Penulis : Mechelin Dirgahayu Sky
Akhir September 2015. Musim panas tahun ini semakin membakar kulit-kulit manusia. Suhu udara sudah tidak terkontrol lagi. Panasnya matahari tidak lagi hanya membakar kulit, tapi mengukus ruangan-ruangan. Sampai-sampai mendidihkan isi kepala. Ah, sebenarnya bukan hanya karena musim panas dan teriknya matahari saja. Tapi, tugas pembuatan antologi yang setiap tahun rutin anak sastra kerjakan yang membuat kepala rasanya mau meledak.
Kelas sastra mempunyai agenda rutin di setiap tahunnya, termasuk membuat antologi. Sayangnya tahun kemarin senior mereka tidak membuat antologi dan memilih mengundurkan diri sebelum didemisioner. Kelas sastra selalu dianggap sebelah mata. Setiap tahun saja pengikutnya semakin berkurang. Sampai tahun ini, hanya empat orang yang tersisa. Itu pun anggota baru semua.
“Kenapa aku bisa kejebak gini sih!” kesal Kania sambil mengelap peluhnya dengan punggung tangannya secara kasar.
Kania adalah mahasiswi jurusan Kriminologi angkatan 2015. Dia dan Maria adalah satu-satunya anggota perempuan di kelas sastra di kampusnya. Kania memilih kelas sastra, karena menurutnya ini salah satu kegiatan yang mudah, dan bisa menyalurkan salah satu hobinya. Kalau bukan karena tugas dari fakultas untuk memilih salah satu kegiatan, dia tidak akan membuang tenaganya secara cuma-cuma untuk kegiatan seperti ini. Dan anehnya lagi dia terpilih menjadi ketua. Begitu lengkap penderitaan di musim panas ini.
“Tunggu! Kenapa kita tidak ambil tema tentang mahasiswa saja. Kan lebih mudah juga pendekatannya,” usul Bayu. Walaupun tubuhnya sudah bermandikan keringat di dalam pengapnya ruangan kelas sastra, dia tidak akan meninggalkan kelas ini. Dia sangat mencintai dunia sastra dari sudut mana pun.
“Aku pernah dengar cerita dari ayahku tentang pergerakan mahasiswa tahun 1998.“ Karena cara bicara Maria yang kalah cepat dengan jalannya semut, Bayu langsung memotong ucapannya. “Ahhh benar juga! Itu pembahasan yang cukup menarik untuk diangkat. Gerakan mahasiswa di tahun itu berhasil menumbangkan rezim otoriter Soeharto yang menguasai Indonesia selama 32 tahun. Sebuah gerakan yang sangat dibanggakan hampir seluruh rakyat Indonesia saat itu.” Bayu mulai asyik dengan pembahasannya. Dia punya data-data yang sangat lengkap di otaknya, sayangnya dia masuk di jurusan yang salah dengan kemampuan otaknya tersebut. Bayu sangat lemah dengan angka dan rumus, tapi dia salah satu mahasiswa akuntansi 2015.
Sedangkan laki-laki di hadapanku ini, sama sekali belum berbicara mengenai tema apa yang akan diangkat untuk bahan antologi tahun ini. Dia masih asyik menatap secangkir kopi yang sudah tak lagi mengepulkan uap. Atau mungkin dia sedang memikirkan sesuatu. “Memang gerakan itu cukup legendaris di tahun itu sampai sekarang pun masih di kenang-kenang juga. Tapi, apa kalian tahu, ada fenomena-fenomena yang tidak sehat dalam dunia gerakan mahasiswa saat itu?” ujar Aldi salah satu mahasiswa hukum 2015.
Setelah satu bulan kami bersama, baru kali ini Aldi berbicara panjang lebar. Sampai-sampai dia tertarik untuk menatap wajah-wajah kami. Aldi memang cukup pendiam dan misterius. Hampir di setiap pertemuan dia tidak berbicara, mungkin hanya beberapa kata saja, seperti ‘iya’ dan ‘tidak’. Walaupun sikapnya aneh seperti itu, dia tidak pernah absen dalam setiap pertemuan.
“Maksud kamu?” tanyaku yang kembali tertarik dengan tema tentang gerakan mahasiswa ini.
“Mereka terlalu liar dan penuh kekerasan. Orang lain, siapa pun itu yang berbeda aliran dengan mereka akan disidang habis-habisan dengan budaya militerisme mereka. Walaupun mereka bilang anti militerisme ternyata justru memelihara karakter kekerasan militer dengan melakukan intimidasi pada orang-orang yang berbeda pendapat,” jelas Aldi yang diakhiri dengan mengambil sehelai tisu yang ada di tengah-tengah meja untuk mengelap keringat yang membanjiri sisi-sisi wajahnya.
“Contohnya?” tanyaku menuntut fakta dari pendapatnya barusan.
“Kekerasan ospek pada tahun 90-an. Mereka yang memiliki budaya tersebut, ketika disungut api mengenai gerakan untuk menyusun reformasi baru terhadap Indonesia, mereka yang tidak mempunyai bekal apa-apa tentang sebuah reformasi akan menjadi senjata makan tuan,” tutur Aldi yang berhasil membuat kami bungkam dan asyik dengan penjelasannya.
