Bandung, 26 Mei 2013

Hari ini di bawah sinaran mentari yang masih malu-malu menampakkan wujudnya, kulangkahkan kakiku bersama dengan hati yang menemui persimpangan. Hari ini adalah hari yang membahagiakan bagiku dan mungkin teman-teman SMA-ku juga. Tepat hari ini, kami akan melangsungkan kegiatan Purnawiyata, begitulah kami menyebutnya. Acara seremonial yang dibuat untuk merayakan kelulusan bagi kami, kelas 12. Aku bahagia, tapi tak sepenuhnya. Ada tiga per empat perasaanku yang justru mengisyaratkan kalau aku tidak sepenuhnya hadir di sini. Tanpa kusadari, aku telah sampai di seberang gerbang sekolah. Perjalananku kini cukup membingungkan, di bawah rimbunnya pepohonan, lalu lalang ramainya kendaraan yang berjalan dan riuhnya suara klakson yang bersahutan seakan tak terdengar, padahal hampir setiap pagi aku mengomel karena hal itu.

“Berisik banget sih,” omelku biasanya.

“Kenapa, ya?” tanyaku dalam lamunan.

Pertanyaan itu justru membuatku semakin jauh dari sekitar. Bertanya dalam kebingungan adalah jebakan waktu yang tak berujung. Membawaku semakin jauh dari ingar bingar kehidupan nyata saat ini.

“Woi! ngelamun mulu. Kesurupan setan bingung, rasain deh lo!” teriak Asha yang berdiri tepat di sebelahku dan seketika membuyarkan pikiran kacau dalam lamunanku.

“Eh apaan sih!? Emang kenapa kalau kesurupan setan bingung?” tanyaku.

“Ya jadinya lo ngelamun sambil bingung, hahaha.”

“Idih gaje lo. Ya udah, yuk masuk!”

Hayuk!

*

Dia adalah “Alesha Raquella”. Gadis cantik periang dan mungkin tak punya kata sedih dalam kamusnya, setidaknya saat ia bersamaku. “Asha”, begitulah aku memanggilnya. Kami berteman sejak hari pertamaku menginjakkan kaki di sekolah ini. Dialah orang di angkatanku yang pertama kali aku ajak berkenalan, begitupun dengannya.

“Aneh sekali,” gumamku dulu.

Berteman dengannya bisa dibilang sebagai titik awal secercah kebahagiaan yang datang kembali padaku. Kebahagiaan yang sudah lama terenggut karena kepergian ayahku, 3 tahun lalu. Bukan tanpa alasan, setiap bersama dia, aku merasakan hangatnya perhatian dan manisnya hubungan pertemanan. Asha adalah sosok yang lembut, penuh perhatian, dan penyayang. Tak jarang, ia justru bersikap lebih dewasa daripada aku. Itulah hal yang membuat aku nyaman berteman dengannya.

“Keenan Dananjaya Satria.”

Terdengar namaku dipanggil ke depan untuk mengambil ijazah dan bersalaman dengan bapak ibu guru serta kepala sekolah. Kulangkahkan kakiku dengan perasaan senang berselimut kesedihan yang mendalam. Bagaimana tidak, sejauh mata memandang, kulihat berjejer para orang tua dari teman-temanku. Namun, bangku pojok kanan depan itu, justru kosong tanpa tamu. Senang rasanya bisa mewujudkan cita-cita mendiang ayah dahulu. Akan tetapi, rasanya ini sudah usai. Orang pertama yang akan sangat bahagia melihatku hari ini, nyatanya sudah pergi. Pergi dan tak akan datang kembali. Ayah, aku rindu.

*

Usai sudah seremoni hari ini. Namun, tidak dengan kalutnya perasaanku. Belum selesai aku mengenang kepergian ayah, aku pun kembali ditampar fakta bahwa aku akan kembali kehilangan orang istimewa di hidupku belakangan ini. Seorang gadis yang menjadi alasan bagiku untuk terus hidup dan berjuang dalam kepayahan, Asha.

