Penulis: Muhammad Bahmudah

Konsep Good Governance mensyaratkan adanya akuntabilitas, transparansi, serta partisipasi masyarakat dalam setiap proses kebijakan publik yang berperan sebagai upaya pemberian pelayanan demi kesejahteraan masyarakat. Tentunya, hal ini hanya dapat dicapai melalui sistem peradilan yang baik dan sistem pemerintahan yang dapat dipertanggungjawaban kepada publik. Hadirnya Undang-Undang No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) merupakan tonggak penting bagi perkembangan demokrasi untuk mewujudkan sebuah Good Governance tersebut.

Kehadiran UU KIP memberikan penegasan bahwa keterbukaan informasi publik merupakan kebenaran konstitusional seperti yang dinyatakan pada pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 mengenai Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal ini berbunyi, “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengelola, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Keterbukaan informasi diharapkan dapat menjadi semangat dalam demokrasi yang menawarkan kebebasan sekaligus tanggung jawab secara bersamaan. Disamping itu, undang-undang ini mengatur pemenuhan kebutuhan informasi yang terkait dengan kepentingan publik, tak terkecuali di dalam perguruan tinggi.

Sebagaimana yang kita ketahui, KIP dalam dunia pendidikan memerlukan prinsip transparansi dalam implementasinya. Gagasan ini telah tercantum dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. Pada poin B pasal 63 mengenai Otonomi Pengelolaan Perguruan Tinggi menjelaskan bahwa salah satu prinsip dalam pengelolaan perguruan tinggi adalah transparansi. Dalam konteks ini perguruan tinggi merupakan lembaga publik yang berkewajiban menerapkan UU KIP.

Ironis, dalam implementasinya, undang-undang ini nyatanya belum berjalan sesuai yang diharapkan. Seringkali usaha yang kita lakukan untuk mengetahui informasi publik menuai hasil nihil. Pelayanan untuk memperoleh informasi publik yang terkesan rumit dan berbelit-belit tak jarang dijumpai. Perguruan Tinggi pun tak luput turut menjadi salah satu lembaga yang transparansinya sering bermasalah. Padahal, transparansi merupakan kunci utama agar KIP dapat diselenggarakan.

Jangan Seperti Ludruk!

“Prestasi Universitas Brawijaya (UB) dalam bidang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) meningkat pada tahun 2015. Jika sebelumnya menduduki posisi kedua, maka kemudian UB menduduki posisi pertama pada anugerah keterbukaan informasi publik 2015 untuk kategori perguruan tinggi negeri. Raihan nilai UB pada tahun ini mencapai 87,861 sementara Universitas Gadjah Mada yang menduduki posisi kedua memperoleh nilai 77,653.” (dikutip dari http://prasetya.ub.ac.id/press/UB-Menangi-Anugerah-Keterbukaan-Informasi-Publik-17975-id.html)

Suatu kebanggan tersendiri bagi universitas yang telah meraih peringkat 1 pada Anugerah Keterbukaan Informasi Badan Publik 2015 silam. Tetapi kebanggaan tersebut tidak berbanding lurus dengan kenyataan yang ada di lapangan. Bagaimana tidak, permasalahan transparansi anggaran di Universitas Brawijaya mengenai aliran dana (cash flow) bagi mahasiswa sampai saat ini belum selesai. Penulis hanya meringis, ketika melihat informasi juara tersebut terpampang megah di billboard eletronik UB. Hal ini sangat mengherankan, seperti guyonan tontonan ludruk saja.

Penulis teringat pernyataan Wakil Rektor (WR) II UB saat menghadiri diskusi publik mengenai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) di Fakultas Hukum pada 26 April 2016 silam. Seorang peserta menanyakan bagaimana tata kelola keuangan di UB dan kapan transparansi dibuka seluas-luasnya. WR II menyatakan bahwa transparansi yang membuka keseluruhan informasi akan menyalahi etika pembukuan. Ia mengatakan, informasi dalam pembukuan perusahaan memang bersifat rahasia.

Mendengar hal tersebut, penulis merasa seperti kembali melihat tontonan ludruk. UB bukanlah sebuah perusahaan swasta atau perseorangan melainkan sebuah institusi publik. Sesuai dengan Undang-Undang No.14 Tahun 2008, dijelaskan pada pasal 1 ayat (3) bahwa, badan publik atau institusi publik yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) harus menggunakan sistem informasi yang terbuka. Maksud dari pasal tersebut, penulis rasa, berkaitan erat dengan transaparansi. Hal ini juga diperkuat dengan pasal 4 ayat (1) bahwa setiap orang berhak memperoleh informasi publik. Landasan ini menjadi dasar yang kuat dalam penyelenggaraan KIP dengan prinsip transparansi.

Keterbukaan Utopis

Pada pasal 9 ayat (1) UU KIP telah dijelaskan bahwa setiap badan publik berkewajiban untuk mengumumkan informasi publik secara berkala. Salah satunya ialah laporan keuangan terkait keseluruhan dana di dalam perguruan tinggi. Informasi ini seharusnya dapat diperoleh melalui alur birokrasi atau media informasi seperti website. Tetapi pada kenyataanya, transparansi tak ubahnya seperti bayang-bayang kosong yang mustahil diraih.

Transparansi anggaran di perguruan tinggi bukan sekedar tuntutan mahasiswa semata, namun sudah menjadi sebuah kewajiban kampus sesuai UU KIP. Sebab sebagai instansi publik yang menerima dana APBN, tidak selayaknya informasi disembunyikan dari mahasiswa yang merupakan bagian dari rakyat Indonesia. Oleh karenanya, perguruan tinggi harus lebih terbuka dalam pengelolaan anggaran. Sangat lucu ketika perguruan tinggi yang pemasukan dananya dari masyarakat dan mahasiswa, justru terkesan menyembunyikan transparansi alokasi anggaran dari peserta didiknya.

Undang-undang ini juga telah memberikan akses bagi publik untuk melakukan sistem pengawasan dan keseimbangan terhadap badan publik yang mendapatkan dana dari APBN termasuk perguruan tinggi. Sehingga mahasiswa dapat berperan sebagai pengontrol terhadap institusi publik yang didanai APBN yang dalam hal ini adalah kampus tempatnya belajar. Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan alokasi anggaran dan pembangunan harus menemukan kejelasan. Atau jangan-jangan alokasi-alokasi anggaran untuk si raja-raja kecil di rektorat dan dekanat? Wallahu A’lam Bishawab!!!