Reperter: Ayulia A. dan Nesty Omara
Fakultas Ilmu Admninistrasi Universitas Brawijaya (FIA UB) melakukan peningkatan akreditasi sebagai upaya pembentukan reputasi internasional. Upaya ini sudah tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) FIA UB tahun 2015-2019. Namun, eksekusi pencitraan internasional tersebut terlalu berfokus pada branding. Peningkatan kuantitas akreditasi internasional masih menjadi tujuan utama dari pada fokus ranah keilmuan secara mendalam.
Dalam Renstra UB tahun 2015-2019, pencitraan internasional merupakan upaya berkelanjutan agar UB dikenal sebagai World Class Enterpreneurship University pada tahun 2025. Cita-cita tersebut merupakan bagian internasionalisasiuntuk meningkatkan indeks perguruan tinggi. Mengenai indeksperguruan tinggi, YustikaCitra Mahendra selaku dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UB mengungkapkan bahwa dampak indeks ini ada, agar kampus bisa mendapatkan hibah penelitian, perluasan akses, kerjasama, pengakuan, dan lain-lain. Akademisi dan masyarakat globalakanmengakui kampus yang memiliki indeks yang tinggi, baik karena karya, dosen, mahasiswa, dan lulusannya. Permintaan masyarakat juga akan naik seiring meningkatnya indeks perguruan tinggi. “Nah, kita juga memiliki Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Itukan akreditasi di tingkat nasional. Tapi ada juga indeks di level internasional. Nah itu yang kita kejar, pemeringkatan internasional,” tambah Yustika.
FIA UB tak luput mengupayakan pencitraan internasional. Hal ini terdapat pada visi di Renstra FIA UB tahun 2016- 2020, yakni “Menjadi institusi pendidikan, pengembangan ilmu administrasi berkala internasional yang berwawasan Entrepreneur dan Smart Faculty Governance pada tahun 2020”. Dari visi ini kemudian diturunkan menjadi empat misi. Salah satu misi dalam Renstra FIA UB tahun 2016-2020 adalah ter wujudnya peningkatan kualitas pendidikan guna menghasilkan lulusan yang berwawasan nasional dan berdaya saing global.
Dalam pelaksanaan visi-misi tersebut, FIA UB memiliki strategi peningkatan pada beberapa komponen di bidang akademik, antara lain kurikulum berstandar internasional, kerjasama nasional dan internasional, kualitas jurnal internal institusi, publikasi jurnal ilmiah terindeks SCOPUS dan THOMSON, student exchange, serta prestasi akademik dan non akademikdi tingkat nasional maupun internasional. Peningkatan akademik bertujuan meningkatkan jumlah akreditasi internasional FIA UB dan pengakuan masyarakat global. Dampak dari citra ini juga akan meningkatkan indeks UB secara menyeluruh baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional.
Fadhilla Putra selaku dosen Administrasi Publik FIA UB mengungkapkan bahwa pencitraan internasional FIA terkesan transaksional karena menerapkan kerjasama dengan beberapa universitas di luar negeriberbasis Memorandum of Understanding (MoU). Fadhilla kemudian memberi contoh peningkatan jumlah mahasiswa internasional sebagai salah satu indikator pencapaian akreditasi di Universitas Harvard dengan UB, “Mereka menaikkan jumlah mahasiswa internasional dengan menaikkan kualitas. Sementara kita tidak melihat, bahkan tidak ada mahasiswa internasional disini. Kalau toh ada sifatnya sangat dipaksakan,”. Fadhilla juga menjelaskan bahwa pencitraan internasional hanya bersifat belum menyentuh ranahyang lebih mendalam pada basiskeilmuan. “Semua serba supervision. Cuma di permukaan, tapi sedikit saja menyelam sedalam satu sentimeter itu udah gak ada orang. Karena yang diperbaiki itu sebatas permukaan saja. Kayak minyak disemprotkan ke air. Di dalamnya tetap air, minyaknya cuma di permukaan saja. Ya seperti itu pencitraan internasional,” tandasnya.
Yusri Abdillah selaku Wakil Dekan I FIA UB menjelaskan bahwa penyusunan kurikulum berdasar pada kebutuhan industri sehingga kampus mampu menciptakan lulusan-lulusan yang mampu bersaing secara internasional. Diakui Yusri, standar kurikulum FIA UB mengacu pada Kerangka Kurikulum Nasional Indonesia (KKNI) yang su dah disetarakan dengan standar kurikulum yang ada di seluruh dunia. KKNI ini adalah upaya standardisasi kurikulum oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). KKNI terdiri dari 50% dari kurikulum yang disusun oleh asosiasi keilmuan sesuaikebutuhan industri, seperti Asosiasi Ilmu Administrasi Bisnis Indonesia (AIABI). Pembeda antara KKNI dengan standar kurikulum perguruan tinggi di luar negeri adalah mata kuliah wajib yang hanya ada di Indonesia, seperti agama, Pancasila, dan Kewarganegaraan. “Tapi adakah kaitannya kurikulum dengan pencitraan atau branding itu ya yaitu memang iya. Artinya upaya salah satu branding kita adalah bagaimana kita mendapatkan akreditasi internasional,” tambah Yusri.
Hasil penelitian berupa jurnal juga berperan penting dalam pencitraan internasional. Diakui Supriono, dosen Jurusan Administrasi Bisnis FIA UB, urgensi jurnal adalah untuk eksistensi bagi perguruan tinggi. “Di dalam jurnal ini tercantum nama universitas juga. Ketika nama universitas tercantum, semakin banyak orang melihat dan merujuk jurnal kita, maka perguruan tinggi kita dianggap bonafide,” ungkapnya. Supriono juga mengakui bahwapara dosen yang melakukan pekerjaan-pekerjaan terkait Tri Dharma Perguruan Tinggi akan mendapatkan poin. Fungsi poin adalah untuk kenaikan pangkat. Pangkat yang paling tinggi adalah professor dengan total poin 800. “Yang paling tidak dibatasi itu penelitian. Penelitian ini pada akhirnya hanya jurnal. Kalo pengabdian masyarakat dan pendidikan itu dibatasi,” ungkapnya.
Disinggung mengenai adanya join research di FIA, Fadhillamenyayangkan belum ada satu pun join research antara dosen FIA dengan dosen-dosen di luar negeri. “Semua itu murni transaksi berbasis MoU. Kita kerjasama dengan Thailand dan lain-lain, semua itu berbasis MoU dan menurut saya itu tidak natural.” imbuhnya saat ditemui awak LPM DIANNS.
Foto: fia.ub.ac.id