Berdasarkan peta sebaran yang dipublikasikan oleh pemerintah provinsi Jawa Timur, Malang sekarang berada dalam zona merah dengan 5 kasus positif COVID-19. Di Indonesia sendiri terhitung per 27 Maret dilaporkan lebih dari 1000 kasus COVID-19 dengan angka kematian mencapai 9,3%. Peningkatan angka ini bisa jadi tidak akan melambat dalam waktu dekat. Himbauan untuk bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah digalakan sedemikian rupa. Tapi pertanyaannya, siapa saja yang bisa benar-benar tinggal di rumah?
Ada mitos yang menyatakan bahwa penyakit menulari siapapun, tidak pandang bulu. Tentu saja, virus tidak memlilih inangnya. Ia menyebar dan menjangkiti siapapun yang bisa dijangkau secepat angin. Virus memang tidak mengenal kelas, tapi dampak dan stigma yang dibawanya selalu merugikan kelompok rentan.
Sudah tidak dipandang sebagai prioritas, dikatai sebagai pembawa penyakit pula. Mengutip pernyataan Achmad Yurianto selaku Jubir Pemeritah utuk menangani corona, “Yang kaya lindungi yang miskin agar bisa hidup wajar, yang miskin lindungi yang kaya agar tidak tularkan penyakitnya”. Pernyataan demikian, selain tidak sensitif, juga buta konteks. Bukankah penularan virus dimulai dari orang-orang yang telah perpelesir ke luar negeri? Kelas sosial mana yang bisa mengupayakan gaya hidup seperti itu? Ini bukan permasalahan komunikasi, tapi lebih dalam lagi merupakan refleksi atas bias kesenjangan sosial & ekonomi yang sudah ada jauh sebelum pandemi corona.
Mereka yang Luput Dari Perhatian
Untuk tetap berada di rumah, bukankah hal utama yang tentu harus dimiliki adalah rumah atau tempat bernaung? Dibalik riuhnya himbauan agar masyarakat tetap berada di rumah, para tunawisma di Salatiga yang menempati gedung terbengkalai di UKSW justru diusir oleh aparat dan pihak kampus sendiri. Itu hanya salah satu kasus yag muncul di permukaan, ada banyak pergolakan yang luput dari perhatian kita.
Ironis, atas dalih pembangunan kelompok rentan kemudian digusur. Tidak sedikit dari mereka yang menjadi tunawisma. Diperkirakan masih ada sekitar 77.500 tunawisma dan pengemis yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia pada tahun 2019. Lebih ironis lagi, negara selalu berperan dalam agenda penggusuran. Kini ditengah pandemi yang mencekam, belum terlihat itikad negara untuk memberikan proteksi bagi masyarakat yang digusur.
Tidak semua orang bisa mengikuti anjuran pemerintah untuk bekerja dari rumah. Pekerja seperti pedagang kelontong, pengemudi online, tukang cukur, hingga cleaning service nyaris ‘lumpuh’ karena krisis pandemi. Di Indonesia sendiri, ada sekitar 74 juta tenaga kerja bekerja di sektor informal. Isolasi diri berdampak pada berkurang hingga hilangnya sumber pendapatan kelompok pekerja ini.
Pekerja sektor informal juga tidak bisa menikmati privilese untuk tinggal di rumah. Mereka tetap harus keluar untuk mencari pundi-pundi pendapatan. Siapa yang bisa menjamin apakah mereka bisa makan esok hari jika mereka tetap berdiam di rumah? Jangankan di sektor informal, kelas pekerja sektor formal di bisnis pariwisata sekalipun dihantui bayang-bayang pemutusan hubungan kerja. Pada akhirnya bagi kelompok masyarakat tertentu, perkara mempertahankan hidup adalah juga bentuk perjuangan kelas. Kemiskinan dan kelaparan juga tidak kalah mematikan dari wabah penyakit.
Garda Terdepan
Tidak kalah menggelisahkan, tenaga medis berada di garis depan dan menanggung beban menjadi tenaga kerja yang paling berisiko tertular virus. Tersiar kabar ada 50 tenaga medis telah terinfeksi coronavirus, itu baru di Jakarta saja. Bahkan banyak diantaranya meninggal. Bagaikan menjalankan misi bunuh diri, tenaga medis diharuskan untuk tetap bekerja dengan resiko terpapar virus.
Minimnya penyediaan Alat Pelindug Diri (APD) bagi tenaga medis merupakan kegagalan pemerintah untuk menghadapi pandemik ini. Meskipun negara telah mengimpor bagi tenaga medis APD, distribusinya hingga ke daerah masih sangat tidak proporsional. Lebih jauh lagi, bukan tidak mungkin tenaga medis sebagai garda terdepan memilih untuk mundur dari apa yang mereka kerjakan. Atau lebih parah lagi, tidak ada yang tersisa karena terinfeksi virus. Apa yang bisa kita lakukan setelah itu?
Mengapa Harus Percaya?
Mitos lainnya yang langgeng dipercayai banyak orang hingga hari ini bahwa negara ada untuk menjamin kesejahteraan masyarakat. Mari kita amati tindak-tanduk pejabat negara pada saat krisis. Konon katanya juga, masa-masa sulit dapat memperlihatkan sifat asli manusia.
Pada awal isu COVID-19 merebak di belahan dunia yang lain, respon pemerintah bahkan seperti menyepelekan masalah ini. Hal itu terlihat dari cuitan Jokowi yang malah ingin memberikan insentif untuk wisatawan. Belum lagi seabrek komentar konyol pejabat-pejabatnya. Berapa lama waktu yang terbuang? Waktu yang seharusnya dapat digunakan untuk memikirkan langkah strategis pencegahan dan manajemen krisis pandemi.
Kemudian saat krisis pandemi benar-benar melanda, ada tenaga medis dan pekerja yang harus mempertaruhkan nyawa, sementara anggota DPR (lagi-lagi berkat kekuasaan dan privilese) memprioritaskan keselamatan diri dan keluarganya diatas urgensi menjamin keselamatan masyarakat. Fenomena ini semakin meyakinkan kita bahwa political will negara sama sekali miskin perspektif kerakyatan . Suara kita hanya ‘seakan’ didengar sekali dalam lima tahun.
***
Sembari para pejabat negara oportunis mumed mempertahankan citra semu, gerakan masyarakat mencuat bagai bunga yang bermekaran. Menantang ketidakmampuan negara untuk menjamin keselamatan masyarakat. Social distancing bahkan tidak menghalangi masyarakat untuk bergerak dan berhimpun dalam banyak wadah. Sejumlah anak muda yang tergabung dalam sebuah yayasan di Jakarta menggalang dana untuk membantu kelompok rentan. Pada tagar #RakyatIndonesiaMemanggil, terlihat aktivisme dan solidaritas masyarakat membuat alat pelindung bagi tenaga medis, menggalang dana untuk penyediaan APD bagi teaga medis, hingga membuat masker dan hand sanitizer.
Setidaknya yang dapat dipelajari dari sini adalah kita patut skeptis dengan negara yang tidak pernah gagal mematahkan hati. Selanjutnya, sebagai sebuah sikap perjuangan di saat krisis: bersolidaritaslah! Pada akhirnya, hanya solidaritas yang dapat menjadi kekuatan untuk melalui krisis pendemi ini.
Penulis: Nesty Omara
Editor: Widya Adelia
Ilustrasi: Aulia Nurul Qistie