Penulis : Syaukani Ichsan
*Mahasiswa Program Studi Bisnis Internasional 2012 dan Anggota LPM DIANNS FIA UB
Pergerakan Mahasiswa
Saya rindu ketika sejarah pernah menorehkan pada kertas-kertas kusam tentang mahasiswa sebagai kontrol pemerintah dan agen perubah bangsa. Teringat ketika tahun 1998 mahasiswa berkumpul dalam kerangka berpikir yang sama dan melakukan perlawanan terhadap rezim yang represif. Para mahasiswa saling berkonsolidasi merancang pergerakan masif. Semua mahasiswa yang berkumpul dalam Forkot (Forum Kota), Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) bertindak secara konfrontatif. Pada masa itu musuh begitu jelas dan kawan bisa saja menjadi musuh. Tetapi, semua saling bergerak dan menggerakkan, melawan sistem fasisme yang berkedok nasionalisme-sosialis berkebangsaan.
Ancaman dan intimidasi setiap saat bisa saja terjadi dengan kehendak penguasa. Bayang-bayang kematian dapat menjadi kenyataan. Saya memang hanya sebagai mahasiswa yang mengetahui cerita tersebut pada kumpulan-kumpulan tulisan tentang aksi mencekam tahun 1998. Tetapi, tak memaksa untuk beraksioma pada sejarah yang begitu saja dituliskan. Namun, semua terbukti secara autentik. Semua orang pun tahu bahwa aksi 1998 memang bertujuan untuk penggulingan rezim yang sudah berkuasa sejak lama. Rezim ini merampas segala bentuk kebebasan. Berorientasi produksi yang menjadikan rakyatnya sebagai hamba dari penguasa. Banyak sistem yang dibuat dengan relasi-relasi politik kepada kaum kapital. Tak hanya relasi politik yang digalakkan dengan berkedok kebangsaan, tetapi rezim ini menahan dan merenggut ruang-ruang publik bahkan privasi.
Reformasi Kebablasan
Reformasi merupakan sebuah konstruksi kebebasan yang diharapkan terwujudnya Good Governancetata Negara yang baik. Namun sayang, cita-cita reformasi itu hingga kini penuh dengan penunggangan kelompok-kelompok kepentingan. Sebagaimana demokrasi saat ini. Hampir semua retorika bertumpu pada nasionalisme-sosialis, alasan yang selalu terdengar, sebuah pernyataan Dari Rakyat Untuk Rakyat. Tetapi, boleh jadi pernyataan itu hanya sebagai justifikasi pembenaran kepentingan kaum elite saja. Sebuah tulisan yang diilustrasikan Martin Suryajaya dalam rubrik logika pemikiran, Media Indoprogress. Sejatinya, kepentingan atas dasar bangsa hanya sebagai akumulasi modal tanpa persaingan pasar yang berkedok pada kepentingan elite birokrasi dan kepentingan militer saja. Mereka dipaksa untuk mengikuti perintah kaum elite, tanpa harus tahu relevansi kebenarannya dan hanya ada artikulasi politik yang bias.
Hal ini berkorelasi dengan material kehidupan berdemokrasi saat ini. Kampus yang dikatakan sebagai tempat munculnya para kaum pemikir, kini mulai direduksi dengan sistem perwakilan birokrasi kampus. Seolah ingin disterilkan dari bebagai bentuk pola pemikiran kritis. Sebuah ilustrasi yang saya gambarkan, ketika seorang mahasiswa menuntut transparansi anggaran untuk kepentingan umum. Sayang, kaum elite hingga saat ini belum juga memberikan akses tersebut. Jikalau, diperbolehkan mungkin mekanisme birokrasi berbelit-belit. Sekedar asumsi boleh saja dilarang, namun konstruksi asumsi ini dibangun berdasarkan kerangka logis yang koheren berdasarkan fenomena yang tengah terjadi. Bertumpu pada konsep pemikiran yang dijadikan dasar asumsi kaum Marxian. Menurut, Alain Badiou, sistem birokrasi yang representatif tidak akan pernah mampu mempresentasikan nilai-nilai politik di dalamnya. Perlu adanya artikulasi politik yang jelas dalam memberikan penjelasan secara atomistis. Sistem demokrasi elektoral perwakilan, hanya mewakili kaum elitnya saja.
