Rezim hari ini begitu akrab dengan proyek pembangunan infrastruktur yang begitu masif. Terdapat banyak diskursus yang telah membahas korelasi kuat antara pembangunan dengan peningkatan ekonomi atau bisnis. Namun, pembahasan terkait korelasi pembangunan dengan hak asasi manusia seperti terlupakan. Padahal, dalam setiap pembangunan fisik demi peningkatan ekonomi berdampak kuat pada kehidupan manusia di dalamnya. Oleh karena itu, negara wajib memprioritaskan pemenuhan hak asasi manusia atas suatu pembangunan lebih dari kepentingan bisnis .
Berkenaan dengan pembangunan yang begitu sensitif saat ini, kisruh di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah tengah menempati posisi teratas. Geliat media informasi begitu ramai mengabarkan penolakan masyarakat setempat terhadap wilayahnya yang dijadikan pertambangan batuan andesit untuk pembangunan waduk.
Mengulik sedikit terhadap kasus ini, penolakan yang terjadi bukan tanpa alasan. Dilansir dari kompas.com, 80% warga Wadas menganggap penambangan dapat mematikan mata pencaharian sebagian besar warga dan merusak lingkungan yang bisa mengancam keselamatan nyawa. Di sisi lain, pihak penguasa sebagaimana yang dilansir dari laman yang sama menyatakan bahwa pembangunan ini sesuai dengan program pemerintah untuk memperbanyak waduk guna mendukung proyek ketahanan pangan.
Pergolakan ini masih terus berlangsung. Puncaknya pada 8 Februari lalu, sebagaimana yang diberitakan bbc.com, aksi represif aparat kepolisian kepada warga merajalela. Mereka ( baca : polisi) menutup ruang aspirasi bagi warga yang menolak pertambangan. Alhasil, sejumlah warga wadas mengalami pengepungan, intimidasi dan penangkapan oleh pihak kepolisian.
Dari sini jelas terlihat, bahwa penindasan dalam pembangunan merupakan implikasi dari hadirnya pembangunan yang tak menyentuh kultur dan nilai yang terbangun lama di masyarakat. Pembangunan tanpa pertimbangan nilai-nilai masyarakat hanyalah motor penggerak eksploitasi akan tempat tinggal mereka, bukan penjaminan ruang dan nilai mereka sendiri.
Urgensi pertimbangan nilai/budaya masyarakat dalam pembangunan, dikenal dengan konsep pembangunan humanis. Dalam kasus Desa Wadas, penting bagi kita untuk merefleksikan ulang konsep humanisme dalam pembangunan . Hal ini guna melihat apakah kebijakan-kebijakan yang diciptakan oleh pemerintah lebih memprioritaskan ekonomi daripada pemenuhan hak masyarakat atas lingkungan hidupnya. Tanpa dasar itu, pembangunan di negara kita pada akhirnya hanya menjadi karpet merah kapitalisme besar besaran.
Tinjauan Pembangunan Humanisme dalam Kasus Wadas
Berdasarkan salah satu jurnal academia.edu, paradigma humanisasi dalam pembangunan berbicara tentang penekanan nilai nilai kemanusiaan, yakni etika, moralitas dan tujuan pembangunan. Artinya, arah dalam pembangunan itu sendiri adalah etika, bukan perkara uang saja.
Konsep humanis dalam hal ini juga berbicara tentang bagaimana pembangunan haruslah menghormati hak-hak manusia di dalamnya. Pembangunan yang terlaksana haruslah demokratis, beretika, dan berupaya menciptakan taraf keadilan tertinggi bagi seluruh pihak. Jadi, pembangunan tidak hanya mengkalkulasi untung dan rugi pribadi/kelompok tertentu, namun juga distribusi hak seluruh kelompok. Hak-hak di sini diantaranya hak mendapatkan informasi, hak bersuara, hak menyatakan persetujuan/penolakan dan masih banyak lainnya.
Mengacu pada kasus Desa Wadas, hak untuk mendapatkan informasi yang jujur dan utuh belum tercapai. Hal itu tercermin pada pernyataan LBH Yogyakarta, yaitu terdapat penutupan dan ketidakdaktransparan terhadap akses informasi untuk warga Wadas. Pernyataan itu berdasar pada ketidakjelasan dasar hukum yang dipakai dalam Surat Keputusan Izin Penetapan Lokasi Nomor 509/41 Tahun 2018 pada tanggal 7 Juni 2018 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo.
Dalam surat keputusan tersebut, Desa Wadas diperuntukan sebagai lokasi rencana pertambangan batuan andesit untuk menyuplai bahan material pembangunan Bendungan Bener. Bagi LBH Yogyakarta, surat ini telah melanggar ketentuan Undang-Undang No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum dimana kegiatan pertambangan tersebut bukanlah untuk kepentingan umum. Alhasil, LBH Yogyakarta menganggap hal itu sebagai bukti kesewenang-wenangan pemerintah karena tidak mengedepankan aspirasi masyarakat Desa Wadas untuk menentukan nasibnya sendiri.[BB1]
Masih terkait ketidakjelasan dasar hukum, Hasrul Buamona dari Koalisi Advokat untuk Keadilan Wadas dalam betahita.id. menganggap Gubernur Jawa Tengah tidak memiliki landasan hukum yang kuat. Hal ini lantaran sang Gubernur tidak menggunakan Undang-Undang Pengadaan Tanah sebagai rujukan dalam membuat keputusan penetapan lokasi pengadaan tanah bagi pembangunan Bendungan Bener.
