Dalam rangka memberikan pemahaman dan kesadaran terkait isu kesetaraan gender, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang menggelar “Pelatihan Jurnalis Sensitif Gender” yang diikuti para mahasiswa serta jurnalis, di Universitas Widyagama Malang, Sabtu (28/5/2022). Kegiatan tersebut mengundang dua pembicara utama yakni Mufidatul Ma’sumah selaku dosen Fakultas Hukum Universitas Widyagama dan Widia Primastika sebagai jurnalis dari media Conde.co.
Mufidatul sebagai pemateri pertama mengawali diskusi dengan pemaparan materi terkait gender dan kekerasan seksual. Terdapat tiga pokok bahasan utamanya yakni perbedaan seks dan gender, pengertian dan penyebab kekerasan seksual, dan yang terakhir adalah bentuk-bentuk kekerasan seksual . Pembahasan ini tetap berpijak pada UU TPKS dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Selanjutnya, melalui Zoom, Widya selaku pemateri kedua menyampaikan pembahasan terkait isu kesetaraan gender di ranah media dengan melemparkan beberapa pertanyaan. Diantaranya terkait dengan keberagaman gender di ruang redaksi, keseimbangan antara perempuan dan laki-laki sebagai pemangku kebijakan dan kebijakan redaksi yang ramah terhadap perempuan.
Widya berpendapat bahwa ruang redaksi pada media arus utama masih didominasi oleh kelompok laki-laki. “Banyak jurnalis perempuan ketika di ruang redaksi menyuarakan sulitnya pengalaman mereka sebagai perempuan. Misalnya, membawa tulisan tentang cuti menstruasi itu susah untuk divalidasi oleh para pemangku kepentingan di industri media masing masing,“ungkapnya.
Adapun perihal maraknya candaan seksis yang berkembang di masyarakat, terkhusus pada kalangan jurnalis, Widya menilai penyebabnya tak lain adalah kultur dan konstruksi sosial yang ada. “Kultur kita masih menormalisasi candaan seksis itu. Tak hanya dilakukan laki laki namun juga perempuan,” jelasnya.
Menyinggung lagi soal media, Widya menilai bahwa masih ada ketidaklinieran antara pemberitaan dan kenyataan di ruang redaksi. “Dalam pemberitaan terkait isu gender dan kekerasan seksual, ada media yang secara tulisan sudah bagus. Namun, belum tentu demikian di ruang redaksi mereka. Kerap kali mereka (baca: media) masih kurang beretika ketika berhadapan langsung dengan narasumber terkait,“ tegasnya.
Melihat itu, Widya menyampaikan beberapa gagasannya terkait hal hal penting yang harus dilakukan jurnalis ketika hendak memberitakan isu kekerasan seksual. Dimulai dari teknik reportase, peliputan hingga advokasi.
Dalam teknik reportase, Ia menyatakan bahwa jurnalis tidak boleh langsung menuliskan pengalaman penyintas dengan gamblang. Sebelum menulis, ada baiknya jurnalis dapat berperan sebagai penghubung antara penyintas kekerasan seksual dengan lembaga advokasi.
Selain itu, jurnalis juga diharuskan melakukan riset tentang bagaimana seharusnya media memberitakan kasus tersebut dengan tetap mengacu pada ketetapan yang ada. “Sebelum beritanya dipublish, jurnalis harus memastikan bahwa mereka (baca: penyintas kekerasan seksual) tahu persis isi dan detail dari tulisannya. Jurnalis harus mengkritisi tulisannya sendiri, apakah nantinya akan menimbulkan stigma atau serangan balik ke mereka. Jurnalis hanya menulis, namun yang paling mengalami dampak paling besar itu tetaplah penyintasnya,” tegasnya.
Adapun dalam teknik peliputan, Widya memaparkan beberapa poin penting bagi para jurnalis. Pertama, jurnalis harus memastikan bahwa korban telah memiliki pendamping secara hukum maupun psikologis, tidak mengulang-ulang pertanyaan yang bisa memicu trauma penyintas, dan tidak memaksa penyintas berbicara apabila memang tidak mau diwawancarai.
