Penulis: Satria Utama

Perjalanan petani di Indonesia dalam sejarahnya lebih banyak diwarnai oleh konflik sosial keagrarian daripada oleh praktek kehidupan yang berlandaskan demokrasi. Petani selalu saja dalam posisi yang kalah; dalam kondisi yang selalu terpinggirkan dan perannya sekadar menjadi pelengkap dari sebuah komunitas masyarakat. Dalam sejarah dunia maupun Indonesia, gerakan petani yang menuntut hak-haknya kerap kali mengalami kekalahan. Ciri yang menonjol dalam setiap gerakan petani adalah mudahnya gerakan itu dipatahkan oleh penguasa yang kerap kali memihak pada kepentingan pemodal.

Kekalahan yang biasanya diawali dari penangkapan para pemimpin gerakan petani dan kebetulan pemimpin itu tidak banyak menularkan kesadaran kelas maupun kesadaran kepentingan pada para pengikutnya. Kaum tani yang dianggap bukan kelas progresif, seiring derap roda kapitalisme, akan lenyap tertindas.

Ideologi Pasar dalam Pertanian

Kondisi pertanian di Malang tak luput dari ideologi pasar. Salah satunya di daerah Pujon, Kabupaten Malang. Seperti yang dilansir dari berita LPM INOVASI (Hasil Tani dalam Himpitan Pasar Bebas, majalah edisi XXXII/th.29/Desember 2015) seorang petani harus menjual hasilnya kepada distributor melalui mekanisme pasar. Petani sebagai produsen menjual hasil panennya ke pengepul, kemudian pengepul mendistribusikannya ke konsumen atau masyarakat. Di sana ada dua tipe pengepul. Yang pertama yakni pengepul aktif. Pengepul ini biasanya membeli dengan sistem tebasan atau ijon. Yakni membeli tanaman saat tanaman masih dalam keadaan belum siap panen. Bahkan, kadang pinjaman diberikan kepada petani untuk tambahan modal. Dari pinjaman modal itu, ada timbal balik yaitu petani diharuskan menjual hasil panennya di tempat pengepul tersebut.

Tipe pengepul kedua, ia menerima stok dengan hanya menunggu di tempatnya karena sudah mempunyai petani langganan yang menjual hasil panen kepadanya. Setelah hasil panen di pengepul, selanjutnya dijual kepada pedagang kecil atau pengecer. Harganya juga ditetapkan oleh pengepul. Lalu mereka menjual kembali ke konsumen. Harganya pun kadang tidak stabil, dipengaruhi oleh jumlah barang, kualitas dan perhitungan biaya angkut. Benar-benar ditentukan oleh mekanisme pasar. Tentunya mekanisme pasar dalam konteks lokal, Malang itu sendiri.

Dalam mekanisme pasar pelaku usaha diberikan kebebasan luas untuk melakukan kegiatan ekonomi. Disini pula pelaku usaha dibiarkan bersaing untuk berkembang mengikuti mekanisme pasar serta bebas menentukan bagaimana corak atau cara pelaku tersebut menekuni usahanya. Ketika menggunakan mekanisme pasar, petani tidak mendapat perlindungan penuh dari pemerintah. Padahal, di situ terdapat banyak permainan harga. Harga jual tiap saat mengalami perubahan, baik itu naik maupun turun. Persoalan yang dihadapi petani ini merupakan persoalan klasik jika dibandingkan dengan petani binaan korporasi, yang sudah pasti akan nominal yang mereka terima. Karena tidak ada pilihan lain dan tidak mendapat perlindungan dari pemerintah, para petani terpaksa mengikuti mekanisme pasar. Francis Wahono menyebut keadaan ini sebagai suatu keterpaksaan ekonomi.

Selain terdesak karena mekanisme pasar ketika menjual hasil pertaniannya, petani juga terdesak oleh mekanisme pada pola pembangunan, yakni pembangunan yang berpihak pada pemodal, dan eropasentris tentunya. Pola pembangunan ini mengutamakan industri-industri. Pola pembangunan seperti ini juga menyebabkan alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri, pertokoan, dan perumahan. Perumahan mewah, pastinya. Mewah dalam makna sebenarnya juga dalam makna singkatan atau kependekan (mepet sawah).

