Penulis : R.Seta Panggala (Budayawan)

Basukarna atau yang lebih dikenal dengan nama Adipati Karna, kakak tertua Pandawa, lahir dari seorang putri raja (Dewi Kunti). Ia lahir dari mantra suci yang disebut Aji Dipa, pemberian Resi Druwasa. Basukarna lahir atas anugerah Dewa Surya, lalu dibuang dan ditemukan oleh seorang kusir kuda bernama Adirata. Sang anak dari Dewa Surya tumbuh menjadi pribadi yang otodidak, berani karena benar, berjuang sendiri tanpa mengandalkan bantuan keluarganya, dan kesatria yang tahu membalas budi. Di dalam hatinya, timbul rasa rela berkorban demi menangnya kebenaran meskipun mengorbankan jiwa dan nama baiknya. Pada saat tumbuh besar, dia terikat karena janji setianya pada para Kurawa karena Prabu Suyudana (kakak tertua Kurawa) mengangkatnya sebagai Bupati, dengan syarat dia harus berjanji untuk setia pada Kurawa. Basukarna pun menyanggupinya karena kagum pada kebaikan para Kurawa yang berani mengangkatnya, yang hanya seorang putra kusir kuda, menjadi seorang Bupati di daerah bagian Ngastina bernama Ngawangga. Basukarna tidak tahu bahwa itu sebenarnya adalah akal-akalan Kurawa. Pihak Kurawa melihat Basukarna sebagai seorang kesatria pilih tanding yang bisa diandalkan. Sehingga, kurawa berkeinginan agar Basukarna ada di pihak Kurawa dengan cara memberi jabatan pada Basukarna sebagai Bupati di daerah Ngawangga agar nantinya Basukarna akan memihak Kurawa sebagai senjata untuk melawan Pandawa. Jikalau, Pandawa sebagai pewaris yang sah menuntut haknya atas tahta Ngastina dari Kurawa.

Setelah sekian lama, Basukarna yang telah bergelar Adipati Karna mulai menyadari kebusukan Kurawa dan kebusukan taktik politik Sengkuni yang licik. Namun, Adipati Karna tidak bisa berbuat apa-apa. Karna terikat janji setia pada Kurawa dan harus mengikuti sistem Kurawa meskipun dirinya tahu bahwa sistem itu salah. Lambat laun, kebusukan Kurawa dan kejahatanya mulai menjadi-jadi. Basukarna sendiri sudah berkali-kali menasihati Kurawa namun sia-sia. Maka membatinlah Sang Adipati, “Janji setiaku sebagai adipati pada Kurawa adalah menemani dan menggiring Kurawa kemana pun para Kurawa berlabuh dan sumpahku pada Tuhan adalah menegakkan keadilan. Kalau memang kata kata yang keluar dari pengetahuan suci saja tidak bisa menyadarkan hati para Kurawa, maka aku akan memenuhi janjiku pada para Kurawa untuk mengiringinya dan aku akan memenuhi sumpahku sebagai kesatria yang membela hal baik, akan aku giring para Kurawa pada kehancuran, demi musnahnya kebatilan, meskipun aku akan hancur bersamanya”

Semenjak itu, Basukarna selalu “mengompori” para Kurawa untuk melawan para Pandawa. Dalam hati Karna yakin bahwa Pandawa adalah pemegang kebenaran yang teguh sementara Kurawa adalah pemegang kebatilan yang kukuh. Ia tahu bahwa nantinya Kurawa akan hancur melawan Pandawa.

“Sastra Jendra Hayuningrat, Lebur Dining Pangestuti” (Dengan pengetahuan yang benar, kejahatan pasti akan musnah melawan kebaikan)

Pihak Pandawa mulai khawatir jika perang pecah, Pandawa akan melawan kekuatan besar dari para panglima Kurawa, salah satunya adalah Adipati Karna yang sakti mandraguna. Basukarna dianugerahi dua pusaka mahasakti: Aji Tameng Waja (kere waja) oleh Dewa Surya yang dibuat dari panas matahari dimana tidak ada satu senjata di muka bumi maupun senjata Dewa sesakti apapun yang bisa menembus baju Jirah Tameng Waja Batara Surya dan juga panah sakti Kunto Wijayandanu, anugerah Dewa Indra yang bahkan mampu membunuh dewa. Jirah dan panah ini yang membuat Basukarna menjadi salah satu kesatria yang tidak ada bandingannya

Di suatu hari, Adipati Karna ingin bersemadi di tepi Bengawan Yamuna, tempat dia dulu dipungut oleh Adirata. Secara kebetulan, Sri Kresna melihat Adipati Karna lewat dan ingin menghampirinya sekadar bertegur sapa atau berbincang. Meskipun Sri Kresna di pihak Pandawa namun apa salahnya jikalau sebagai manusia tetap menjalin silaturahmi. Sri Kresna pun menghampiri Karna dan terjadilah perbincangan di antara keduanya:

Sri Kresna : ”Salam adikku. Saya datang, Dik.”

Adipati Karna : “Salam kakang prabu. Hamba menghaturkan sembah.”