Kedua, saat melakukan liputan keragaman gender, jurnalis harus menghargai pilihan penyintas, seperti dilarang bertanya nama, tempat lahir dan berbagai pertanyaan privasi lainnya. “Kita tidak boleh memaksa penyintas ngomong. Dampak kekerasan seksual itu sangat besar, bahkan penyintas bisa jadi ada tendensi untuk bunuh diri. Oleh karena itu, kita bisa meminta pendamping hukum mereka, atau bertanya mereka (baca: penyintas) butuh apa. Kita harus menghargai prosesnya, selama apapun itu,” ujar Widya.
Hingga pada tahap advokasi, Widya mengharapkan jurnalis serta media manapun, dapat terlibat dalam advokasi isu kekerasan seksual. Hal yang dapat dilakukan diantaranya dengan melakukan kampanye, menerbitkan tulisan tulisan yang mendukung peningkatan kesadaran terhadap isu tersebut, hingga penyusunan SOP pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di media masing masing.
Survei Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis di Malang
Selain pemaparan materi, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang juga memaparkan hasil survei kekerasan seksual pada jurnalis pada pertemuan tersebut. Survei itu dilakukan sejak tanggal 21 Maret hingga 15 Mei 2022 dengan 40 orang responden yang berpartisipasi.
AJI Malang menjelaskan bahwa dalam survei tersebut diketahui 31,6% responden adalah jurnalis perempuan, 68,4% adalah jurnalis laki-laki dengan posisi sebagai reporter, editor dan kepala biro. Hasilnya menunjukkan bahwa 77,5% responden menjawab tidak pernah mengalami kekerasan seksual berbasis gender, sedangkan 22,5% mengalami kekerasan berbasis gender.
Dalam laporan tersebut, mayoritas penyintas menjawab mengalami kekerasan seksual sekali, yaitu sebanyak 33,3%. Lalu 22,2% menjawab mengalami kekerasan seksual sebanyak tiga kali. Sedangkan, yang menjawab mengalami kekerasan seksual sebanyak dua kali dan lebih dari tiga kali ada 11,1%.
Berdasarkan hasil survei itu juga, diketahui bahwa narasumber menjadi yang paling dominan sebagai pelaku kekerasan seksual, yang mencapai 22,2%. Sedangkan, 11,1% pelaku kekerasan seksual adalah teman satu profesi, teman sekantor dan orang lain.
Tak hanya itu, 55,6% responden ternyata memilih diam saja saat mengalami kekerasan seksual. Sedangkan persentase yang menjawab melakukan perlawanan ketika mendapat kekerasan seksual sebanyak 33,3% dan 1,1% responden memilih tidak menanggapi.
Adapun dari segi komposisi pekerjaan, AJI memaparkan bahwa mayoritas responden tersebut bekerja antara satu hingga lima tahun dengan persentasenya mencapai 59%. Adapun bagi responden yang bekerja antara enam hingga sepuluh tahun sebanyak 20,5%. Sedangkan, jurnalis yang yang bekerja kurang dari setahun sebanyak 10,3%, pun yang bekerja lebih dari sepuluh tahun, jumlahnya 10,3 %.
Dari data di atas, dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh responden jurnalis perempuan mengaku pernah mengalami kekerasan seksual berbasis gender. Bahkan kekerasan seksual pada mereka terjadi ketika masa kerjanya masih di bawah setahun.
Melihat itu, AJI Malang mengeluarkan beberapa rekomendasi untuk mencegah maupun menanggulangi permasalahan tersebut. Pertama, organisasi profesi dan perusahaan media perlu memiliki SOP penanganan kasus kekerasan seksual. Kedua, jurnalis perlu untuk bergabung pada organisasi profesi sehingga memiliki perlindungan dan dukungan. Ketiga, sosialisasi tentang kekerasan seksual harus terus digalakkan kepada jurnalis dan seluruh lapisan masyarakat. Keempat, perusahaan media harus menjadi pihak pertama yang melindungi pekerjanya.
Sebagai penutup, AJI Malang berpesan agar seluruh perusahaan media terus berupaya memberikan edukasi tentang perspektif gender kepada pekerjanya. Hal ini guna menciptakan tempat kerja yang aman dan nyaman bagi para jurnalis serta lahirnya produk produk jurnalistik yang ramah gender.
Penulis : Nadya Rajagukguk
Editor: Benediktus Brian