LPM Canopy Universitas Brawijaya bersama Komunitas Kretek mengadakan diskusi bertajuk “Membedah Siasat Korporasi Farmasi Jualan Nikotin” yang bertempat di UB Guest House. Diskusi yang diadakan pada Selasa, (31/5/2022) juga merupakan bagian dari bedah buku Nicotine War karya Wanda Hamilton yang dirilis pada 2011 silam. Diskusi buku ini menghadirkan tiga narasumber yakni Abhisam Demosa (Koordinator Nasional Komunitas Kretek 2010-2016), Imanina Eka Dalila (Peneliti PPKE Universitas Brawijaya) dan Irfan Afifi (budayawan), serta dimoderatori oleh Eddward S Kennedy (penulis dan jurnalis).

Eddward mengawali diskusi ini dengan mengulas latar belakang hingga problematika utama dalam buku tersebut. Baginya, hal yang melandasi adanya diksi “war” dalam buku tersebut dikarenakan banyaknya elemen peperangan yang hadir. “Nicotine war merupakan sebuah hasil riset mendalam yang memperlihatkan berbagai elemen peperangan memperebutkan nikotin. Buku ini mengulas strategi taktis, musuh, dan propaganda yang terus menerus dilakukan tanpa berkesudahan demi satu tujuan, yaitu agar nikotin tak lagi dikonsumsi melalui rokok, namun melalui racikan industri farmasi,“ ungkapnya.

Ia juga melihat bagaimana Wanda berhasil menyuguhkan siasat aktor-aktor dibaliknya dengan riset mendalam. “Perusahaan farmasi yang bersekongkol dengan lembaga pemerintahan nasional maupun internasional merupakan aktor utama dalam peperangan. Mereka (baca : perusahaan farmasi) mengintervensi dunia kesehatan, pemerintah, hingga media untuk menghabisi industri tembakau,” tegasnya.

Kebrutalan Strategi Pemasaran Industri Farmasi

Abhisam menyebutkan bahwa era nicotine war dimulai awal sekali pada tahun 1960-an dengan aktor yang terlibat yakni antara industri tembakau dan farmasi di Amerika. Adapun salah satu momentum penting yang melandasinya yakni adanya Laporan Surgeon General tahun 1988. “Surgeon General menyebarkan narasi bahwa merokok adalah kecanduan, bukan sebuah kebiasaan. Dengan merangkul lembaga-lembaga kesehatan hingga pemerintah, narasi ini bertransformasi menjadi propaganda yang menjadikan industri tembakau sebagai musuh,” jelasnya.

Lebih jelasnya, Abhisam mengungkapkan dua propaganda dahsyat perusahaan farmasi yang berhasil masuk ke ranah publik. Pertama, tembakau dinyatakan sebagai musuh global. Kedua, perokok yang kecanduan perlu mendapat penanganan dari dunia kesehatan. “Ketika mereka (baca: perokok) dinyatakan addicted, disinilah mereka (baca: farmasi) masuk untuk menangani melalui penawaran produknya seperti NRT (Nicotine Replacement Therapy). Begitulah strategi pemasaran mereka,” tuturnya.

Abhisam juga mengupas sekelumit strategi pemasaran luar biasa yang dilakukan industri farmasi. Ia melihat kerjasama yang kuat antara antara korporasi farmasi dengan lembaga federal Amerika, persatuan dokter, organisasi nirlaba, media hingga puncaknya yakni Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Alhasil, terciptalah berbagai bentuk kampanye anti tembakau hingga kebijakan untuk mengalahkan industri tembakau.

“Sebenarnya sudah banyak orang yang mengkritik betapa brutalnya industri tembakau yang telah mengorbankan kebenaran. Namun, suara mereka masih kalah jauh dari korporasi itu,” tegasnya.

Nicotine War di Indonesia

Lebih lanjut, Abhisam menjelaskan nicotine war di Indonesia dengan keterlibatan tiga kubu yakni perusahaan multinasional farmasi, perusahaan tembakau, dan industri kretek nasional. Adapun pihak yang paling rentan/terancam adalah industri kretek nasional. “Cengkeh sebagai salah satu bahan dari kretek merupakan sumber daya alam yang khas dari Indonesia. Bahkan, kretek ini merupakan salah satu identitas bangsa. Modal utama industri ini sepenuhnya dari dalam negeri. Namun kekuatan mereka masih kalah jauh untuk mengalahkan pihak asing,” ungkapnya.

Dalam perkembangannya, Abhisam mengatakan setidaknya ada 300 regulasi pengendalian tembakau yang merugikan industri kretek nasional. Ia berpandangan bahwa ada banyak regulasi ekstrim dengan aturan dan sanksi yang sangat ketat di dalamnya. Salah satunya seperti kawasan tanpa asap rokok pada kawasan rumah tangga. “Bahkan dalam lingkup rumah tangga saja, pemerintah mengaturnya. Ini termasuk regulasi ekstrim,” ungkapnya.