“Ken, btw selamat ya buat kita. Tiga tahun masa putih abu ini tuntas juga,” celetuk Asha mengagetkan, karena sedari tadi aku sibuk melamun dan tak menyadari kehadirannya.

“Eh, kaget gue. Btw selamat juga ya, Sha. Lo keren banget! Bisa jadi lulusan terbaik. Gue bangga sama lo. Tapi inget, itu juga karena lo temenan sama gue,” timpalku sembari mengejeknya.

“Iya deh si paling support system. Hahaha…,” ledeknya dengan raut muka yang menyebalkan.

Ketahuilah, Sha tawa itu yang akan aku rindukan. Justru ledekan itu yang aku tunggu setiap detik dan menit waktu kita bersama. Raut wajah paling mengesalkan yang pernah aku lihat itu, yang membuat aku rasanya tak sanggup untuk kehilangan. Sha, haruskah pergi?

“Sha, lo jadi ambil beasiswa yang di Jerman?” pertanyaan itu terlontar bukan tanpa alasan. Meski aku sudah tahu apa yang jawabannya, tapi setidaknya jawaban itulah yang akan memberi kepastian. Jujur saja, aku masih berharap ia merevisi ceritanya tempo hari.

“Kok sedih gitu, Ken? Jadi kok, besok malem gue berangkat. Ntar malem jalan, yuk! Itung-itung pamitan juga kan. Lo pasti kangen kan sama gue?”

“Sha, secepat itu kah?” tanyaku tak bergeming.

Jawaban itu tidak hanya memastikan ceritanya tempo hari, tetapi juga memberiku tamparan yang sangat telak. Secepat itu kah, Sha? Secepat itukah kamu pergi ke tempat nanjauh di sana? Aku senang dengan mimpimu Sha, tapi tidak dengan “kehilangan”. Aku nggak bisa berdamai dengan kata itu.

“Eh nggak apa-apa kok, Sha. Gue sedih saja, ditinggal sahabat gue pergi jauh. Gak ada yang gue ledekin lagi dong ntar. Hahaha….”

Kalimat itu terlontar tanpa timpalan yang jelas, karena Asha sudah berlari menghampiri mobil hitam yang menjemputnya. Kini, tinggalah aku seorang diri. Mungkin beginilah gambaran diriku tanpa kehadirannya nanti.

*

Sepanjang jalan pulang kepalaku hanya berisi pertanyaan tanpa jawaban. Kata tanya “bagaimana?” seakan menghujani otakku tanpa belas rasa, membawaku semakin jauh dari riuhnya jalanan perkotaan, membuatku ricuh dalam keriuhan, perlahan membuatku hancur dalam kesendirian.

“Ke makam saja,” bisikan yang terdengar sayup masuk ke telinga kiriku tanpa penolakan.

Entah datang dari sudut jalan yang mana atau dari mulut siapa, kalimat itu seraya menuntunku untuk menuju Jalan Bojongsari V, tempat di mana kompleks pemakaman Ayah berada. Sepanjang menyusuri jalan, yang ada di kepalaku hanyalah memori 3 tahun silam. Memori yang selalu ada, entah kapan ia akan sirna. Memori di mana hari itu adalah hari paling pahit, setidaknya bagi diriku. Bagaimana tidak? Aku harus kehilangan dua orang dalam waktu bersamaan, meski yang satunya lebih kearah menjengkelkan. Ayah harus berpulang kepada Sang Pencipta tanpa tahu kapan aku bisa kembali memeluknya dan Ibu yang seharusnya bersamaku menelan kesedihan, justru datang bersama “jalang” dengan bersolek kemewahan. Lantas, masihkah ada “Ibu” dalam perjalananku?

Kutatap sendu “Rumah” sederhana itu.

“Ayah, ini putramu, ia datang hendak mengadu,” batinku.

Ayah,

Terpatri dalam ingatanku akan senyummu tiga tahun silam

Senyum yang merekah sangat indah

Ketahuilah ayah, ingatanku soal senyummu tak pernah berubah

Ayah,

Mengapa senyum hari itu jadi senyum terakhir yang aku lihat?

Mengapa setelahnya Ayah pergi begitu cepat?