Di kota Malang lahan pertanian dari tahun ke tahun terus menyusut, bahkan dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir berkurang sampai 608 hektare atau rata-rata berkurang 68 hektare per tahun. Pada tahun 2007, lahan pertanian sawah masih mencapai 1.550 hektare, namun pada awal tahun 2015 hanya tinggal 1.121 hektare. Dari seluas 1.121 hektare tersebut yang produktif hanya seluas 942 hektare (Dikutip dari berita antaranews.com “Lahan Pertanian Kota Malang Berkurang 68 Hektare per Tahun” pada 7 September 2015)

Salah satu faktor yang menyebabkan Ketahanan Pangan kita terancam adalah terus berlangsung nya alih fungsi lahan pertanian ke sektor industri yang dari waktu ke waktu sangat membabi-buta, disamping juga dengan masih tinggi nya laju pertumbuhan penduduk per tahun. Data Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menyebutkan sekitar 100 ribu hektar per tahun, tentu saja angka ini cukup mengkhawatirkan. Sangat wajar ketika kita sepakat bahwa upaya penyelamatan lahan pertanian dari alih fungsi yang mengubahnya menjadi lahan industri dan pemukiman, mestilah dirancang dan diskenariokan ke dalam format “gerakan”. Tentunya gerakan yang murni berbasis massa.

Alternatif Model Gerakan

Kebiasaan untuk mengandalkan gerakan sematamata dari kharisma pemimpin ternyata berakibat fatal bagi kelestarian gerakan. Persis pada masa orba, yang dimatikan adalah pemimpinnya. Efek yang muncul kemudian, gerakan itu cenderung sporadik, semassa tidak mengakar dan sangat mudah masuk dalam perangkap kekuasaan. Tampaknya sebuah gerakan petani jika ingin meraup sukses harus dibangun atas kesadaran akan realitas ekonomi termasuk hubungan dan pertentangan sosialnya, dan tidak dibangun di atas mimpi-mimpi.

Hampir semua gerakan perlawanan di Malang sendiri tidak mempunyai pemimpin. Konsekuensi dari ketiadaan pemimpin menyebabkan massa tidak membentuk organisasi terstruktur untuk mengorganisir perlawanan tersebut. Sehingga setiap perlawanan diikuti oleh setiap masyarakat secara spontan dengan sosialisasi dari mulut ke mulut. Walaupun mereka tidak memiliki pemimpin, akan tetapi mempunyai tokoh-tokoh msayarakat yang dipercaya oleh mereka memiliki kemampuan untuk membentukopini masyarakat setempat. Model perlawanan seperti yang dilakukan oleh beberapa gerakan perlawanan di Malang ini bisa diadopsi oleh gerakan petani.

Perlawanan petani yang dipimpin oleh seorang petani akan sangat mudah ditaklukkan karena banyak godaan untuk menghalanginya. Hasilnya akan berbeda jika perlawanan dilakukan oleh semua petani dan bukan dari perorangan karena penjara itu kan tidak akan muat menampung ribuan orang. Kira-kira seperti itu analoginya. Analogi tersebut menjelaskan bahwa perlawanan petani di satu sisi mudah dipatahkan jika mereka terlalu menghamba pada pemimpin. Karena ini murni gerakan massa, bukan gerakan patron atau tokoh, atau juga yang biasa disebut dengan elite massa. Esensi gerakan itu sendri yaitu perlawanan. Perlawanan pada struktur. Struktur yang mendominasi dan menindas. Atau para aktivis mahasiswa yang pandai beretoris menyebutnya dengan pertentangan kelas.

Beberapa gerakan di Malang sendiri yang bisa dikatakan berhasil tidak menampakan para tokoh. Berbeda hal dengan gerakan yang tidak berhasil, para tokoh mereka mencalonkan diri untuk berebut kursi di parlemen. Untuk beberapa gerakan yang berhasil, dengan bijak para elite massa ini tidak muncul di permukaan. Mereka masuk melalui warga biasa untuk menggerakkan massa. Berkolaborasi dengan beberapa komunitas mutlak dilakukan. Seperti kata Bertrand Russell, satu-satunya yang dapat menyelamatkan manusia adalah kerja sama.

SELAMAT HARI TANI NASIONAL. MARI, SELAMATKAN USAHA TANI KECIL DAN BURUH TANI KITA!

Ilustrator: Fadhila Isniana