“Lalu komitmen mahasiswa yang melakukan gerakan tersebut juga bersifat sesaat saja. Seperti cerita GIE, beberapa senior aktivis gerakan zaman dulu, ketika sudah menduduki kursi pemerintahan mereka akan meninggalkan komitmennya karena uang ataupun kesenangan lainnya. Pondasi itu yang menjatuhkan gerakan mahasiswa saat itu. Sampai-sampai memakan korban bagi mereka yang benar-benar memperjuangkan reformasi dan memang mengerti arti reformasi tersebut.” Entah mengapa kini bara dalam tubuh Aldi mulai berkobar.
“Insiden tewasnya Moses Gatotkaca dan mahasiswa-mahasiswa lainnya saat melakukan long march di gedung DPR/MPR. Mereka yang berada di garis depan, paham apa yang mereka tuntut. Tapi, yang digaris belakang mereka tidak tahu menahu hanya mengikuti, dan membiarkan yang digaris depan dimakan.” Bara di dalam tubuh Aldi semakin membara. Terik matahari telah dikalahkan oleh bara Aldi. Sebenarnya apa alasan dibalik bara ini?
Aku melihat teman-temanku yang lainnya. Maria dengan mata penuh penasarannya tak luput dari penjelasan Aldi. Sedangkan Bayu mulai mencatat di buku kecilnya. Ya, dia harus mencatat informasi yang tidak bisa dilewatkan ini untuk koleksi data-datanya. Sedangkan aku masih penasaran tentang apa yang mendasari bara Aldi.
“Kalau dari penjabaran yang kamu jelaskan tadi, berarti gerakan mahasiswa itu baik atau buruk? Aku masih kurang paham.” ujar Maria yang masih bingung. Aku pun juga masih merasakan itu, bara itu menyala karena ada sesuatu yang menyalakannya.
“Kalian tahu,” tiba-tiba Aldi mencondongkan tubuhnya agak ke depan dengan gaya bicara yang berbisik ia kembali melanjutkan kalimatnya. “Kasus penculikan dan penghilangan secara paksa yang pernah terjadi sebelum insiden tewasnya Moses dan empat mahasiswa saat long march di gedung DPR/MPR?” tanyanya yang berhasil membuat kami serempak menganggukkan kepala.
“Kakak pertamaku diculik dan tidak pernah kembali sampai saat ini. Kata ibuku, dia
sangat dikagumi oleh kawan-kawannya. Dia bersama mahasiswa lainnya yang ada di Bandung berencana membuat gerakan juga untuk reformasi. Awalnya dia ingin dia dan kawan-kawan yang lain bersama-sama menuntut reformasi tersebut, tapi salah satu diantara mereka menginginkan ketua untuk tameng mereka. Dan kakakku lah yang terpilih menjadi ketua tanpa sepengetahuannya. Hingga akhirnya suatu malam di Jakarta, sahabatnya dan beberapa kawan mahasiswa lainnya melihat kakakku diculik oleh seseorang, dan mereka hanya menyaksikannya saja.” Terlihat kulit lehernya yang naik-turun karena menelan ludah.
“Satu tahun setelah itu sepucuk surat datang di depan rumah kami. Surat itu dari kakakku, ibu sangat mengenali tulisan anak pertamanya itu, tapi beliau tidak berani membacanya. Sampai akhirnya dua tahun kemudian, saat aku sudah mahir membaca aku menemukan surat itu di lemari ibu. Ada pesan untuk ketiga adiknya, termasuk aku. ‘Jadilah lebih kuat. Karena akan ada hari dimana kau tidak bisa berteriak sekuat-kuatnya walaupun di sekeliling kalian ramai. Jadilah lebih kuat, atau kau akan dimakan hidup-hidup.’” kini cahaya di dalam matanya yang tadi sempat membara kian meredup diikuti dengan kepalanya yang menunduk.
“Berarti gerakan mahasiswa belum bisa dibilang baik dan tidak bisa dibilang buruk. Manusia tidak bisa dilabeli dengan baik atau pun buruk. Baik dan buruk tidak bersifat kekal, mereka hanya sementara. Jadi gerakan mahasiswa akan berjalan baik jika mereka sepakat sama-sama akan bertarung dan satu tujuan untuk menuntut sebuah kebenaran dan keadilan,” jelasku menggambil garis besar dari semua penjelasana Aldi.
“Tapi, kita tidak akan tahu mana yang sungguh-sungguh mana yang tidak? Mana yang akan mengkhianati mana yang tidak?” ujar Bayu.
Aldi kembali menengadahkan kepalanya, menatap kami satu-persatu. “Kita akan tahu, ketika mereka sama-sama berdiri di garis yang sama.” Tiba-tiba saja aku melihat segaris senyum menghiasi wajahnya, tapi detik berikutnya tak terlihat lagi. Itulah Aldi dengan segala ke-misteriusannya.
Tiba-tiba saja suhu udara jadi menurun. Matahari sudah tak seterik satu setengah jam yang lalu, sepertinya sore sudah tiba. Kami langsung membenahi buku-buku yang berserakan di atas meja.
“Aku jadi pingin es skrim deh,” celetuk Maria setelah merapikan buku-bukunya.
“Tunggu! Aku sepertinya punya judul yang tepat untuk antologi kita.” Satu alisku terangkat sedangkan yang lainnya−kecuali Aldi tentunnya−mengerutkan dahinya.
“ICE CREAM!!” pekikku yang membuat Maria dan Bayu terlihat semakin mengerutkan dahinya dan menunjukkan kedua alisnya yang hampir menyatu. Berbeda dengan Aldi yang langsung mencoretkan sesuatu di selembar kertas yang langsung ditunjukkan ke arah Bayu dan Maria. ‘I Scream’