Penulis: Abdillah Akbar
Selang memasuki tahun ketiga Kabinet Kerja dengan seperangkat Nawa Cita yang selalu ditenteng Presiden Jokowi sepanjang masa jabatannya, belum terlihat keseriusan pemerintah dalam mewujudkan agenda reforma agraria sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau UU PA. Seperti halnya dengan celotehan janji era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, reforma agraria juga kerap disebut sebagai Program Prioritas Presiden Joko Widodo. Namun, sebagaimana dalam pelaksanaannya yang tak lepas dari cengkeraman politik pemerintah semata, ketimbang perwujudan dari keadilan sosial dalam arti sebenarnya. Dilihat dari sisi lain, lahan-lahan agraria terus dijarah oleh berbagai jilid kebijakan ekonomi, deregulasi ratusan perundang-undangan yang dipandang menghambat investasi dengan mudah dicabut, liberalisasi sumber daya alam serta monopoli agraria dikumandangkan dengan jelas untuk pemodal besar dengan mengesampingkan hak-hak rakyat. Haus akan ambisi membangun jalan ribuan kilometer, pembangunan rel ganda dan pembangunan pelabuhan besar untuk mendukung tol laut di sepanjang Sumatera, Jawa, Kalimantan hingga Papua membuat masyarakat harus terusir dari tanahnya tanpa mendapatkan jaminan ataupun kompensasi yang sebanding.
Dirangkum dari data Konsorium Pembaruan Agraria, ada beberapa hal yang menjadi penyebab konflik agraria: 1) pada aras regulasi tidak terjadi perubahan paradigma dalam memandang tanah dan sumber daya alam; 2) korupsi dan kolusi dalam pemberian konsesi tanah dan sumber daya alam; 3) pendekatan kekerasan dan prosedur yang melampaui batas yang sering digunakan oleh aparat pemerintah. Pada tahun 2016 jumlah konflik agraria tercatat meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Jumlah itu mencapai angka 450 konflik dengan luasan 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 Kepala Keluarga. Penyebabnya tersebar di berbagai sektor. Perkebunan menjadi penyebab konflik tertinggi dengan angka 163 konflik (36,22%), properti dengan jumlah 117 konflik (26,00%), lalu sektor infrastruktur dengan jumlah 100 konlfik (22,22%). Kemudian di sektor kehutanan sebanyak 25 konflik (5,56%), sektor tambang 21 konflik (4,67%), pesisir dan kelautan dengan 10 konflik (2,22%), dan terakhir sektor migas dan pertanian sama-sama menyumbangkan 7 konflik (1,56%).
Komitmen Pemerintah dan Permasalahan Sektoral
Berdasarkan presentase di atas, terlihat besarnya ketimpangan atas pengelolaan dan kepemilikan serta kuatnya ekspansi modal-modal besar di berbagai sektor agraria. Betapa pembangunan dijadikan alasan untuk mengubah tanah, air dan ruang di atasnya sebagai sebuah komoditas. Sangat tidak relevan ketika kita melihat dasar atas ini yang mana setiap warga negara memiliki hak atas tanah untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 6 UU PA, “Semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial.” Masyarakat dan alam tidak dapat dipisahkan. Dalam setiap medionya, masyarakat memiliki ikatan pada batinnya. Setiap tatanan yang terbentuk merupakan sebuah hasil dari kesehariannya bercengkerama dengan alam, tak terbatas oleh ruang dan waktu. Antara keduanya jelas terdapat saling ketergantungan yang menjadi sebuah rantai kehidupan.
Sepanjang tahun 2016, konflik agraria terus meningkat di berbagai daerah. Baik konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan swasta, maupun konflik horizontal pada masyarakat itu sendiri. Sasaran konflik pun tak jauh dari pembicaraan tentang hak-hak dasar manusia, mata pencaharian serta ruang hidup secara umumnya. Petani, nelayan dan masyarakat adat merupakan salah satu sisi pokok yang bersentuhan langsung dengan sumber konflik tersebut.