Ayah, aku rindu

Ayah, hari ini aku senang

Kuharap Ayah juga

Ayah, aku lulus SMA hari ini

Lulus memuaskan, persis seperti apa yang terlontar kala Ayah

menyeruput secangkir kopi

Ayah ingat Asha bukan?

Ia hendak pergi

Aku akan hidup seorang diri

Ayah, aku bingung

Semoga ayah mengerti

Sedikit melegakan. Namun, ketenangan tak kunjung datang.

*Bandung menjelang malam*

Nyatanya kebingungan yang melanda sepanjang siang, bisa hilang dalam kedipan mata. Seperti halnya sungai kerontang yang diterpa derasnya hujan. Mungkinkah dia hujan bagi sungai kerontang itu? Jika iya, berarti hujan itu akan segera reda, dan sungai itu akan ditinggalkan air yang mendiaminya bukan?

“Keenan, Keenan, buruan!” teriak Asha

Itu adalah teriakan yang tak memerlukan adanya jawaban. Kulangkahkan kakiku dengan cekatan untuk menghindari omelan Asha jika pintunya tak segera terbuka. Seperti itulah ia, suka mengomel tanpa henti, tapi lucu juga.

“Mari, Tuan Putri!” ajakku sembari mengejeknya.

Menyusuri jalanan Kota Bandung menjelang malam adalah suatu hal yang menyenangkan. Menikmati rindangnya pepohonan yang berselimut hangatnya sinar fajar menjelang malam adalah hal yang menyejukkan pandangan. Terpaan angin sepoi-sepoi yang menghantam badan, nyatanya justru memantik kehangatan dalam perjalanan. Hari ini, bersama Asha kunikmati Bandung dalam suasana temaram.

Tiga tahun bersama bukanlah waktu yang sebentar. Tiga tahun bersama berarti kita telah menjalani setidaknya 1.095 hari bersama dan ratusan kali keluar menghirup segarnya udara “Kota Kembang” berdua. Namun, satu tempat ini tak mungkin rasanya untuk terlupa. Tempat yang selalu kita kunjungi, hampir setiap minggunya.

“Kemana kita hari ini?” tanyaku dengan bersemangat karena sudah ku tahu jawabannya.

“Warmindo Ujang 1508,” timpalnya.

“Hahaha, Indomie porsi jumbo ditambah toping kornet dengan telur dadar gaada lawan ya, Nona?” ujarku dengan nada ledekan.

Ya, itulah pesanan Asha setiap makan di sini. Sedikit rakus memang.

“Tentu, tapi kali ini lo harus ikutin pesenan gue, Ken, biar lo tahu betapa nikmatnya karunia Tuhan ini tiap minggunya,” pintanya sembari berkelakar.

“Atur deh!” jawabku singkat.

Asha adalah manusia yang unik. Berlebihan memang, tapi setidaknya dia sedikit berbeda dengan beberapa manusia lainnya. Terutama kalau sedang makan. Jangan harap ia akan menanggapi obrolan tentang apapun itu sebelum makanan yang disajikan di hadapannya habis tanpa sisa. Sederhana. Namun, aku kagum soal itu. Berteman lama dan sering menghabiskan waktu bersamanya dengan makan bersama membuatku sedikit membuka mata bahwa menyelesaikan yang ada di depan kita bukanlah pilihan, tapi keharusan. Akan tetapi, dalam kesendirian yang akan segera datang, rasanya aku tak sanggup menghadapi itu.

“Keliling, yuk!” ajakku setelah kami berdua selesai menyantap hidangan yang disebut karunia Tuhan mingguan versi Asha.

“Gassssss!” sahutnya dengan bersemangat.

Menyusuri indahnya jalanan Kota Bandung yang berhias dengan lampu warna-warni malam ini sungguh istimewa. Obrolan kita malam ini relatif kaku, tak seperti biasanya. Berjalan bersamanya malam ini terasa berbeda dari hari-hari sebelumnya. Melihat sorot matanya yang sendu membuatku semakin takut untuk menghadapi hari-hari esok tanpanya. Lesung pipi di kedua sisi wajahnya membuatku semakin larut dalam kekhawatiran tanpa ia di hari yang akan segera tiba. Sha, haruskah secepat itu?

