Ruangan itu masih sama. Lengkap dengan segala perabotnya. Ranjang dengan kayu kenari yang menjadi rangkanya, masih utuh dan kuat meski warnanya kian memudar. Kasur dari kapuknya terselimuti rapi dengan kain biru bermotif sulur. Gulungan selimut terlihat rapi di atas bantal yang tertata di ujung kepala ranjang. Tepat di samping ranjang, di atas meja, Ibu meletakkan segelas air putih dan pisang goreng yang masih mengepul asapnya. Pemandangan ini terlihat setiap hari Sabtu dan Minggu olehku yang sedang duduk di meja makan menikmati sarapan.

Sudah 25 tahun berlalu, Ibuku yang usianya sudah memasuki angka 70 itu tak pernah lekang seharipun, bahkan untuk sekedar mengecek kamar kosong di sebelah ruang TV itu. Setiap satu minggu sekali, di hari Jumat pagi, Ibu selalu membersihkannya dan membuka pintu kamar itu seharian. Lain, di hari Sabtu dan Minggu, seperti yang aku sebut sebelumnya, Ibu selalu meletakkan segelas air dan sepiring camilan lain di meja samping ranjang, kemudian keluar dan menutup pintunya.

Beberapa kali aku bertanya pada Ibu, untuk apa dilakukannya hal itu, selalu dijawabnya dengan bahasa Jawa yang luwes. “Gae Masmu, engko lek Masmu muleh, Nduk.” (Untuk kakak lelakimu, nanti apabila dia pulang, Nak).

Namun, karena kini sudah menjadi kebiasaannya, tak lagi aku tanyakan alasan Ibu melakukan hal itu, sudah ku biarkan selagi Ibu masih sehat. Di hari Jumat, mungkin Ibu berharap ketika matahari terik di atas kepala, ada derap langkah keluar dari kamar itu lalu berpamitan menjalankan ibadah salat Jumat. Di hari Sabtu dan Minggu, mungkin Ibu berharap, camilan dan segelas air yang disiapkannya akan habis hingga hanya menyisakan wadahnya. Di setiap harinya, mungkin Ibu berharap, keluarga ini tetap utuh selayaknya sebelum kejadian itu.

Lagi, Minggu pagi ini aku sarapan dengan sambal terasi, sayur bayam rebus, dan peyek udang buatan Ibu. Ibu yang sudah keluar dari kamar kosong itu segera kembali ke meja makan, bergabung dengan aku dan Bapak. Bapak memimpin doa dan dimulailah ritual makan kami. Libur hari ini kemungkinan akan diisi dengan rutinitas seperti hari libur lain di keluargaku. Kami sarapan bersama dengan makanan yang disiapkan Ibu, setelahnya kami bergotong royong membersihkan halaman depan dan belakang.

Sarapan telah usai, giliranku untuk membersihkan meja makan dan wadah bekas makan. Kuangkat 3 piring kotor dan satu gelas milikku untuk kucuci. Ibu dan Bapak aku tinggalkan dalam diam bersama dua gelas di hadapan mereka serta sepiring pisang goreng yang sudah agak dingin. Ketika ku mulai menyalakan kran air, ku dengar sayup-sayup suara Bapak. “Bu,…. ugo loro, …., Ra iku podo, …, Bu,” (Bu,…. juga sakit, …., Ra itu juga sama, ….., Bu), suara Bapak timbul-hilang, kalah dengan kencang air kran.

Ketika aku berjalan kembali ke meja makan, mereka kembali diam, kemudian berdiri dan mempersiapkan diri untuk bergotong royong. Sudah siap untuk bebersih halaman, aku keluar dari kamar dan menuju halaman depan. Bapak sudah ada di teras dengan cangkul di pundaknya. “Ayo Ra, diresiki disik suket ngarep pager,” (Mari Ra, bersihkan dulu rumput di depan pagar), ajaknya. “Nggih Pak, monggo,” (Iya Pak, Ayo), jawabku.

Sembari menunggu Ibu keluar, aku mencabuti rumput di bagian pagar kanan, paling dekat pintu masuk, dan Bapak mencangkul dari bagian paling ujung kanan pagar. “Pak, puniki Ibu koh dereng medal nggih, napa kula ulemi dhateng lebet mawon?” (Pak, ini Ibu kok belum keluar, apa saya panggilkan ke dalam saja?), tanyaku ke Bapak setelah jarak kami sudah dekat, tapi Ibu belum kunjung keluar.

Uwis, ndak usah Nduk, mengko lek metu dewe,” (Sudah, tidak perlu Nak, nanti juga keluar sendiri), ujarnya sembari mengumpulkan rumput hasil cangkulannya.

Bapak kala wau bahas napa kaliyan Ibu sampunipun sarapan?” (Bapak dan Ibu tadi bahas apa setelah sarapan?). Rasa penasaran akhirnya mendorongku untuk mengeluarkan pertanyaan ini.

Iki lho, kangene Ibumu padha Masmu, mesthi awake dhewe kabeh uga kangen, nanging ya arep kepriye maneh wis selawe taun, pangajab kanggo dheweke bali iku uwis kikis dipangan wayah, tak suwun kon ikhlas lan pandongane wae,” (Ini lho, Ibu kamu kan rindu sama Masmu, pasti kita semua juga rindu kan, tapi ya mau bagaimana lagi sudah 25 tahun, harapan untuk dia kembali sudah terkikis dimakan waktu, Ibumu aku minta untuk ikhlas dan berdoa saja), jawab Bapak santai masih tetap fokus dengan kegiatannya memasukkan rumput ke dalam bak sampah.

Meski aku bukan orang yang sering berbincang dengan Bapak. Namun mendengar hal itu, aku tahu Bapak, Ibu, dan aku adalah orang yang sama. Kami sama-sama merasakan kerinduan dan kehilangan. Melihat banyak pembahasan diluar sana atas peristiwa 25 tahun lalu, kami tidak mau berspekulasi. Kami diam dan menunggu. Ibu pun keluar tak lama setelah kami selesai membersihkan sisi kanan pagar sembari membawa sepiring pisang goreng panas dan seteko es teh.

Untuk Masku yang diluar sana, dimanapun kamu berada Mas, Ibu, Bapak, dan aku merasa hampa. Ada hal yang hilang dari utuhnya keluarga ini. Kamu yang dulu pamit untuk pergi mencari ilmu tapi tak kunjung pulang hingga sekarang. Ibu masih sama, terus mengisi ruang kosong yang kamu tinggalkan, kamarmu tak pernah sepi. Ibu dan Bapak, selalu terlihat sehat fisiknya. Mereka masih kuat, tapi tidak dengan hati dan pikirannya. Mas, aku tahu itu karena aku juga merasakannya. Mas, waktu yang terus bergulir tak pernah benar-benar menghapuskan kekosongan hati kami. Masih terdapat lubang, tak pernah terisi ataupun tertutupi. Hanya desau angin lalu yang menyapunya. Sungguh, itu pun tak mampu untuk sekedar meredakan. Gelisah dan menyisakan sedih yang mendalam.

Penulis: Ilham Laila

Editor: Salwa Faradilla