Pagi ini angin bertiup begitu kencang. Meski udara dingin melesak menusuk tulang, namun tak menghentikan alarm kekhawatiran para mahasiswa baru dalam menyambut ritual ospek. Beruntung datang lebih awal, Renata meninjau suhu Kota Malang hari itu dari layar ponsel sambil meletukkan tulang. Gadis berambut pendek setengah ikal itu pun bergegas memasuki gerbang universitas sambil berlari kecil. Tangannya ia usap-usap untuk menghalau rasa dingin di tengah suhu 15 derajat.
“Renata, belajar yang pintar ya supaya kamu bisa kerja mapan. Minimal jadi manager, lah” pesan sang ibu begitu terngiang di benak Renata. Bagai seekor ikan yang dipaksa terbang, Renata menggerutu dalam angan akan harapan-harapan sang ibu yang tak ingin ia gubris. Pasalnya, berkuliah di jurusan administrasi bukanlah opsi yang ia dambakan. Apalah daya ia tak sanggup menolak, mengais perhatian pun tak akan menggoyahkan titah ibunya. Pada akhirnya, ia tetap menjadi mahasiswa di kampus dan jurusan yang ibunya pilihkan meski penuh enggan. Pandangannya menatap nanar barisan mahasiswa yang terkotak-kotak tanpa minat. Tak ingin mencari ribut, Renata ikuti saja kemauan para seniornya yang sedang mencak-mencak tak karuan di atas mimbar.
Disisi lain, seorang gadis berhijab putih nampak berdiri dengan mimik muka masam yang dihiasi biji keringat kecil di ruang wajahnya. Ia menggerutu menyalahkan kelambanan lalu lintas kota yang padat merayap hingga menyebabkan angkot yang dinaikinya melaju lambat. Sudahlah bangun kesiangan ditambah terjebak macet di kilometer kedua. Memang sial. Seorang senior kemudian memanggilnya untuk membentuk barisan lain bersama barisan mahasiswa terlambat di menit 30. Senior tersebut lantas melirik nametag-nya dan berteriak, “Barisan dari Hesti ke belakang harus menyalin tata tertib ospek sebanyak 10 kali baru boleh masuk barisan sesuai dengan kluster.”
Usai menyelesaikan hukuman, Hesti menghampiri sekelompok mahasiswa tempat dimana Renata duduk dibarisan paling belakang. “Permisi, ini benar kelompok Orion, kan?” tanya Hesti. Renata mengangguk. Tak usah banyak bertanya, Renata sudah tahu bahwa mahasiswa terlambat akan datang paling akhir dengan wajah keletihan.
“Boleh berkenalan? Aku Hesti dari administrasi publik,” sapa Hesti dengan mimik lesuh yang menghilang begitu saja.
Renata pun balas menjabat, “Renata dari administrasi bisnis.”
“Kamu masuk lewat jalur apa?”
“Dari jalur undangan.”
“Wuihh, berarti kamu siswa pintar yang rapornya item terus, ga pernah merah.”
Renata menggeleng sungkan.
“Gak juga kok, biasa aja. Kalau kamu dari jalur apa?”
“SNBT alias Seleksi Nilai Berbasis Takdir. Masuk kampus ini juga lewat jalur langit,” jawab Hesti dengan sumringah yang mengundah kekehan Renata.
“Husst… Sudahlah, nanti saja ngobrolnya. Takutnya nanti ditegur.”
Perkenalan saat ospek menjadi awal pertemanan Hesti dan Renata yang berlanjut hingga setahun kemudian. Suatu hari, mereka tengah duduk termenung dengan konflik pikirannya masing-masing.
“Nanti kalau kamu sudah lulus, kamu mau jadi apa, Ren?” tanya Hesti sambil menopang dagu.
Renata lantas mengendikkan bahu dan menggeleng. “Entah.”
“Kalau kamu enak ya, meskipun ga tau mau jadi apa setelah lulus tapi kamu bisa nerusin bisnis keluarga. Lah kalau aku, sudahlah hidup pas-pasan, biaya UKT mahal, terus ga pinter-pinter banget di kelas,” ucap Hesti yang mengundang iba Renata.
“Ah ga gitu juga kok. Kerja ga sesuai passion juga ga enak,” jawab Renata dengan nada lesuh.
“Ngomong-ngomong kamu ga nyoba ikut beasiswa, Hesti? Mumpung lagi banyak instansi yang ngasih beasiswa.”
“Mana bisa, Ren. Bukannya beasiswa itu cuma untuk pelajar yang pintar dan berprestasi saja. Kalau siswa yang serba pas-pasan sepertiku ga akan masuk kategori.”
“Yeee… kan belum dicoba udah takut duluan.”
“Sebenarnya dulu aku udah pernah nyoba buat daftar, tapi baru seleksi berkas udah minder dulu. Disuruh menyebutkan prestasi-prestasi yang diraih, tapi aku ga punya prestasi.”
Renata mengangguk mengerti akan fenomena itu. Ironis jika diingat, sistem pendidikan kini hanya dibuat untuk memintarkan siswa pintar bukannya memintarkan siswa bodoh. Setelahnya si bodoh juga harus mencari cara sendiri untuk bisa menjadi sepintar siswa pintar tadi dan kecurangan juga bukan hal yang mengejutkan untuk terjadi.
Memikirkan tentang masa depan memang tidak ada pastinya. Hesti dan Renata paham akan hal itu, akan tetapi bayangan suram menghantui angan-angan mereka. Realistis saja, cita-cita semasa kecil yang terasa begitu menggebu-gebu kini terasa tidak terlalu perlu. Tidak butuh muluk-muluk, lulus tepat waktu dan jadi pegawai dengan gaji satu digit pun sudah sangat baik. Melamunkan langkah-langkah kecil di masa depan seperti itu kini terasa bagai momok dipikiran Hesti dan Renata.
“Ren, kita harus ngapain kalau udah lulus? Aku ngerasa ga dapet apa-apa selama kuliah.” Renata terdiam mendengar pertanyaan Hesti. Ia pun bimbang, namun mungkin pikirannya tak seberat Hesti. Hesti adalah anak pertama yang pastinya menjadi kebanggaan keluarga. Ketakutan tidak bisa memenuhi harapan orang tua adalah beban pikiran yang selalu berseliweran.
“Hesti, aku merasa kita perlu mengembangkan bakat kita masing-masing. Kita ga perlu terpaksa untuk jadi yang orang lain mau, justru kita yang harus berubah untuk menjadi sosok yang kita mau,” tutur Renata.
Hesti tertegun dan melamunkan hal-hal tersebut.
“Mungkin lulus nanti aku bisa buka katering, masakanku lumayan enak.”
Renata tersenyum lebar menyahuti jawaban Hesti. Kawannya telah menemukan apa yang ia cari dan Renata mensyukuri itu.
Sambil menatap langit Renata menuturkan impiannya, “Impianku ketika lulus nanti aku akan menjadi seorang model.”
Renata tersenyum ketika membayangkan dirinya di masa depan. Sedari kecil ia sudah mengikuti berbagai ajang modeling, mungkin nanti ia bisa sukses jika menggeluti bidang itu.
Namun, Hesti justru mengernyit.
“Belajar dandan dulu baru jadi model, Ren!”
Penulis : Ivas Salsabilla
Editor : Tiara Maulidah