Penulis: Hendra Kristopel

Komunis adalah musuh kita. PKI adalah pengkhianat bangsa. Seperti itulah guru kita dulu menjelaskan sejarah bangsa ini. Bahkan di ranah perguruan tinggi pun demikian. Seolah tak mau tahu apa yang selama ini dibungkam. Setiap mendengar istilah Partai Komunis Indonesia, maka pikiran langsung mengarah ke peristiwa pengkhianatannya, terutama Gerakan 30 September 1965 (G30S). Ada yang benci dengannya, tanpa sebab sekalipun. Ada juga yang membuka pikiran tentang yang sebenarnya terjadi. Secara mendasar, G30S terletak dalam ruang konstelasi politik global, yakni perang dingin. Semakin naik kekuatan Amerika Serikat (AS), akan menggeser percaturan politik dunia. Kemajuan negaranya akan ditentukan oleh bagaimana mengatur peta politik di setiap negara yang akan menjadi bahan eksploitasinya. Hingga akhirnya, ia harus membasmi lawan politiknya sampai habis. Dan hal itu terjadi di Indonesia.

Propaganda Palsu G30S

Orde Baru melakukan pelbagai langkah terstruktur untuk menguatkan argumen: PKI bersalah dalam G30S. Salah satunya adalah mendongengkan sebuah narasi ke dalam film bertajuk ‘Pengkhianatan G30S/PKI’. Karya tersebut mencoba menampilkan ulang peristiwa G30S. Padahal, apa yang terjadi di malam itu masih menjadi tanda tanya besar. Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) sebagai organisasi perempuan onderbouw PKI, diceritakan menyilet kemaluan tujuh jenderal yang terbunuh malam itu, kemudian menarikan tarian Harum Bunga. Skenario sejarah buatan Orba ini amat berlebihan. Sang produser berkhayal terlalu liar, sampai-sampai kejadian yang ingin ia anggap realistis menjadi semacam film horor. Padahal, hasil visum dokter (yang pada masa Orba tidak pernah dibuka) menyatakan, tidak ditemukan luka goresan pada kemaluan para jenderal yang terbunuh. Sebuah fakta yang akhir-akhir ini mulai terbuka. Lagi-lagi, sang produser tidak mempertimbangkan konsekuensi atas fantasi liarnya.

Pertanyaan besarnya ialah: Siapa dalang pembunuhan jenderal sebenarnya? Banyak versi dari berbagai persepsi yang mencoba merekonstruksi kejadian malam itu. Namun, John Roosa melalui penelitiannya yang dibukukan dalam Dalih Pembunuhan Massal memberikan sumbangan positif terhadap segala upaya pencarian kebenaran. Terlepas dari kesimpulan akhir yang berbeda-beda, banyak teori yang memberikan asumsi bahwa G30S adalah persekongkolan politik yang direncanakan dengan baik, memiliki rencana yang matang, dan berada di bawah garis komando yang jelas. Sejalan pula, International Peoples Tribunal 1965 (IPT 65) memutuskan, versi sejarah tentang penyiksaan tujuh jenderal di Lubang Buaya itu palsu. Majelis Hakim melalui data dan analisisnya menyatakan dengan tegas, skenario G30S telah dikantongi oleh Soeharto dan pihak-pihak yang bekerja sama dengannya, yang kemudian dirancang menjadi alat propaganda palsu, lalu ditutup dengan skenario kudeta halus Soekarno oleh Soeharto. Demikian pula dengan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 dengan tegas menyatakan, dalang G30S bukan PKI. PKI dijadikan kambing hitam oleh Soeharto dan antek-anteknya dengan memberikan cao pengkhianat. Soeharto dengan entengnya menjadikan PKI sebagai pelaku utama pembunuhan jenderal, tanpa ada penyelidikan dan bukti-bukti yang mendalam. kemudian, berita PKI sebagai dalang menjadi masif diterima masyarakat. Soeharto membredel semua surat kabar yang ada, dan satu-satunya surat kabar yang terbit adalah Berita Yudha, yang dikuasai oleh militer. Media ini menjadi media arus utama untuk tujuan propaganda palsu atas pengkhianatan PKI kepada masyarakat luas.