“Ken, lo besok bisa kan ikut anterin gue ke bandara?” tanyanya seraya membuyarkan keheningan yang ada di malam itu.

Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang seharusnya aku nantikan. Namun, justru aku kelu dan tak mampu menemukan jawaban. Sungguh, aku adalah ksatria tanpa jiwa dalam raga malam ini.

“Aku besok dijemput ibu, Sha. Jadi, kayaknya nggak bisa deh. Sorry banget, ya,” jawabku dalam keraguan.

Jika orang mengira itu adalah jawaban penuh kebenaran, maka orang itu telah berada dalam titik kesalahan yang nyata. Karena nyatanya, kalimat yang terlontar itu adalah kebohongan tanpa cela. Asha mungkin saja tahu aku sedang berbohong kepadanya, tapi nyatanya ia pintar menyembunyikan prasangka.

Btw, nih kaos gambar kita waktu pertama kali foto. Biar lo ga nangis waktu kangen gue di Jerman. Hahaha…,” ejekku dibarengi tawa palsu, memecah suasana.

“Hahaha…, ya ya ya, ntar gue pajang deh, tapi mana mungkin gue kangen sama lo?” jawabnya sembari tertawa mengejekku balik.

“Udah gausah gengsi lah, wlee!” timpalku.

Kami tutup malam itu dengan suasana sendu tapi seru. Suasana kota yang syahdu, yang akan menambah rasa rindu. Kututup perjalanan malam ini bersamanya dengan senyum yang paling manis. Meski nyatanya, suasana hati ini sedang dalam tangis.

*Bandung, dini hari*

Sepulang berjalan bersamanya rasanya tak ingin lagi kuinjakkan kaki di rumah itu. Rumah yang di dalamnya penuh memori kehangatan dan kebahagiaan, tapi juga rumah yang penuh dengan nestapa dan lara. Rumah yang menjadi saksi bagaimana keluarga kecil itu hidup dengan harmoni, namun berakhir dalam ironi. Rumah masa kecil yang penuh keriangan, namun dewasa sebagai saksi tangisan.

*

Rasanya hujan deras itu telah mereda dan air sungai kembali kerontang tanpa aliran yang semestinya. Bulan yang menghiasi gelapnya malam itu telah redup 3 tahun yang lalu. Matahari yang seharusnya menguapkan air dan menjadikannya hujan kini malah bercahaya semu. Lantas, mengapa sungai kerontang ini harus terus ada? Bukankah bulan tak lagi menyapanya setiap malam? Bukankah hujan yang datang itu hanya sekedar angan? Bukankah tepian sungai kerontang yang seharusnya menahan aliran itu juga telah hancur diterjang binatang jalang? Lantas, mengapa aku harus terus ada?

“Lantas, mengapa aku harus terus ada?”

Pertanyaan itu terus berputar dalam kepala, tanpa ku tahu apa jawaban pastinya. Pertanyaan itu justru membuatku semakin ragu untuk terus ada dan pertanyaan itu justru membawaku menjauh dari ruang fana. Namun, kupikir masuk akal juga.

“Setidaknya jika aku tiada malam ini, aku bisa menyusul dan merangkul Ayah. Setidaknya jika aku tiada malam ini, akan kurasakan kembali hangatnya pelukan Ayah. Setidaknya jika aku tiada malam ini, aku tak berharap akan datangnya hujan itu kembali. Setidaknya jika aku pergi, aku akan mendapati sinaran bulan seperti malam-malam 3 tahun lalu sebelum malam ini,” gumamku.

Pikiran liar itu telah membawaku ke tempat yang aku tahu bisa menuntaskan itu. Bukan tanpa pertimbangan, karena dalam perjalanan, aku masih diliputi kebimbangan.