Adapun perusahaan tembakau di Indonesia juga mendapat banyak tantangan ketika hendak memasarkan produknya. Mulai dari pengemasan hingga promosi, industri tembakau tersikut oleh beberapa aturan. “Iklan, promosi dan sponsorship rokok benar-benar sulit. Bahkan, pelarangan total iklan di seluruh media pernah terjadi. Hingga saat ini pun masih ada larangan berekspresi terkait rokok. Larangan ini terlihat dari pengemasan dan label peringatan bahaya rokok yang diharuskan memenuhi 70-80% dari kemasan rokok. Semua ini tak lain agar produk tembakau semakin redup dan NRT kian berkembang” ujar Abhisam.

Dua Sisi Industri Tembakau Indonesia

Selanjutnya, Imanina mengemukakan dua titik yang bertolak belakang pada industri tembakau di Indonesia. Jika dinilai dari sisi kesehatan, tembakau dianggap sebagai ancaman karena memiliki banyak efek buruk bagi tubuh manusia, salah satunya adalah menjadi sebab dari tingginya angka stunting di Indonesia. Namun secara ekonomi, peran tembakau tidak bisa dipandang remeh.

Berdasarkan risetnya pada 2019 silam, industri tembakau berhasil menyelamatkan perekonomian Indonesia. Hal ini dikarenakan industri tembakau telah menyumbang angka cukai tertinggi yakni sebesar 97% ketika pandemi Covid-19. Tak hanya itu, industri tembakau merupakan penyerap tenaga kerja terbesar diantara berbagai industri manufaktur lain. Adapun tenaga kerja yang diserap dapat berasal dari berbagai lapisan masyarakat terkhusus SDM dengan tingkat pendidikan rendah. Meninjau dari segi rasio gender, industri ini telah mempekerjakan pegawai perempuan dengan persentase tinggi yakni sekitar 66% dari jumlah pekerja.

Meskipun demikian, Imanina juga mengakui adanya ketidakefektifan dari kenaikan harga cukai terhadap banyak sektor. Hal ini terlihat dari tidak tercapainya upaya penurunan tingkat konsumsi rokok. Tak hanya itu, terjadi kemerosotan angka industri rokok di Indonesia yang berakibat pada peningkatan produksi rokok ilegal. “Justru dari sini timbul suatu gap antara tingkat produksi rokok legal yang kian menyusut dengan angka perokok yang tidak mengalami perubahan. Kekurangan produksi inilah yang menjadi peluang bagi rokok ilegal untuk masuk dan mengambil peran dalam mengisi kekosongan gap yang ada,” ujarnya.

Terakhir Imanina membenturkan korelasi antara prevalensi angka stunting dan kenaikan harga rokok. Ia menyebutkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir harga rokok di Indonesia sudah tinggi, tetapi angka stunting masih tinggi dan belum memenuhi standar WHO. Imanina berpandangan bahwa kenaikan tarif cukai nyatanya tidak berdampak apapun pada permasalahan yang menjadi fokus pemerintah –dalam hal ini stunting. “Jika benar ingin mengendalikan angka konsumsi dan permasalahan stunting, seharusnya pemerintah tidak hanya fokus pada harga rokok saja. Cari akar permasalahannya lalu selesaikan dengan pendekatan-pendekatan yang sesuai,” pungkasnya.

Minimnya Kesadaran Bangsa

Narasumber selanjutnya adalah Irfan Afifi, budayawan yang juga menjadi pengelola Langgar.co. Ia menjelaskan tentang kaitan tembakau dengan kebudayaan Indonesia. Pada level kebudayaan, nalar/pola pikir menduduki peringkat atas. Dalam kaitannya terkait rokok, Ia berpandangan bahwa fenomena merokok saat bukan lahir dari kesadaran bangsa Indonesia, namun titipan agenda bangsa lain. “Ini bukan hanya perihal rokoknya, namun juga bagaimana kedaulatan bangsa baik secara politik maupun ekonomi. Tentu lebih adil apabila regulasi yang terbit atas kesadaran bangsa. Namun kenyataannya, semua disokong titipan agenda ekonomi pihak lain,” ungkapnya.

Ia juga menyampaikan kritiknya terhadap narasi “Merokok itu membunuh” yang dikampanyekan besar-besaran. Baginya, narasi tersebut hanya bentuk validasi atas kepentingan kelompok penguasa saja. “Isu tentang bahaya merokok ini dibuat seakan menjadi isu paling penting seabad ini. Melihat itu, perlu dipertanyakan pihak yang mendesain top level dari arsitektur kebenaran tersebut. Bisa ditebak, kompetitor bisnisnya kan? Katanya, rokok itu bahaya namun perusahaan farmasi juga tetep jualan nikotin,” ujarnya.

Melihat itu, Ia mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia masih belum bisa memproduksi pengetahuan dan kebenarannya sendiri. Ia berpesan agar seluruh keputusan terkait rokok semestinya diserahkan pada pribadi masing-masing bukan hasil eksekusi bangsa lain.

Penulis: Nasywadhiya Zahrani Putri dan Nadya Rajagukguk

Editor : Benediktus Brian

Foto: Reza Mehrad/Unsplash