Penulis: Mechelin D. Sky

Di balik senja dengan warna jingga kemerahan, ku temukan dirimu berbalut cahaya yang membutakan mata. Rambutmu berkibar berhembus angin menyejukkan diriku. Wanginya manis, semanis musim panas. Siluet tubuhmu terlukis indah. Aku memang sering bilangnya semenjak bertemu denganmu. Tapi, kali ini aku harus pergi. Bisakah kita berjumpa lagi?

Seperti tahun-tahun sebelumnya, aku akan ikut dalam perjalanan yang tak terduga dan penuh pelajaran keluar dari Negaraku, indonesia. Aku akan selamat gunung-gunung, bukit-bukit, laut, museum, dan tempat bersejarah. Entah kemana saja, asal negara yang belum pernah ku kunjungi. Kali ini jariku menunjuk sebuah negara yang ada di bola dunia. Ah, lebih tepatnya ibu kota negara tersebut. Jariku menunjuk Bangkok sebagai tempat berpetualang ku.

Aku mulai mempersiapkan berbagai macam daftar tentang tempat wisata, bahasa yang sering dipakai oleh para turis, jalur-jalur transportasi, dan yang tidak boleh di lupakan saat ini ke negara yang ada makanan khas asli sana.

Setelah perbekalan siap, tabungan di kuras dan rupiah di tukarkan dengan mandi. Aku siap memburu petualangan, pengalaman menakjubkan, dan pengetahuan yang tak bisa di dapatkan di buku, apa pun google .

Setelah pesawat yang kutumpangi mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Don Muang, aku segera melebarkan petaku untuk memulai petualanganku di Bangkok. Ngomong-ngomong aku masih punya waktu dua jam sebelum check-in di salah satu hostel yang letaknya cukup strategis di daerah Khao San.

Banyak backpacker bilang, kalau daerah Khao San ini kampung-nya para backpackers . Penuh dengan penginapan murah, restauran hingga street food murah meriah. Mulai dari makanan ringan Yang menggugah Selera seperti mangga ketan Sampai camilan Yang mengerikan seperti sate kalanjengking dan masih Banyak Lagi. Selain makanan ringan, makanan berat khas Bangkok yaitu Pad Thai juga ada. Jalanan Khao San selalu penuh dengan para penjual suvenir, pakaian, hingga pembuat tato , henna , dan rambut gimbal. Semua turis, warga lokal berkumpul jadi satu memenuhi daerah Khao San.

Karena waktu dari bandara internasional Don Muang ke Khao San butuh waktu yang cukup lama juga, akhirnya aku memutuskan untuk memakai waktuku berkeliling di sekitaran daerah Khao San. Lagi pula Khao San punya sungai cantik yang airnya tak pernah tenang. Sungai Chao Phraya selalu sibuk dengan kegiatan transportasi udara yang selalu hilir mudik dari selatan ke utara. Mengantarkan berbagai macam orang menuju tujuan-tujuan menarik. Ahhh … aku jadi benar-benar tidak sabar untuk visi Bangkok.

Sàwàtdee, kràp! 1 “ucapku untuk asrama , tempatku menginap.

Sàwàtdee, kràp! “Ternyata benar apa yang para blogger ceritakan, apakah perempuan-perempuan di Bangkok ini memiliki senyum yang sangat manis.

“Atas nama?”

“Antonius. Dari Indonesia “ucapku.

Dan beberapa menit kemudian dia memberikanku kunci dan membawaaku ke ruangan berisi sepuluh tempat tidur yang benar berisikan pria dari negara mana saja. Setelah itu dia menunjukkan kasurku, kamar mandi, dan segala fasilitasnya. Aku menahannya sebentar.

“NGG … Apakah kamuMaksudku . Apakah kamu punya … “Sial! Kenapa aku jadi tergagap-gagap seperti ini.

Dia masih menungguku dengan sebuah senyuman yang dibuat berjuta kupu-kupu mengepakkan sayapnya dengan bebas. Semenjak putus dengan mantanku, aku selalu membenci mereka yang membuatku akan ketertarikanku terhadap lawan jenis. Bukannya aku suka dengan sesama jenis. Aku hanya ingin sendiri dan menikmati hidup dengan sebebas-bebasnya, tanpa perasaan cinta yang terasa omong kosong.