“Ken, selemah itukah menjadi lelaki yang katanya ksatria ayah? Bukankah Ayah ingin Ken lolos jadi sarjana dan pengusaha muda? Ken, bukankah sungai yang kering juga bermanfaat bagi petani yang membutuhkan lahan untuk bercocok tanam? Bukankah sinar rembulan yang padam 3 tahun lalu masih meninggalkan bintang bertebaran di gelapnya cakrawala? Bukankah matahari yang semu kelak akan cerah lagi apabila gerhananya telah sirna? Bukankah tepian sungai yang rusak itu bisa diperbaiki juga? Dan bukankah binatang jalang itu akan mati bila habis usia?”

Pikiranku berkecamuk. Kepalaku riuh dalam kesepian. Argumenku berdebat panjang dalam lamunan. Hatiku kalut. Semua terasa menekan, agar aku segera memutuskan.

“Pergi atau bertahan?” Pertanyaan itu terus berputar dan membuatku semakin bingung.

“Ciiittt!!!” Suara rem dan roda beradu menghasilkan suara melengking yang khas.

“Sialan!” umpatku.

Kulihat kucing oren itu tampak gelisah dan kebingungan di tengah sepinya jalanan kota. Wajahnya tampak sayu seakan meminta siapapun untuk ikut bersamanya. Bersamaan dengan itu, kulangkahkan kakiku mengekor di belakangnya. Kutemui 2 ekor anaknya sedang terjebak di saluran air kering di seberang jalan. Kuangkat satu per satu anak kucing dan ku kembalikan pada induknya yang sedari tadi mengeong tanpa jeda. Elusan di kaki tanda terima kasih dari ketiganya membuat sejenak ragaku mematung. Namun, justru pikiranku kembali berkecamuk. Satu per satu pertanyaan baru kembali muncul. Pertanyaan dan pernyataan yang bahkan tak terbesit satu pun sedari tadi.

“Ken, lihatlah. Andaikan saluran air tadi terisi sebagaimana mestinya, mungkin saja 2 ekor anak kucing tadi sudah mati atau hilang entah kemana. Ken, bayangkan jika 2 ekor anak kucing tadi tiada, betapa murung dan sedihnya induk yang telah melahirkannya? Meski ibu tak ada disini, yakinlah dia juga masih ibu yang seyogyanya. Ken, seandainya kau tiada, lantas siapa yang menolong dua ekor kucing dan induknya tadi? Bukankah dengan terus ada, kau akan terus menebar manfaat yang lebih banyak? Bukankah kau telah menyelamatkan nyawa yang tentu saja tidak lebih berharga daripada nyawamu? Bukankah Asha ketika makan selalu menghabiskannya baru mengobrol denganmu? Lantas mengapa kau berpikir untuk tiada diantara banyaknya pilihan untuk terus ada?”

Kalimat-kalimat dalam pikiran itu menghujani logika tumpulku tanpa ampun. Memutus perasaan sepi yang sudah terpatri dalam nadi. Membuat keputusasaanku berangsur pergi tanpa permisi.

“Ken, lo harus terus ada, setidaknya untuk diri lo sendiri. Bukankah dengan ada lo akan terus bermakna bagi semesta?” gumamku.

**

Seperti itulah kiranya perjalanan dalam kehidupan yang kadangkala harus mendaki bukit untuk semakin dekat pada langit. Namun, siap juga ketika harus terpeleset dan turun meringis sakit. Nyatanya, manusia tak hanya selalu bisa berharap pada manusia lainnya, tapi juga pada makhluk yang bukan sesamanya.

Hidup bukan melulu soal “dengan siapa?”, tetapi ia juga belajar tentang “dari siapa?” dan “hendak berbuat apa?” Bukankah semesta telah menyajikan aneka ragam pelajaran dari banyaknya sumber pembelajaran? Lantas, mengapa mengambil jalan pintas masih jadi pilihan? Bukankah dengan melangkah akan membuat kita jadi semakin jauh kedepan? Tak harus cepat memang, tapi nyatanya, sepuluh langkah di depan tak akan pernah tercapai apabila tak ada langkah pertama sebelumnya, bukan?

Tamat

Penulis: Alfian Rizki
Editor: Maria Magdalena