Propaganda G30S Sebagai Alat Legitimasi Kekerasan Diantara Perang Kepentingan

PKI pada masa itu adalah organisasi politik terbesar di Indonesia. PKI menjadi antitesis dari kepentingan kapitalisme global yang didominasi dunia barat. PKI dan juga Soekarno menjadi pihak yang memberikan resistensi terhadap segala bentuk eksploitasi asing di Indonesia. Soekarno pernah berkata, “Saya cinta komunis karena komunis adalah revolusioner.” Soekarno menjadi sosok yang dibenci oleh negara barat, terutama AS yang pada saat itu sedang mencari mangsa untuk melebarkan aktivitas kapitalistiknya. Soekarno dianggap menjadi penghalang bagi AS untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia, terutama yang ada di Papua. Untuk menghancurkan Soekarno, AS dan agen CIA setidaknya melakukan tujuh operasi. Salah satunya dengan menunggangi gerakan separatis, yaitu PRRI Permesta. Gerakan separatis ini mendapat supply senjata dari kapal AS, agar mereka ini memiliki kekuatan untuk memecah-belah Indonesia dan Soekarno. Namun upaya itu gagal. AS pada akhirnya menggunakan cara-cara pemanfaatan orang dalam agar bisa masuk dengan mulus dan melakukan akumulasi kapital ke Indonesia tanpa harus terhalang oleh sosok Soekarno. Cara yang dipakai adalah melenyapkan pendukung Soekarno dan segala pemikiran yang menentang aktivitas kapitalistiknya. Majelis Hakim IPT 65 juga menyebutkan, AS terbukti memberikan daftar nama anggota PKI kepada kubu Soeharto. Setelah selesai dengan skenario propaganda palsu oleh kunci orang dalam tersebut, masyarakat ditanamkan pola pikir negatif terhadap PKI. Masyarakat dibuat menjadi naik darah dan resah dengan keberadaan PKI. Kebencian tersebut terus terakumulasi, hingga akhirnya tak sedikit masyarakat yang terprovokasi untuk bertindak agresif terhadap segala hal berbau komunis tanpa tahu kebenaran atas tindakannya.

Propaganda palsu tersebut ternyata berhasil membentuk masyarakat anti komunis. Hal ini membawa dampak yang tidak manusiawi. Sasaran pembantaian yang awalnya terbatas pada mereka yang dituduh terlibat dalam G30S, menjadi sangat luas. Berdasarkan catatan IPT 65, sasaran yang awalnya adalah mereka yang berhubungan dengan PKI dan organisasi yang berafiliasi dengan PKI, meluas hingga merestrukurisasi masyarakat dalam membersihkan kalangan kiri. Termasuk di dalamnya mereka yang menjadi pengikut Soekarno, anggota progresif Partai Nasional Indonesia (PNI), hingga etnis Tionghoa turut merasakan kekejaman tangan besi atas komando Soeharto yang telah mengambil alih pemerintahan (dengan alat Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang hingga kini kebenarannya masih misteri). Pelakunya adalah tentara dan satuan keamanan negara lainnya, organisasi masyarakat, hingga masyarakat biasa yang telah termakan oleh indoktrinasi anti-komunis oleh Orde Baru.