Apakah ada hal lain lagi tuanku? “Tanyanya yang tidak begitu jelas, karena masih bawa logatnya.

Tidak ada. Kòrp kun kràp 2 ucapku lagi menunjukkan kebisaanku dalam bahasa Thailand.

Aku memutuskan untuk fokus dengan perjalananku dan menganggap semua senyuman wanita Thailand hampir sama dengan senyuman lady boy yang ada di sini. Jadi, aku bisa fokus dengan perjalananku, tanpa harus berjuta kupu-kupu yang menyesakkan.

Kini aku sudah berlayar dengan salah satu kapal yang memiliki bendera warna oranye untuk sungai sungai Chao Phraya untuk menuju destinasi pertamaku hari ini yaitu, Grand Palace, Wat Arun, dan Wat Pho.

Setelah membeli tiket seharga 500 bath, aku segera pulih Grand Palace yang berisikan macam-macam yang di dominasi warna emas. Membuat siang hari ini terasa semakin menyengat dari pantulan-pantulan emas dari kuil-kuil disini. Satu jam setengah puas penuh Grand Palace, aku segera pindah menuju Wat Pho, dimana Patung Buddha sedang beristirahat dengan posisi salah satu kolom meyangga kepala dengan posisi kaki di sejajarkan. Katanya sih, ini patung Buddha terbesar yang dilapisi emas.

Tak kusangka, aku sudah terbangun waktu lima jam dari tempat ke tempat lainnya. Ransel yang kubawa saja, juga sudah mulai berat dengan beberapa sovenir yang sayang tidak di bawa pulang untuk oleh-oleh atau pun terjangkau.

Saat dalam perjalanan menuju dermaga ada sesuatu yang membuatkuhentikan langkahku. Seperti tersihir begitu saja. Aku menatap siluet tubuh itu. Wajahnya tertimpa cahaya senja, helai-helaiannya rambutnya terbawa angin. Dia tidak terlibat percakapan dengan siapa pun, tapi dia tersenyum. Dan itu adalah senyuman termanis di musim panas ini. Melelehkan seluruh organ di tubuhku. Detik berikutnya, aku mulai sadar dengan perkataanku tadi siang. Senyuman itu, tidak boleh diikat kupu-kupu di perutku. Aku tidak bisa jatuh cinta di saat sedang berpetualang. Jatuh cinta dengan orang asing Tidak!

Sialnya, saat aku mengangkat kepalaku nikmat tiba-tiba aja mataku. Mengkuncinya, hanya untuk menatapnya seorang. Dan lagi-lagi dia tersenyum sambil mengangkat kedua jas yang saling di tempelkan ke arah jidat, berbarengan dengan menundukkan kepala. Lalu terdengar dia menyuarakan ‘ Sàwàtdee, kràp! ‘. Jarak di antara kita memang tidak terlalu jauh, tapi di sekitaran sini cukup beresiko untuk mendengar apa yang ia ucapkan. Tapi, anehnya aku bisa tau apa yang ia ucapkan. Dan aku pun melakukan apa yang barusan dia lakukan.

Aku tidak tau sudah berapa lama kita saling menatap tanpa saling berucap. Yang aku tau pasti, kami sama-sama saling bertukar senyum dan adegan saling memandang ini. Sampai akhirnya …

“Aduh!” Pekikku dengan tubuhku yang jatuh ke tanah. Rileks adegannya sudah romantis Latar belakang matahari terbit, kedua insan sedang menatap dengan penuh cinta, dan tinggal tunggu waktunya untuk saling berpelukan. Tapi, kesadaran membangunkanku dari mimpi indah itu.

Aku masih meringis kesakitan, entah apa yang menabrakku tadi. Aku terlalu fokus dengan sosok gadis berbalut cahaya senja itu. Suara langkah kaki terdengar ke arahku, dan gadis berbalut cahaya senja itu sudah berjongkok di sampingku. Dia menyentuhku.

Apakah kamu baik-baik saja? “Tanyanya dengan ekspresi wajah cemas. Sungguh ini pemandangan yang sangat indah. Ternyata dia benar-benar … bukan cantik, tapi manis dan menawan . Tanpa ku perintah, kupu-kupu itu sudah selamat dengan bebas di perutku. Dan kali ini tidak menyesakkan, tapi itu.