Sri Kresna : “Weleh-weleh, tidak perlu sampai menghaturkan sembah. Lha wong saya ini bukan dewa kok.”

Adipati Karna : “Kakang prabu ini memang orang yang bijak dan rendah hati namun Njenengan ini orang yang suci dan disucikan. Maka, sudah sepantasnya saya menghargai sebagai pelaksanaan tata krama hamba.”

Sri Kresna : “Walah sudah-sudah, saya cuma ingin mengobrol selaku penasihat juga untuk mewakili para Pandawa.”

Adipati Karna : “Mohon maaf sebelumnya, pembicaraan apa lagi Kakang? Bukankah para Pandawa sudah mendapat kemuliaan kembali dalam bentuk setengah kerajaan Ngastina?”

Sri Kresna : “Leh? Adi Karna ini ngawur saja, yang mau membelah Ngastina jadi separuh itu siapa? Negara kan bukan duren yang bisa dibelah-belah, Dik. Apalagi masalah wilayah, itu toh sudah jadi harga mati. Perang Bharatayuda akan segera terjadi itu sudah ditakdirkan. Oleh karena itu, saya mendapat pesan dari Prabu Puntadewa (Yudistira) agar Adik bersedia hijrah ke Wirata dan bersatu dengan adik-adik dari ibu yang sama (Pandawa), adi Arjuna pun tidak berkenan berperang dengan saudara tua seibu.”

Adipati Karna : “Hmmm, memang ini sudah suratan takdir, sudah terlanjur. Jadi seperti ini nasib Basukarna, saya harus tega memutuskan ikatan saudara sedarah. Duh, Kakang prabu izinkan hamba menyampaikan juga ini sebagai pesan bagi Adi Arjuna dan adik-adik hamba lainya yaitu para Pandawa bahwasannya hamba tidak bisa memenuhi kehendak Adi Puntadewa, Kakak prabu.”

Sri Kresna : “Loh? Alasannya?”

Adipati Karna : “Hamba ingin menepati janji dan membayar semua hutang budi hamba. Hamba bisa menjadi adipati di Ngawangga karena diangkat sebagai saudara oleh Kurupati (Kurawa). Jadi, sebagai seorang manusia yang ingin benar menjadi manusia, hamba berkewajiban menjaga orang yang telah memberi budi kepada hamba dan juga sudah tugas hamba sebagai seorang kesatria menepati darma (tugas) sebagai seorang kesatria untuk membasmi angkara murka.”

Sri Kresna : “Weelaah, nanti dulu, Adik ingin membalas hutang budi itu benar adanya tapi prasetyamu (pengabdianmu) untuk membasmi angkara murka dengan menyatu dengan Kurawa yang jelas-jelas salah dan keliru itu penalarannya bagaimana to, Dik?”

Basukarna tersenyum, merasa dipojokkan oleh Sri Kresna, maka diapun berucap, “Kakang prabu, Kurawa itu gudangnya angkara murka. Hamba dengan rendah hati dan jujur mengakui itu meskipun saya sendiri adalah bagian dari Kurawa. Saya sendiri terseret-seret dianggap melindungi angkara murka para Kurawa. Meskipun niat jiwa dan pikiran saya tidak mau, tapi nyatanya hamba ini orang Kurawa dan melindungi mereka.”

Sri Kresna : ”Lha? Mengapa begitu? Kalau Adi Basukarna memang merasa bahwa kewaskitaan sudah hilang dan sudah tahu bahwa Kurawa itu gudangnya angkara murka, kenapa Adik Basukarna tidak keluar saja dan bersatu dengan Pandawa?”

Adipati Karna : “Terus terang Kakang prabu, jujur, hamba sudah tidak mampu dan tidak punya daya kekuatan lagi yang bisa memusnahkan angkara murka di pihak Kurawa. Namun hamba ini orang dalam, hamba bagian dari Kurawa, yang bisa hamba harapkan adalah segera pecahnya perang Bharatayuda.”

Sri Kresna : “Wee, lah kenapa harus menunggu pecah perang?”

Adipati Karna : “Karena hamba yakin hanya perang yang mampu menghentikan angkara murka para Kurawa. Apa daya hamba dibanding Bisma Dewabrata yang agung, dengan Resi Abiyasa yang mulia, dibanding Mahaguru Drona, bahkan ketiga orang besar itu sudah tidak mampu lagi menyadarkan Kurawa. Meraka dihujat habis-habisan oleh Kurawa, apalagi hamba ini yang bukan siapa-siapa dan hanya sebagai anak kusir. Hamba yakin pada para Pandawa, nantinya akan diberi jalan oleh Tuhan untuk memenangkan perang ini. Sayapun berdoa untuk itu, bagaimanapun juga keangkaramurkaan harus musnah dari Ngastina. Bolo Kurawa termasuk saya, harus dihancurkan.”

