Kenestapaan Puan
Penulis: Alfianti Nur Fauzia
“Setiap manusia pada hakikatnya sama.” Seringkali aku mendengar pernyataan itu dari orang-orang. Tapi nyatanya, seorang perempuan dibatasi oleh sebuah tembok yang dibuat manusia. Tembok yang memisahkan antara apa yang boleh dan apa yang tak boleh dilakukan. Entah sejak kapan tembok ini ada dan akhirnya kokoh mengakar pada kehidupan. Tapi aku merasa perempuan dinomor dua kan. Perempuan yang dianggap tak mampu melakukan ini dan itu, perempuan lemah dan lain halnya. Aku juga mendengar bahwa kata orang-orang Tuhan menciptakan seorang perempuan dengan hal yang istimewa. Kuat, mandiri, dan patut dijunjung harkatnya. “Omong kosong!” ujarku dengan kesal. Belakangan aku memang suka berbicara sendiri. Sembari menghirup menghirup udara segar yang berhembus dari bilik jendela kamarku. Dengan itu aku bisa merasakan kebebasan.
Inilah aku. Seorang yang disebut perempuan. Dikekang haknya, disalahkan pilihannya, dan tak jarang dicela kekurangannya. Rasanya sudah biasa. “Jangan lakukan itu,” “Jangan lakukan ini,” seringkali kata itu yang diucapkan padaku. Seolah aku hanya boleh melakukan sedikit dari banyak hal yang harusnya mampu aku lakukan. Mereka tak beri aku kesempatan, dengan alasan katanya aku perempuan. Mereka tak beri aku izin, dengan alasan katanya aku perempuan. Mereka meremehkanku, dengan alasan katanya aku perempuan. “Katanya, katanya, dan katanya,” muak sekali aku mendengarnya. Hanya dengan “katanya”, mampu membuat hak seorang perempuan terkekang selamanya.
“Bukankah manusia pada dasarnya mempunyai hak yang sama?” Sebagaimana orang-orang sering katakan. Harusnya itu yang dikatakan padaku. Berhak melakukan apa saja yang sewajarnya laki-laki lakukan. Boleh mengutarakan pendapat seperti semua orang. Boleh menggapai mimpi seperti semua orang. Termasuk boleh menikmati pendidikan setinggi-tingginya sesuai yang diimpikan. Bukan dikekang, bukan dilarang, dan bukan kata “tidak boleh” yang dilontarkan.
Aku, perempuan dianggap tak pantas untuk berpendidikan tinggi dan mengejar mimpiku. Kata ibuku, “Seorang perempuan harusnya di rumah, mencari suami yang mampu menghidupi, mendidik anak-anak, juga berada di dapur melaksanan semua tugas.” Itulah perempuan sempurna katanya. Dapat merawat suami dan anak-anaknya. “Ibu seandainya aku bisa mengatakan ini padamu. Bagiku, seorang perempuan tak dapat disimpulkan dengan sesederhana itu,Bu. Mereka berhak pergi kemana pun, melakukan apapun, juga mengejar mimpi setinggi apapun. Termasuk juga Ibu.”
Aku, juga perempuan yang seringkali dimaki oleh Bapakku. Atas keputusanku yang tak sama dengan jalan pikirannya. “Pak, salahkah jika aku menuntut pada diriku agar mampu untuk mengejar mimpi?” Aku ingin mengejar citaku untuk melanjutkan pendidikan, setinggi yang aku mampu, sejauh yang aku gambarkan dalam pikirku. Bagiku, aku berhak atas itu, untuk masa depanku. Pendidikan bukan hanya berbicara tentang gelar yang akan disandang ataupun ilmu yanng akan diperoleh. Bagiku, pendidikan membuka dan memperlihatkan apa yang kita lewatkan. Selama ini perempuan tak boleh melakukan banyak hal. Pendidikan yang menjadi jembatan seorang perempuan atau bahkan semua orang untuk mampu melanjutkan apa yang mereka gambarkan dalam pikiran. Melihat dunia dari sisi yang berbeda atau bahkan mengembara untuk tujuan yang setiap manusia tak perlu dijabarkan dengan aksara.
Pendidikan sendiri adalah hak setiap orang, katanya lagi. Namun nyatanya seorang perempuan berpendidikan dianggap sok jagoan. Jadi banyak tanya, jadi mudah melawan, juga jadi membangkang. “Bukan, bukan seperti itu, kawan.” Bagiku, pendidikan merupakan jembatan perempuan untuk bebas dalam berpikir. Harusnya, pendidikan menjadi hal yang penting bagi perempuan, karena pada akhirnya perempuan lah yang akan menjadi pendidikan pertama bagi anak-anaknya.
Aku, perempuan yang berusaha teguh akan pendirian, bukan yang tak tahu malu akan keadaan. Aku memaknai seorang perempuan dengan milyaran kata yang tak mampu aku ucapkan atau aku tuliskan dalam sebuah cerita. Pemaknaan yang pasti tak sama di setiap orang. Tapi apakah itu pantas untuk diperdebatkan? Biarkanlah perempuan seperti aku bebas tanpa kekangan siapapun. Ibarat pasir, jangan digenggam terlalu erat, toh akan keluar dari sela-sela jari. Aku rasa begitu pula dengan perempuan. Jangan dikekang haknya hanya karena hal itu dirasa tak pantas dilakukannya. Bagaimanapun seorang perempuan merupakan makhluk yang mempunyai pikiran, juga keputusan sendiri dalam setiap hal dihidupnya.
Aku, seorang perempuan yang berusaha memperjuangkan hakku. Dalam imajinasiku ada sebuah kata selesai yang pada akhirnya aku mampu bebas tanpa kekangan, tanpa paksaan, dan tanpa ada hinaan maupun cacian. Perempuan bebas akan semua hal tersebut, yaitu dihargai pendapatnya, diterima pilihannya, dan yang paling utama adalah diakui haknya.
Ilustrator: Salsa Nur Aisyah