Pelaksanaan dari UU Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlintan) merupakan kebutuhan mendesak. Saat ini kita melihat jurang pemisah antara petani dan kesejahteraan, ketika petani selalu menjadi tumbal pembangunan tanpa adanya jaminan terhadap kehidupan keluarga petani. Dengan tekanan ekonomi yang demikian, maka terpaksa mereka menjual lahan mereka dengan iming-iming harga tinggi oleh juragan tanah. Ada tujuh kewajiban pokok pemerintah dalam UU Perlintan yang harus segera diterapkan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah untuk menguatkan hak petani atas tanah, terutama sebagai basis redistribusi dan program pendukung pasca redistribusi dalam kerangka reforma agraria, antara lain menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan terkait pertanian bagi petani, penyuluhan dan pendampingan berbasis nilai-nilai setempat; pengembangan sistem dan sarana pemasaran yang berpihak pada petani, jaminan luasan lahan pertanian untuk buruh tani dan petani gurem, pembiayaan dan permodalan, peningkatan akses pengetahuan, serta penguatan kelembagaan.
Dalam kerangka yang sama, pada awal tahun 2016 telah terbit UU Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Petambak Garam, dan Pembudidaya Ikan. Sebagai negara maritim yang sumber agraria perairannya melimpah, ini tentu menjadi potensi yang dapat dioptimalkan bagi kepentingan rakyat. Namun, permasalahannya ada dalam tataran implementasi yang masih setengah hati. Kawasan laut yang tidak diatur untuk dimiliki perorangan berakibat pada semakin mudahnya alih fungsi pada area tak bertuan tersebut. Berbagai ruas pesisir Indonesia masih banyak yang mengalami disorientasi arah dan strategi pembangunan. Kesalahan dalam melihat peluang, program reklamasi, dan berbagai program pengembangan pariwisata masih tinggi mengancam keberlangsungan mata pencaharian nelayan.
Kepastian hak komunal juga telah mengalami salah arah, jika dirunut dari Peraturan Menteri Agaria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu (Permen ATR/BPN). Dalam Permen tersebut, terlihat bahwa Kementerian ATR/BPN memandang hak komunal atas tanah hanya sebatas sertifikasi lahan adat atau kelompok masyarakat. Seperti sertifikasi tanah adat Tengger dan juga di Papua dengan mengesampingkan nilai-nilai yang sudah terbentuk dalam kelompok komunal tersebut. Tentu ini melenceng dari konsepsi ideal hak komunal, yang mana seharusnya menjadi sebuah dorongan atas kepemilikan bersama dengan penegakan prinsip kolektivitas. Kontrol kolektif terhadap tanah akan semakin hilang. Pelepasan hak atas tanah maupun konversi lahan secara masif akan memberi peluang terhadap perusahaan-perusahaan besar untuk semakin mudah menguasai kawasan adat.
Seakan kehilangan arah dalam pencapaian tujuan pembangunan bangsa, seolah belum puas mempertontonkan pengkhianatan terhadap cita-cita founding father dengan mempertaruhkan kesejahteraan umum, perselingkuhan pihak pemodal dengan pemerintah, kepentingan demi kepentingan masih menjelma menjadi keserakahan yang terus menerus menghisapi darah-darah perjuangan rakyat kecil di Indonesia. Tidak jauh berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya, pada tahun ketiga Kabinet Kerja pemerintah belum lelah menawarkan upaya yang disebutnya reforma agraria. Pada awal tahun 2017 telah dilakukan penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2017 dalam merealisasikan janji-janji reforma agraria. Sebagai batu pijakan untuk menegaskan implementasi reformasi agraria, dalam Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2016. Terdapat lima Program Prioritas terkait Reforma Agraria: 1) Penguatan kerangka regulasi dan penyelesaian konflik agraria; 2) Penataan penguasaan dan pemilikan tanah objek reforma agraria; 3) Kepastian hukum dan legalisasi atas tanah objek reforma agraria; 4) Pemberdayaan masyarakat dalam penggunaan, pemanfaatan dan produksi atas tanah objek reforma agraria; 5) Kelembagaan pelaksanaan reforma agraria pusat dan daerah.
Agar program ini tidak menjadi iming-mingan semata, sepatutnya memasukkan keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan maupun pengawasannya. Sebagai bentuk usaha pemerataan kesejahteraan dan penghapusan segala bentuk ketimpangan kepemilikan lahan. Sehingga dalam pelaksanaannya, agenda ini tidak menjadi sebuah bentuk penyelewengan gaya baru. Dan yang patut ditekankan yaitu adanya suatu kejelasan terhadap penentuan objek dan subjek reforma agraria itu sendiri, agar dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam arti yang sebenarnya.
Ilustrator: Hendra Kristopel