Sri Kresna : “Lah lah lah, jadi Adi Basukarna ini mau menumbalkan diri untuk kebenaran dengan musnah bersama Kurawa? Aduh duh adiku Basukarna, kenapa harus seperti itu? Kesatria gagah perkasa dan bijak sepertimu kenapa harus ikut hancur bersama para Kurawa? Kasihanilah dirimu! Bagaimana jika nanti orang akan menghujatmu dan melupakanmu? Jalan yang kau tembuh ini amat sulit adiku.” Basukarna kembali tersenyum tulus.

Adipati Karna : “Maaf beribu maaf Kakang prabu, bukan hamba bermaksud berbicara tentang hidup pada Kakang prabu yang lebih mengerti. Namun jika hamba boleh berucap, itu sudah menjadi prasetya (pengabdian) para kesatria. Demi kebenaran, di setiap kehidupan harus ada harga yang harus dibayar atas sebuah pengorbanan untuk kebenaran: baik rasa, pikiran, jiwa, waktu atau nyawa.

Apapun itu jika bisa memusnahkan keangkaramurkaan maka dengan ikhlas hati hamba siap mengorbankannya. Biarlah alam dan Tuhan menjadi saksi abadi bagi saya, biarlah jika dikemudian hari nama Basukarna tidak ada bedanya dengan sampah. Biarlah hamba dihujat habis-habisan, hidup di dunia tak ayal seperti bermain dadu, setiap manusia mencari kebenaran masing-masing. Namun pada hakekatnya, hanya Tuhan-lah pemilik kebenaran yang sejati. Maka untuk

itu, di lubuk hati hamba saya tidak mencari kebenaran atau pembenaran. Saya hanya seorang pengabdi yang mengabdi pada yang Mahabaik. Biarlah saya

ternoda dan dianggap buruk dimata manusia, namun hamba tetap suci di mata Tuhan. Saya akan membawa kebenaran yang saya yakini hingga raga ini hancur lebur. Saya akan tetap berjuang dan membawa kebenaran sejati sampai mati dan saya yakin kebenaran pasti menang. Seperti air sungai yang berujung pada lautan dengan caranya, kebenaran sejati akan menemukan jalannya sendiri.”

Sri Kresna tak dapat berkata-kata. Beliau meneteskan air mata, terharu melihat tekad dari seorang kesatria muda yang begitu gigih melalui jalan berduri.

Adipati Karna : “Dan lihatlah badan hamba sekarang ini Kakang prabu, hamba sudah tidak lagi memakai jirah Dewa Surya. Hamba telah memberikannya pada Dewa Indra. Kini jangankan panah pasopati sakti Arjuna, bahkan jarum kecil saja mampu menembus raga ini.”

Melihat tekad Basukarna, dengan jelas dan tegas Sri Kresna menyabda: “Wahai adiku Basukarna, dengan meihat kebulatan tekadmu aku menganugerahimu bahwa hingga nanti namamu akan dikenal sebagai kesatria kaum bawah yang membela kebenaran dan kesetaraan. Namamu akan tetap wangi di mata masyarakat. Kau akan gugur sebagai tumbal kemenangan para Pandawa, kau akan gugur sebagai kesatria yang memiliki hakikat jiwa yang sejati.”

Percakapan Sri Kresna dengan Adipati Karna (Basukarna) pun berakhir. Pada nantinya, perang pun pecah dan Pandawa memenangkan pertempuran. Prabu Puntadewa (Yudistira) memimpin Ngastina dan menjadikan kebenaran, keadilan, kesetaraan sebagai pondasi utama negara, gemah ripah loh jinawi, adem ayem lan tentrem.

*Lakon wayang diatas berjudul prasetya Basukarna dalam wiracarita wayang jawa dan terjadi pada zaman Mahabhrata di babad perang Bharatayuda sebagai kayon cerita.

Mungkin kita sulit menemukan manusia dengan fase hidup seperti Basukarna, dan mungkin saja kita menganggap itu adalah cerita fiksi yang tidak akan pernah terjadi pada dunia nyata. Akan tetapi, nilai yang penulis titik beratkan pada kisah tersebut bahwa patriotisme dapat diwujudkan walau dengan taruhan nyawa, walau dengan hidup dalam keburukan itu sendiri. Mungkin kita sudah membayangkan siapa manusia yang mengalami fase seperti Basukarna. Tidak, bukan tokoh nasional. Tapi kita, kita sendiri yang kini hidup dalam ketertindasan. Sekian.

Wayang adalah buku pengetahuan bagi manusia rakyat Indonesia, karena olah rasa yang terdapat dalam setiap karakter dan kisah daripada setiap tokoh dari wayang tersebut. Hanya saja kini mereka tergusur oleh lembaran-lembaran teori yang tidak ada habisnya memecah belah kedaulatan bangsa ini.

Mungkin kita sudah sering mendengar ayam mati di lumbung padi. Tapi pernahkah anda mendengar akal mati di lumbung ilmu, Indonesia adalah gudang ilmu pengetahuan yang diserap dari budaya yang filosofis pada setiap jengkal wilayahnya. Hanya saja tidak berbentuk buku atau teori, mereka berbentuk kearifan lokal dan ritual.

Dikirim oleh : Nizar Hilmi (Mahasiswa Administrasi Publik 2012)