Keberpihakan yang seharusnya dicita-citakan untuk rakyat. Dalam hal ini saya menganalogikan rakyat sebagai perwujudan dari Mahasiswa.seharusnya mendukung dan menyerap segala bentuk aspirasi mahasiswa. Bukan lagi membangun mekanisme birokrasi yang seperti benang kusut saat ini. Sistem yang berkelit ini membentuk mental inlander bagi mahasiswa. Mereka dipaksa untuk tunduk dan patuh terhadap segala bentuk kebijakan kampus.
Birokrasi Berkelit-kelit, Tranparansi Anggaran Bias
Mekanisme birokrasi yang berkelit-kelit serta transparansi anggaran yang semakin hari bias. Membuat saya mengritisi dua poin penting yang tak tersentuh selama ini. Pertama, pengajuan dana untuk kegiatan mahasiswa yang sudah direncakan dengan budget yang sebenarnya sudah diminimalisir masih saja direvisi dengan alasan-alasan bermacam-macam. Bahkan, perjanjian pencairan dana yang sebelumnya sudah disepakati berubah seketika dengan alasan yang tidak logis seperti dana belum dikucurkan oleh rektorat. Kaum elite kampus ini seolah memaksa mahasiswa untuk bertaklid pada aliran kas yang minim.
Mendengar pernyataan tersebut sebenarnya mengandung unsur anomali. Sebuah asumsi yang ditarik dengan perhitungan sederhana, yakni Jumlah penampungan mahasiswa yang setiap tahunnya mampu menembus angka sekitar 1.200 mahasiswa + (ditambah) Pembayaran uang gedung + (ditambah) Pembayaran SPP termasuk juga dengan dana kemahasiswaan “ (dikurang) dana yang harus disetor kepada rektorat = (sama dengan) pembohongan publik. Bila kaum birokrat kampus ini berdalil bahwa jumlah pendanaan yang dipunyai tidak mencukupi untuk pendanaan kegiatan kemahasiswaan. Begitu ironis dan menggelitik Sedangkan transparansi anggaran tidak penah diberitakan pada khalayak umum. Bagaimana kita bisa memantau dan percaya?
Kedua, sesuai dengan UU No. 14 tahun 2008 tentang keterbukaan Informasi Publik, bahwa setiap orang berhak melihat dan mengetahui keterbukaan informasi, yakni yang tertuang pada Pasal 4 ayat (2). Secara subtansial dan esensial, jika kita mengacu kepada Undang-Undang di atas sudah sangat jelas. Bahwasannya, keterbukaan informasi merupakan sebuah ide konstitusi yang sifatnya harus eksplisit dan lugas. Bukan lagi sebagai komoditi mewah yang hanya mampu dinikmati oleh golongan tertentu.
Jika ditelisik amanat dari UU No 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi (UU 12/2012) pada dasarnya Perguruan Tinggi memiliki otonomi pengelolaan di bidang akademik maupun di bidang non akademik. Hal ini dapat memunculkan asumsi pemikiran logis. Bahwa dana kemahasiswaan pelaksanaan kegiatan, sebenarnya sudah dianggarakan untuk keberlangsungan kegiatan mahasiswa. Semua itu sudah termasuk kedalam pembiayan-pembiayan yang sudah terukur serta diberikan hak otonomi pengelolaan dana terhadap setiap fakultas.
Bila semua mahasiswa mentoleransi atau sengaja membungkam terhadap kejahatan laten birokrasi. Maka, ruang-ruang publik yang selama ini dikuasai oleh kaum-kaum elite representatif politik tidak lagi dapat mempresentasikan cita-cita yang ideal. Akhirnya demokrasi hanya sebagai bentuk konstruksi dimensi imajiner saja. Dalam sudut pandang ekonomi, gaya seperti ini mirip dengan sistem feodal. Mereka diperkerjakan atas seberapa banyak hasil produksi yang diciptakan untuk Tuan Pemilik. Perilaku tersebut semata-mata dilakukan untuk memanjakan penguasa. Dalam hal ini dipersonifikasikan tehadap ketidakmampuan mahasiswa untuk melawan sistem birokrasi kampus dan mengamini segala bentuk penindasan yang ada. Sudah sepatutnya sebagai mahasiswa tidak lagi diam berlarut. Tetapi, bersama-sama MENOLAK UNTUK DIBODOHI.
Ilustrator : M. Khoirul Anwar