IPT 65 tidak memiliki angka pasti terkait jumlah korban. Namun Majelis Hakim dengan tegas menyatakan, paling sedikit ada 500.000 orang yang dibunuh dengan berbagai cara yang keji. Seperti yang terdapat dalam film dokumenter Jagal dan Senyap karya Joshua Oppenheimer. Film tersebut menggambarkan bagaimana para pelaku membunuh dengan keji para korban. Para pelaku membenarkan tindakannya karena dinilai telah membela negara Indonesia dari apa yang mereka anggap hama. Lagi-lagi, betapa kuatnya propaganda palsu dan indoktrinisasi anti-komunis oleh Orba. Majelis Hakim juga menyebut sekurang-kurangnya sejuta orang ditahan berdasarkan penggolongan kejiwaan, dengan menilai kesetiaan mereka pada komunis. Sungguh parameter yang tidak masuk akal untuk menahan orang yang bahkan tidak bersalah. Ditambah lagi kondisi kerja yang ekstrim dan tidak manusiawi selama penahanan, kekerasan seksual terhadap tahanan perempuan, penculikan, penghilangan paksa, hingga genosida, menambah pandangan tengik kepada rezim Orba sekaligus pelik kepada sejarah bangsa kita.

Setelah Soekarno turun dan pendukungnya habis, Soeharto naik ke kursi presiden. Tujuan negara asing pun terpenuhi. Keran investasi asing dibuka selebar-lebarnya lewat produk hukum pertama Soeharto, yaitu UU Penanaman Modal Asing. Lewat skema inilah AS akhirnya berhasil menduduki lahan tambang emas di Papua (Freeport). Negara asing dengan mudahnya masuk ke Indonesia untuk menanamkan modal demi memperkaya diri sendiri tanpa harus ada hambatan seperti saat Soekarno memimpin. Skenario pementasan pun berhasil sesuai rencana. Luar biasa panggung rezim Orba ini. Bahkan yang sangat disesali, masih ada yang menerima dan percaya dengan ikhlas tentang sejarah yang dimanipulasi ini. Sampai-sampai tercium bau anti-komunisme gaya Orba hingga hari ini.

Bahaya Komunis Gaya Baru atau Anti Komunis Gaya Orba?

Pada Kamis, 29 September 2016, saya hadir dalam sebuah diskusi yang bertajuk Merawat Ingatan, Marxisme dan Kekerasan 65 di Kota Malang. Entah datang dari mana, di pertengahan diskusi, aparat datang dan memaksa diskusi dihentikan. Alasannya aneh, karena ada masyarakat tidak setuju terhadap diskusi ini. Ketika saya menoleh ke luar kafe, tampak beberapa lelaki berbaju putih. Mereka adalah golongan yang menolak diskusi tersebut. Katanya akan membangkitkan hantu komunis. Hak atas pengetahuan, kebenaran, dan berdemokrasi, serta berkumpul di dalam ruang publik saat itu dihilangkan secara paksa oleh orang-orang tersebut. Lantas apa bedanya mereka dengan anti-komunisme gaya Orba? Bertindak seperti robot, dilakukan tanpa tahu alasannya. Hal seperti ini sudah seringkali terjadi di Indonesia. Bahkan, dapat dikatakan, Indonesia saat ini sedang mengahadpi fase Gawat Demokrasi. Mereka yang menamakan dirinya agamis, nasionalis dan semacamnya, sesungguhnya tidak menjadi refleksi atas dirinya sendiri ketika mengatakan bahwa upaya pelurusan sejarah dan rekonsiliasi HAM hanya akan membangkitkan komunisme. Bung, hantu Orba lah yang sudah bangkit atas diri Anda!

Tidak mungkin negara ini kokoh berdiri di atas kaki-kaki kebohongan. Upaya pelurusan sejarah di Indonesia harus terus dilakukan sebagai refleksi di masa depan. Penghormatan kepada HAM harus nyata dilakukan. Melepaskan segala bentuk indoktrinisasi Orba, yang telah mengintervensi sejarah di Indonesia adalah tugas kita semua. Keputusan IPT65 sudah sangat jelas, Negara Indonesia dinyatakan bersalah atas tragedi 1965. Maka tuntutan yang realistis adalah meminta Negara bertanggung jawab dan membuka ruang partisipasi masyakat untuk meluruskan sejarah yang telah dimanipulasi, merehabilitasi korban dan penyintas, serta memerangi impunitas.