Hei,aku punya kado untuk diriku sendiri di hari ulang tahunku ini. Tadi siang aku membelinya di pasar. Bagaimana? Bagus kan dress ini? Aku selalu ingin memakainya. Sedari dulu, aku harus menahan diri dan memilih untuk tidak berani mengenakan pakaian model dress seperti ini, karena takut akan celaan dari orang sekitarku yang masih berpikiran konservatif. “Berpakaianlah yang benar, itu terlalu terbuka. Kamu mau menggoda laki-laki di luar sana?”, “Salahmu berpakaian seperti itu. Mengundang hasrat laki-laki saja!” Itu kata-kata yang sering keluar dari mulut mereka ketika terjadi pelecehan atau kekerasan pada perempuan–aku muak mendengarnya. Masih saja, pakaian perempuan digunakan sebagai alibi atas tindakan mereka itu. Kok terus-terusan perempuan sih yang disalahkan? Rasa-rasanya tubuh perempuan ini dipenjara. Hanya dijadikan objek saja bahkan untuk hal yang sebebas memilih pakaian, masih tetap diatur. Bagiku, ini adalah bentuk ketidakdilan.
Ketidakadilan? Iya. Selain perkara pakaian, aku juga punya cerita lain. Dahulu, aku sangat ingin bersekolah di perguruan tinggi. Aku ingin bisa meraih cita-citaku menjadi seorang guru. Sayangnya, aku bukan dari keluarga yang berkecukupan. Sehingga aku harus rela membuang cita-citaku tatkala ibu berkata, “sudahlah nduk, ndak usah. Kami tidak punya uang. Lebih baik kamu belajar memasak saja. Karena kodrat perempuan ujung-ujungnya juga di dapur.” Tentulah aku merasa sedih ketika mendengarnya. Tapi, bagaimanapun aku harus mempertimbangkan kondisi keuangan dalam keluarga, hingga akhirnya memilih untuk bekerja dengan bayaran yang tak seberapa. Lebih sedih lagi ketika dua tahun setelahnya, adik lelakiku meminta untuk melanjutkan kuliah. Orang tuaku dengan rela menggadaikan sertifikat rumah demi menunjang biaya kuliahnya. Aku melihat ini adalah sebuah ketidakadilan, tetapi aku hanya bisa diam. Kami adalah anaknya tapi kedua orang tuaku lebih mementingkan adikku yang notabennya laki-laki. Sama-sama manusia tapi diperlakukan berbeda hanya atas dasar “kodrat perempuan.”
Tunggu sebentar, tapi “kodrat perempuan” ini memang sudah diturunkan dari Tuhan Yang Maha Esa atau dibentuk oleh –ah, tidak tahulah awal mulanya siapa. Tapi justru hasil dari konstruk ini yang dilanggengkan hingga saat ini, yang membuat aku dan perempuan lainnya tidak sadar bahwa sedang ditindas. “Anak cewek jangan pulang malam-malam,” begitu kata ayahku setiap kali aku ingin bermain keluar dengan teman-temanku. Dering ponselku biasanya mulai terdengar pukul enam sore, ia menyuruhku segera pulang. Tetapi adikku, pukul sepuluh malam saja masih dibiarkan berkeliaran di luar sana. Itu salah satu contoh bagaimana sebenarnya gap-gap antara perempuan dan laki-laki terlihat, bahkan melalui hal-hal kecil. Budaya-budaya patriarkis masih melekat dan kita sendiri yang terus melanggengkannya hingga saat ini.
Ada cerita menarik yang ingin aku sampaikan. Bahwa ternyata, budaya patriarki sejatinya berdampak pada laki-laki. Seperti adikku yang dituntut menjadi lelaki yang mampu mengayomi, melindungi perempuan yang dianggap sosok yang lebih lemah. Lelaki sering mendapatkan stigma negatif ketika mengekspresikan kesedihannya dengan menangis. Laki-laki turut dirugikan dalam hal-hal peran sosial, juga ekspresi gender yang direkatkan padanya oleh budaya patriarkis. Karena merekatnya kebudayaan tersebut menanamkan nilai-nilai maskulinitas dalam suatu tataran masyarakat. Seperti kalimat “lelaki harus kuat, tidak boleh nangis” dilatih untuk menjadi dogma. Ketidakdilan karena patriarki sebenarnya juga berdampak pada laki-laki, mereka manusia, dan sudah sewajarnya melakukan tindakan manusiawi seperti menangis.
Maka dari itu di hari istimewaku ini, aku membeli sendiri kado untuk diriku berupa dress indah. Aku ingin memberikan keberanian pada diriku sendiri untuk memakainya. Melawan label – label yang diberikan kepada tubuh perempuan. Tidak mengamini langsung yang mereka sebut “kodrat perempuan.” Membuka pikiran bahwa stigma-stigma yang melekat dengan maskulinitas tidak bisa diteruskan. Menyadarkan diriku dan tiap-tiap manusia bahwa ketidakadilan ini bukan untuk terus-menerus didiamkan.
Penulis: Rose Diana