Apakah kamu baik-baik saja? “Tanyanya sekali lagi dan menyadarkanku dari efek memabukkan kupu-kupu tersebut.

Mai pen rai 3″ jawabku.

Khun 4 bisa berbahasa Thai! “Serunya.

Sedikit ” ucapku sambil menggaruk rambutku yang tak gatal.

Namanya Plèng. Umurnya 25 tahun dan bekerja di Bangkok di daerah Phaya Thai. Lahir di Siam dengan kekerasan campuran Kanada, Irlandia, dan Thailand. Katanya dia lancar bahasa Inggris yang ia dapatkan dari kebenaran. Kebetulan dia juga sedang melakukan perjalanan di sekitaran dan sedang menunggu kapal ferry menuju Khao San.

Aku segera menggunakan bintang keberuntunganku ini dengan mengajaknya jalan-jalan. Kami menghabiskan waktu dengan memperbaiki wilayah Khao San sampai khatam. Plèng, wanita yang penuh cerita dan mengasyikan. Aku tidak pernah bosan mendengar ceritanya. Kami seperti menyatu begitu saja. Banyak hal-hal yang kusukai, juga disukainya. Kami seperti saling melengkapi.

“Bagaimana kalau besok, aku temani Khun Anto keliling Bangkok? Bebas! “Ujarnya.

Phii nâe-jai mâi? 5

Chai 6 ” lagi-lagi dia memamerkan senyum yang semanis musim panas itu.

Dan besoknya, dia benar-benar menepati janjinya. Dia sudah menungguku di dermaga tepat, saat pertama kali kita berjumpa. Baju sundress-nya mempermanis dirinya. Aku merasa tidak butuh matahari lagi saat bersamanya. Aku seperti menemukan musim panas yang luar biasa saat bersamanya.

Kami sengaja naik tuk-tuk menuju China Town , lalu naik kereta bawah tanah dari sana menuju Chatuchak. Ples juga mengajakku berkeliling di Pratitam Pratunam dan Siam. Kemana pun Ples mengajakku, aku akan setia berada di sampingnya. Menerima tarikan dari satu tempat ke tempat lainnya. Asalkan tangan itu yangku sukaku. Asalkan itu Plèng.

Tak terasa ini sudah hari ini aku di Bangkok dan besok penerbangan pukul satu siang akan membawa pulang ke tanah air. Tidak ada lagi suara cempreng yang keluar dari gadis berbalut cahaya senja. Tidak ada lagi tangan yang mengajakku berkeliling Bangkok. Tidak ada lagi senyuman semanis musim panas.

“Plèng.” Panggilku dan detik berikutnya dia sudah menoleh ke arahku.

Kami sedang ada di kapal ferry menuju ke arah utara. Malam akan segera tiba. Senja perlahan-lahan turun, bikin arun terlihat begitu indah. Tapi, tak ada yang bisa mengalahkan siluet tubuh Ples yang tertimpa cahaya senja. Tak pernah kusangka semuanya akan seperti ini. Bercerita panjang lebar terhadap warga lokal yang sedang kita kunjungi. Dan sialnya, aku jatuh cinta sed.

“Bisakah kita berjumpa lagi, Plèng?” Tanyaku hati-hati.

“Chai. Kalau kamu ada waktu lagi untuk Mulia Bangkok. Kamu bisa menemukanku di dermaga Ta Chang. Aku selalu pergi kesana. “Jelasnya.

“Tòk lama! 7 Kalau begitu aku akan datang lagi. ”

Untuk terakhir kalinya aku menikmati senja di sungai Chao Phraya dengan gadis yang menyerap senja itu menjadi balutan fisik. Aku akan selalu mengingat gadis ini. Gadis berbalutkan cahaya senja Bangkok.

  1. Hallo atau biasanya dipakai untuk mengucapkan salam.
  2. Terima kasih.
  3. Tidak masalah atau tidak apa-apa.
  4. Tuan
  5. Benarkah?
  6. Iya
  7. Baiklah

Sumber foto: http://www.zicasso.com/