Written by Aliefiena Fernada Veronica

Hey hey hey..pendidikan

bukanlah perusahaan yang orientasinya uang

Hey hey hey..pendidikan

bukanlah formalitas yang penuh dengan kekosongan

Pernah mendengar penggalan lagu di atas? Mungkin banyak diantara kita yang masih asing dengan pelantun ataupun lirik lagu tadi. Tapi dalam kenyataannya, kita semua familiar dengan apa yang disampaikan oleh lagu tersebut. Ya, tentang komersialisasi pendidikan.

Sudah puluhan tahun sejak pertama kali kita merayakan Hari Pendidikan Nasional. Namun sayangnya dalam kurun waktu yang tidak sebentar itu, pendidikan di negara kita masih menjadi hal yang terus dipermasalahkan tiap tahunnya. Lagunya pun itu-itu saja. Biaya pendidikan yang mahal, kurangnya fasilitas pendidikan yang memadai, isu tentang pendidikan di daerah terpencil, sampai masalah pendidikan yang mulai dijadikan komoditi untuk mencari ceperan.

Saya masih ingat bagaimana orang tua saya bercerita tentang sulitnya untuk mengenyam bangku kuliah pada jaman mereka karena disamping faktor ekonomi, keberadaan perguruan tinggi tidak sebanyak sekarang. Dewasa ini, perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta secara kuantitas terus mengalami peningkatan.Mereka tumbuh subur, seperti jamur di musim hujan.

Hal ini sebenarnya baik, karena peningkatan jumlah perguruan tinggi adalah indikator munculnya lebih banyak kesadaran dari masyarakat tentang arti penting sebuah pendidikan. Tapi sayangnya, jika kita tinjau dari perspektif kualitas, peningkatan jumlah perguruan tinggi ini tidak dibarengi dengan peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Lalu apa kesimpulannya? Jelas! Hal ini berarti pendidikan di Indonesia masih berorientasi pada pendekatan bisnis.

Masih terekam jelas dalam ingatan saya nominal jumlah uang yang harus saya keluarkan demi menyandang gelar mahasiswa dan memperoleh hak untuk menuntut ilmu di lembaga pendidikan yang menaungi saya sekarang. Mungkin bukan nominal yang paling besar diantara semua nominal uang yang harus dibayarkan calon mahasiswa lain, akan tetapi cukuplah untuk membuat napas kedua orang tua saya tercekat kala itu. Tapi apalah yang diharapkan kedua orang tua saya yang terlampau tulus hatinya selain pendidikan yang terbaik untuk saya. Dan apa yang saya dapatkan sekarang? Kelas mungil yang penuh sesak dihuni oleh 40 orang, LCD proyektor yang kadang tidak bisa berfungsi, dosen yang mengajar tidak lebih dari waktu yang seharusnya, sampai kenyataan bahwa akreditasi lembaga saya tergelincir di lapis kedua.

Saya tidak bermaksud untuk menampilkan citra buruk dari lembaga ini, saya hanya mencoba member contoh nyata, yang bukan sekedar isapan jempol belaka. Toh siapa tahu ada petinggi lembaga tempat saya bernaung yang secara tidak sengaja membaca apa yang saya tulis, kemudian terketuk hatinya untuk meningkatkan kualitas dagangannya ini. Karena tak seharusnya harga selangit dibarengi dengankualitas tiongkok. Ha!

Lucu rasanya menghadapi kenyataan bahwa negara kita yang sudah merdeka lebih dari setengah abad ini tak jauh beda kondisinya dengan saat masih terjajah. Dulu, di era kolonialisme Belanda, hanya orang-orang berduit yang bisa sekolah. Sekarang? Sama saja! Bedanya hanya dulu semua uang yang dibayarkan untuk menempuh pendidikan di raup seluruhnya oleh pemerintah Belanda, kalau sekarang ditelan saudara setanah air sendiri.

Saya yakin kita semua bosan mengeluhkan hal yang sama tiap tahunnya. Saya juga. Tapi keluhan-keluhan ini tidak akan berakhir selama orang yang kita sirami keluhan tidak pernah mendengarkan keluhan kita. Atau lebih tepatnya mencoba untuk tidak mendengar, alias berlagak tuli.

Apa yang saya coba sampaikan adalah pendidikan yang mahal yang harganya sering tak masuk di akal ini, seyogyanya dibarengi dengan peningkatan mutunya. Karena seperti apa yang disampaikan penggalan lirik lagu diatas, pendidikan bukan sekedar formalitas. Perguruan tinggi tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk mencetak sarjana dengan serentetan gelarnya, perguruan tinggi juga bertanggung jawab untuk mencetak individu-individu dengan kapasitas intelektual. Sebab bangsa ini masih butuh banyak orang berpendidikan dan terdidik dalam usahanya untuk menjadi lebih baik. Untuk menjadi bangsa yang ketika kita mengakui bahwa kita adalah bagian di dalamnya, tidak akan adaperasaan lain tercipta selain kebanggaan dan rasa syukur.

*Mahasiswa program studi Perpajakkan 2013 dan Staf Redaksi LPM DIANNS FIA UB