keengganannya karena tanah yang keras sulit untuk dipacul. Semua itu akan melelahkannya saja. Sementara Yeni hanya diam mendengarkan mereka. Mereka duduk di lincak yang sama.

Yeni telah selesai makan, tapi Emak justru menyuruhnya nambah lagi. Ia tak suka melihat cucunya makan terlalu sedikit. Tapi Yeni menolaknya, ia telah siap berangkat nanti terlambat. Ia pun berpamitan pada kakek nenek yang lebih dianggap sebagai orang tuanya sendiri itu.

Yeni mengayuh sepedanya dengan kencang. Ia semangat sekali sekolah. Tak pernah terlambat satu kalipun, dan setiap subuh selalu belajar. Ia tak ingin menyia-nyiakan kerja keras ibunya. Ibunya merantau karena ingin ia hidup dengan enak. Kerja kantoran dengan baju yang bagus dan ruangan yang dingin ber-AC. Dia ingin mewujudkan impian itu.

Ia sudah semakin jauh. Sekarang, punggungnya hanya tampak seperti titik. Kemudian ia menghilang, telah sampai di belokan di ujung jalan. Aku hanya bisa berharap untuknya. Berharap agar Yeni tak lupa. Tak lupa dengan kebun belakang, sawah, dan pawonan yang hangat.

Bara api menyala-nyala dalam pawonan, hangatnya sudah mulai kalah dengan dingin dan gelap. Semua pintu dan jendela telah ditutup memang, Emak dan Bapak sudah menjinjing cangkul dan arit menuju sawah.

Ilustrator: Evrytha Putri