“Cesss” suara rem angin sebuah bus yang berbunyi sesaat sebelum berangkat meninggalkan garasinya. Terlihat sebuah bus pariwisata berwarna biru dengan corak yang indah dan bertuliskan Mahkota menyusuri jalanan yang saat itu sedang ramai menuju tempat penjemputan. Dibalik kemudi besarnya terdapat seorang pria berbadan tanggung yang murah senyum. Pria berumur 39 tahun itu sangat lihai dalam membawa bus nya melewati keramaian kota. Suharno namanya, namun biasa dipanggil Pak Harno atau Pak No.

Hari itu Pak Harno akan mengantarkan rombongan wisata ke ibu kota. Sesampainya di lokasi penjemputan beliau mengajak untuk ngopi di warung yang berada tak jauh dari bisnya berhenti. “Kalau nggak ngopi nanti ngantuk” celetuknya sembari menikmati secangkir kopi warung yang sederhana. Orang-orang sudah siap, bersamaan ketika kopi tersebut mencapai tetesnya yang terakhir, Pak Harno langsung menjalankan “mobil besar” nya dengan santai agar penumpang tetap nyaman. Jarum speedometer menunjuk angka 80, hanya sesekali bisa mencapai 90 hingga 100 menyesuaikan kondisi jalanan. Menurut Pak Harno setiap pengemudi bus punya gaya mengemudi yang berbeda beda, dari yang santai, sedikit kasar, ada pula yang suka ngebut, “kalau saya kadang santai kadang ngebut” ucap Pak Harno dengan sedikit senyuman . Gaya tersebut didapatkan dari pengalaman dan watak seorang pengemudi itu sendiri, jelasnya. Kota demi kota di Jawa, Bali hingga Sumatera pernah di lalui oleh Pak Harno, berbagai macam bentuk jalan dari berkelok, naik turun, lurus pun menjadi makanan nya setiap bekerja.

Pria asli Mojo, Kediri ini.mengaku awal nya mengemudi adalah hobinya, setelah tau ternyata bisa menghasilkan ia pun menjadikannya sebagai profesi. Pak Harno sudah hampir 4 tahun bekerja di Perusahaan Otobus (PO) Mahkota sebagai pengemudi, Sebelumnya ia juga pernah bekerja di beberapa PO kecil di Kediri hingga akhirnya bergabung dengan PO Mahkota pada tahun 2014. Perkerjaannya ini berbeda dari pekerjaan orang pada umumnya yang hanya beberapa hari seminggu, jika ia bisa saja dalam seminggu tidak bekerja karena tidak ada orderan dan bisa pula dalam satu bulan tidak ada libur karena orderan yang penuh. Sebelum menggeluti pekerjaan sebagai pengemudi bus, dulunya ia bekerja sebagai pengemudi taksi hitam atau angkot di Riau. Selama 2 tahun merantau di kota orang, Pak Harno juga pernah melamar pekerjaan sebagai pengemudi truk mixer atau molen, namun ditolak karena usianya yang saat itu masih muda membuat orang kantor berpikir ia akan ugal ugalan dalam membawa truk.

Bertemu dengan orang dari berbagai macam suku dan bahasa membuatnya banyak belajar tentang kehidupan. Di usia yang hampir menginjak kepala empat, Pak Harno sendiri belum beristri, namun sudah berencana menikah setelah lebaran. “resiko sopir kalau sudah semangat kerja sampai lupa nikah” ungkapnya sambil tertawa. Di sela-sela perjalanan ia bercerita tentang pengalamannya mengemudi bus. “Nyopir bus wisata itu ada suka ada dukanya seperti pekerjaan lain”. Makan enak, berwisata gratis, tapi dibayar adalah suka dari seorang pengemudi bus.

Lain cerita jika mendapatkan pelanggan yang permintaanya aneh-aneh atau tidak masuk akal, “pernah diajak ke tempat oleh oleh yang sempit sampai bus tidak bisa parkir, dibilangi baik-baik malah ngeyel”. Jika sudah begitu, Pak Harno hanya bisa sabar. “Duka di jalan ya kalau kena macet berjam-jam, masalah dengan kendaraan lain”, untuk kerusakan bus nya menurut Pak Harno hanya kerusakan kecil saja karena bus yang ia bawa tergolong masih baru. “Yang paling susah itu nahan kangen ketemu keluarga termasuk calon istri” ucapnya. Sepulang bekerja biasanya ia menyempatkan pulang kerumah untuk bertemu keluarga, semuanya berbeda saat memasuki bulan-bulan yang penuh hari libur ia mengaku sering tidak pulang kerumah, jadi sepulang dari perjalanan hanya tidur di garasi lalu berangkat lagi dengan rombongan yang berbeda. Hubungan melalui telepon itu satu-satunya cara melepas rasa kangen. “Telepon atau Whatsapp itu sudah lumayan buat nambah semangat” imbuhnya. Fisik yang prima menjadi salah satu kunci pekerjaannya, kondisi jalan yang tidak menentu akan menguras banyak tenaga dan konsentrasi sehingga ia harus bisa menjaga tubuhnya terlebih saat ramai orderan.

Menurut Pak Harno apapun pekerjaan itu harus dijalani dengan niat dan sungguh-sungguh. Selama itu halal dan bisa mencukupi apa salahnya pekerjaan itu dijalani dengan baik. “Kerja apa saja itu yang penting dinikmati, dijalani, jangan banyak ngeluh meski menghadapi masalah besar sekalipun”. “Jodoh, rezeki, kita nggak pernah tau, tapi saya percaya semua itu nggak akan tertutar”.

Fotografer dan Narasi: Dika Widiananta