Reporter: Debby Yuliana W. dan Fadhi la Isniana

Langkah kaki tak pernah lelah untuk menyusuri setiap jalan yang terbentang di hadapannya. Tidak mampu melihat seperti manusia pada umumnya, tidak berkuil hati untuk merawat dunia. Berasal dari sudut kota Garut, gadis yang sering disapa Giska ini, berlayar untuk mendapatkan ilmu ke kota Malang. Tentu bukan sesuatu yang mudah untuk memilih Malang sebagai kota perantauanya. Menjadi seorang anak yang bisa dibilang menyandang disabilitas, Giska tertarik memilih Universitas Brawijaya karena ingin mendalami dunia bisnis. Kecintaannya pada bisnis inilah yang menjadi salah satu penyambung hidup di kota perantauan. Tanpa mengenal malu, dia menyalurkan kemampuannya dengan berjualan di kampus.

Toxoplasma

Tuhan selalu punya rencana yang tak pernah diketahui umat manusia, begitu pun yang terjadi pada Giska. Dia tak pernah sama rencana rencana Tuhan. Pada tahun dua ribu sepuluh, Giska harus menerima nuansa pahit dalam hidup. Dua bola kedua tak bisa lagi berfungsi normal, ada bintik seperti noda yang bener penglihatannya. Giska tak pernah berpikir, apa yang terjadi pada kedua bola mata adalah penyakit yang serius. Tapi takdir kata lain, anggapannya yang hanya bisa mata minus belaka ditepis oleh dokter. Saat Giska mengunjugi salah satu rumah sakit di Garut untuk memeriksakan mata, dokter mengatakan bola kedua mata Giska terserang Toxoplasma. Toxoplasma adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang ada pada hewan seperti kucing dan anjing. Toxoplasma ini bisa menyebabkan. Cacat dan berbagai macam gangguan syaraf seperti buta dan lain – lain. Toxoplasma sudah menyerang syaraf mata Giska hingga mengalami peradangan. Karena hal itu, Giska harus melakukan kontrol rutin sampai suatu hari dokter memberikan rekomendasi agar berobat ke rumah sakit Cicendo. Rumah sakit Cicendo adalah salah satu rumah sakit terbesar yang berada di Bandung. Lagi-lagi, Giska harus menelan pil pahit, dokter umum agar ia mengambil cuti sekolah karena dikhawatirkan lama lama akan semakin menderita peradangan. Masih ada sebuah harapan yang Giska genggam, tujuh bulan pengobatan di Bandung akan menyembuhkannya. Giska pun ikut saran dokter ini namun dia tetap memilih untuk menjalani hari-hari seperti biasa di sekolah. Mengharapkan setitik cerah untuk kedua detik, Giska menjalani perobatan selama tujuh bulan di Bandung. Pada bulan terakhir, setitik cerah pun tak kunjung muncul. Dokter mengatakan mata Giska sudah tak bisa tertolong lagi. Ada satu jalan keluar, yaitu operasi operasi. Namun, risiko dari operasi ini akan lebih besar, yaitu kebutaan.

Habis Gelap Terbitlah Terang

Seperti judul sebuah buku karya RA Kartini, habis gelap terbitlah terang, tahan selamanya gelap jika manusia berusaha dan Tuhan mengabulkan. Setelah divonis selamanya mengidap toxoplasma, Giska kembali ke rutinitas sehari-hari seperti anak sekolah atas pada umumnya. Langkahnya tak terhenti pada sebuah gambar yang menghalagi kedua matanya. Dia masih melihat jalan terang yang masih terbentang luas di hadapannya. Menjalani kehidupan sekolah layaknya siswa normal pada umumnya, Giska mengatakan tidak semua guru mengetahui tentang penyakitnya karena ia sengaja tertutup penyakitnya. Giska tak ingin saling berbeda dari teman-teman yang lain. Bahkan sebuah motivasi muncul saat Giska melihat foto anak-anak berprestasi yang terpampang rapi di depan SMA. Giska tergerak hatinya. Suatu hari nanti ia ingin seperti mereka, Potretnya juga akan menghiasi sekolahnya. Giska memilih tulisan sebagai kontra cita-citanya. Tuhan pun merestui usaha gadis berpipi cubby ini, Giska berhasil menyabet juara pertama bahkan juga juara favorit dalam lomba menulis esai. Sesuai keinginannya, foto Giska pun berhasil mengisi deretan foto siswa berprestasi. Meski Giska menjadi siswi berprestasi di sekolahnya, penyakitnya buat Giska urung untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Bayangan individualisme di dunia kampus tutorial Giska berpikir akan sangat sulit mengikuti perkuliahan tanpa bantuan teman. Hingga pada suatu hari Giska diberi amanah untuk menjadi pemateri dalam seminar bertemakan “Cita dan Asa Memasuki Perguruan Tinggi Favorit di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Garut. Menjadi pemateri dalam seminar ini dirasa sulit oleh Giska mengingat seminar ini dihadiri oleh siswa SMP dan SMA se-Kabupaten Garut, ditambah dengan rencananya yang tidak akan diupdate ke jenjang kuliah. Pada akhirnya, amanah inilah yang membawa Giska mencoba untuk terus cita cita.

Giska ingin melanjutkan pendidikan di sebuah perguruan tinggi ternama di Depok. Namun, Tuhan berkehendak lain. Giska akhirnya diterima di Universitas yang jauh dari kota tempat tinggalnya, sebuah Universitas ternama di Kota Malang, Universitas Brawijaya. Giska sempat ragu untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Brawijaya. Jarak yang terlampau jauh dari rumah akan mempersulit Giska untuk berobat. Beruntung, Universitas Brawijaya adalah salah satu universitas yang memberi fasilitas dan perhatian lebih terhadap para penyandang disabilitas. Selama perkuliahan, Giska dibantu oleh relawan dari Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD). Saat menginjak semester 3 perkuliahan, alat bantu bantu bantu bisa lebih mandiri belajar dalam kelas. Bergaul dengan teman-teman sesama disabilitas teknik Giska termotivasi dan semakin bersemangat dalam menuai prestasi. Giska sadar itu tidak sendiri, ada banyak orang yang lebih sulit dibanding mereka namun mereka tetap bisa berprestasi seperti orang-orang pada umumnya atau bahkan bisa melebihi manusia yang dianugerahi kesempurnaan oleh Tuhan. Selama di perguruan tinggi, Giska banyak meraih prestasi antara lain juara 3 Program Kreativitas Mahasiswa-Gagasan Tertulis Mahasiswa Baru (PKM-GT Maba) Universitas Brawijaya 2014, juara 3 Lomba Esai Nasional Civil Festival Universitas Pendidikan Indonesia 2014, Seminar Pemateri Motivasi Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PK2MABA) Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya 2014, juara 3 Lomba Pidato Bahasa Indonesia Olimpiade Brawijaya Universitas Brawijaya 2014,

“Motivasi terbesar untuk meraih prestasi adalah motivasi dari dalam dirinya sendiri,” tutur putri sulung dari pasangan Agus Lopiansyah dan Iis Latifah.