Selain itu, Gus Fahrur, Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam Kompas.com juga menyoroti minimnya transparansi informasi dalam kasus ini. Hal ini terlihat dari belum adanya dialog yang terbangun antara pemerintah dengan warga sebelum dilakukannya pengukuran lahan untuk pembangunan bendungan pada 8 Februari lalu.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa tumpang tindih regulasi, syarat dan ijin konsesi merupakan wujud tak tercapainya hak hak masyarakat. Padahal, seluruh informasi terkhusus yang menyangkut aspek penegakan hukum sangatlah penting. Hal ini lantaran tak sedikit kasus yang mengorbankan masyarakat dimana pelakunya tidak mendapat perlakuan yang adil seturut perbuatannya.[BB2]
Minimnya dialog antara Pemerintah dengan warga setempat, NGO, media pers, dinas terkait, dan kelompok akademisi menunjukkan pembangunan yang tidak humanis. Padahal, narasi warga dan pihak pihak non pemerintah sejatinya patut menjadi pertimbangan utama pemerintah dalam menentukan kebijakan pembangunan. Hal ini jelas jelas telah terabaikan. Mekanisme dialog yang ada masih bersifat prosedural-formalistis yang melibatkan pemangku kepentingan dari pihak pemerintah saja, sehingga transparansi proses tersebut secara luas kepada warga tidak tercapai.
Lagi-lagi terlihat bahwa pembangunan yang ada masih bersifat Top-Down bukan Bottom-Up. Pendekatan Top-Down sejatinya masih tidak bisa memfasilitasi tingkatan kebutuhan yang paling mendasar dari masyarakat sehingga tujuan pembangunan untuk mencapai rakyat yang berkeadilan itu tak terwujud.
Jika ditilik secara sosio-kultural sebagaimana yang disinggung oleh pembangunan humanis, pendekatan ini jelas tak memenuhi. Warga desa umumnya telah terbiasa dengan tradisi musyawarah. Persoalan-persoalan desa umumnya diselesaikan melalui dialog secara mufakat. Namun, pemerintah masih menutup mata terhadap hal ini. Nilai pembangunan yang harusnya diperhatikan penguasa adalah nilai nilai budaya di Desa Wadas, bukan sekedar bangun fisik saja.
Nostalgia Tindakan Represif
Terjadinya kembali tindakan represif seakan memberikan nostalgia kearah peradaban orde baru dimana pola pembangunan masih kuat bersifat kebijakan pusat (top down). Alhasil, penolakan warga terhadap pembangunan apapun terus direspons dengan tindakan represif aparat keamanan. Menyangkut kasus Desa Wadas, dikutip dari cnnindonesia , tindakan represif oleh aparat kepolisian dilakukan saat masyarakat menggelar doa bersama di masjid yang berada di Desa Wadas. Lalu, ribuan aparat kepolisian dengan senjata lengkap dikerahkan menyerbu Desa Wadas. Mereka mencopot banner penolakan Bendungan Bener dan mengejar beberapa warga sampai ke hutan.
Meninjau dari kompas.com, Julian Dwi Prasetya selaku kuasa hukum warga Desa Wadas, mengatakan, sebanyak 60 warga telah ditangkap oleh pihak kepolisian Polres Purworejo. Ia menuturkan beberapa warga yang ditangkap juga mengalami tindakan kekerasan dari aparat. Maka, sudah tampak jelas bahwa pembangunan berkeadilan masih sekadar menjadi utopia, dan ini tentu adalah efek domino dari hegemoni rezim-rezim sebelumnya.
Kejadian ini seakan seakan memuntahkan makna humanisme pada sila ke 2 “ kemanusiaan yang adil dan beradab “ serta sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Adapun secara yuridis, kejadian ini juga memukul makna pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan pasal 28D ayat 1 UUD 1945 yang menjamin bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Balik lagi ke persoalan, pembangunan berorientasi manusia ( pembangunan humanis) seharusnya sudah menjadi komitmen bagi seluruh pihak terkhusus pemerintah. Pembangunan tetap mengikat nilai-nilai milik pemerintah dan masyarakat. Nilai-nilai ini bukan hanya bersifat ekonomis, namun juga memiliki nilai keselarasan sosial, etika, moral hingga ekologis. Sehingga, pembangunan apapun harus menghormati nilai nilai tersebut sehingga tidak merenggut hak-hak masyarakat selama pembangunan diadakan. Sebab, pembangunan pasti terus ada dan humanismelah yang menjadi alasan pembangunan itu harus ada.
Penulis: Nadya Rajagukguk
Editor: Anggita Sasmita
Desain Layout: Nisrina Salma