Penulis : Karima Styorini

Sejarah pergerakan mahasiswa mengajarkan satu hal: mahasiswa adalah pucuk harapan pemantik perubahan ketika organ-organ lain tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Di Indonesia, 28 Oktober 1928 adalah milik para pemuda, tak terkecuali pergerakan merebut kemerdekaan tahun 1945, peristiwa 1966, Malari 1974 hingga prahara 1998. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah bukti bahwa mahasiswa adalah suatu wujud yang pemikiran dan perjuangannya ditakuti dan tak kenal kompromi. Namun, status mahasiswa hari ini dipertanyakan, masihkah menjadi agen perubahan atau sekedar sekumpulan makhluk asosial yang memperebutkan gelar sarjana demi mesin perusahaan?

Kampus hari ini tak ubahnya sebuah acara pameran. Tengok depan, segerombolan mahasiswa-mahasiswi tertawa cekikikan berbagi-tukar informasi tentang gadget dan fashion keluaran paling mutakhir, tetapi ketika ditanya tentang bangsa dan Negara tak pernah sekalipun mereka memikirkan. Tengok belakang, sekelompok mahasiswa yang mengaku pejuang di jalan Tuhan, menggelar aksi kecil-kecilan menyuarakan lagu yang yang tak populer di telinga rakyat: bubarkan Pancasila, ganti dengan sistem lain! Sedang yang tak acuh, hanya melengos sinis dan lewat begitu saja, bahkan ketika kejahatan dan pengkhianatan terjadi di depan mata.

Potret mahasiswa di atas adalah satu dari sekian banyak akibat yang timbul dari sistem pendidikan kampus yang tidak dapat dikatakan berhasil. Ironi demikian bukan terjadi semata-mata karena sistem pendidikan di kampus. Sistem dan model pendidikan yang diterapkan sejak manusia lahir, juga perlu dikoreksi. Intinya adalah, apa yang terjadi pada mahasiswa hari ini adalah akumulasi darioutput sistem pendidikan yang diterima secara terus-menerus sejak lahir hingga menyandang status mahasiswa.

Kampus yang seyogyanya menjadi wadah pengembangan kapasitas intelektual, pendidikan karakter, dan tempat wacana-wacana kritis tersemai, sadar tidak sadar, suka maupun tidak suka, telah melumpuhkan fungsi dan peran mahasiswa secara pelan sekaligus brutal.

Pelan, karena sebagian dari kita hampir tidak sadar”atau bahkan tidak tahu?”bahwa mencatat, mengingat, dan menghafal yang biasa terjadi di ruang kuliah adalah upaya degradasi pemikiran kritis dan analitis mahasiswa.

Brutal, karena yang akan dihasilkan oleh sistem pendidikan seperti itu adalah apa yang oleh Paulo Freire disebut dengan budaya bisu. Suatu keadaan dimana mahasiswa ditindas kemerdekaan dan kreativitas berpikirnya secara sistematis. Maka tak mengherankan kalau kampus dipenuhi oleh manusia-manusia asosial dan apolitis.

Dalam keadaan seperti itu, dua strategi yang ditawarkan oleh Antonio Gramsci tampak solutif untuk mereka yang masih punya kewarasan dan sadar akan perannya sebagai mahasiswa. Strategi pertama,war of maneuver yaitu perjuangan terbuka yang melibatkan kekuatan fisik. Konfrontasi, demonstrasi, dan unjuk rasa adalah contoh dari strategi ini. Tak sebatas itu, transfer wacana dan gagasan dalam diskusi-diskusi adalah cara yang mainstream sekaligus ampuh.

Strategi kedua, war of position yaitu suatu bentuk perjuangan secara halus dari dalam dengan cara memanfaatkan posisi-posisi strategis dalam suatu organisasi. Gampangnya, seorang presiden Eksekutif Mahasiswa tentu punya hak dan wewenang untuk melakukan propaganda-propaganda dalam rangka membangunkan kembali para mahasiswa yang tertidur. Dengan catatan, upaya yang dilakukan murni untuk mejalankan fungsi mahasiswa sebagai agent of change, agent of social control,dan iron stock, bukan untuk tujuan politik praktis semata.

Usaha untuk membangunkan kembali mahasiswa memang tidak gampang ditengah berlimpahnya pihak-pihak yang secara sistematis justru berusaha untuk meninabobokkannya. Namun, jangan sampai ketakutan yang pernah diucapkan oleh sastrawan besar yang pernah dimiliki Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, menjadi hambar ditelinga kita para mahasiswa. Kita tentu tak mau disamakan dengan hewan ternak yang fungsi hidupnya hanya beternak diri karena tak punya keberanian dalam melakukan perubahan. Semoga mahasiswa hari ini tak bebal kritik. Semoga.