Akmal Adi Cahya (kiri) selaku Kepala Divisi Adokasi Malang Corruption Watch (MCW) memaparkan sejarah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam diskusi publik yang bertema “Menolak Revisi Undang-Undang KPK” di Wisma Kalimetro pada Selasa, 9 Februari 2016.

Reporter: Hendra Kristopel

Malang, dianns.org – Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dinilai sebagai salah satu upaya pelemahan lembaga tersebut. Kepala Divisi Advokasi Malang Corruption Watch (MCW), Akmal Adi Cahya, menyatakan pihak legislatif memandang revisi UU ini untuk menguatkan KPK, tetapi substansinya justru melemahkan. Selain itu, independensi KPK juga menjadi sasaran dari revisi UU tersebut. “Independensi KPK pun akan semakin digerus oleh revisi UU KPK, sehingga kinerja KPK sebagai lembaga adhoc semakin dilemahkan,” imbuhnya saat menjadi pemateridalam diskusi publik “Menolak Revisi UU KPK” yang diadakan oleh MCW di Wisma Kalimetro pada Selasa, 9 Februari 2016 kemarin.

Akmal juga menjelaskan upaya pelemahan KPK sudah terlihat sejak tahun 2008, sedangkan upaya-upaya untuk merevisi UU KPK sudah terlihat tidak lama setelah KPK didirikan. Berdasarkan data MCW, terdapat beberapa kasus yang dinilai sebagai upaya melemahkan KPK. Pada tahun 2008, upaya-upaya yang dianggap melemahkan lembaga tersebut terlihat sejak adanya penolakan anggaran KPK oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tidak lama setelah itu, revisi UU KPK masuk dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas) tahun 2008. Kemudian tiga orang Perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) ditarik dari KPK, serta adanya ide pembatasan penyadapan KPK melalui Revisi UU KPK.

Pada saat menguaknya kasus korupsi Bibit-Chandra di tahun 2009, upaya pelemahan pun kembali terjadi. Terdapat wacana kewenangan KPK hanya sebatas penyidikan serta penetapan dan penahanan Bibit-Chandra. Pada tahun 2010 hingga 2011, terdapat isu-isu krusial yang saat itu gencar dibahas dalam upaya merevisi UU KPK, yaitu adanya ketentuan batas kerugian yang ditangani oleh KPK serta adanya ketentuan penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan. Sedangkan pada tahun 2012, upaya pelemahan KPK terlihat ketika Penyidik KPK, Novel Baswedan, ditetapkan sebagai tersangka, serta adanya perebutan proses penyidikan dengan Polri dalam kasus simulator Surat Izin Mengemudi (SIM).

Data MCW juga menyebutkan pada tahun 2013, terdapat kasus-kasus yang juga dianggap sebagai upaya pelemahan KPK. Salah satunya adalah adanya pemotongan anggaran untuk KPK yang semula sebesar Rp. 706,5 miliar menjadi Rp. 662,4 miliar, seperti yang termaktub dalam Surat Menteri Keuangan tertanggal 14 Mei 2013. Kebijakan tersebut mengakibatkan pemangkasan anggaran di berbagai unit KPK. Tidak hanya sampai disana, pada tahun 2014, adanya Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang substansinya diduga akan menghilangkan sifat keluarbiasaan tindak pidana korupsi, serta digulirkannya wacana revisi UU KPK oleh Koalisi Merah Putih (KMP).

Pada tahun 2015, dua orang pimpinan KPK saat itu ditetapkan sebagai tersangka dan dinonaktifkan, dua orang pimpinan lainnya dilaporkan pidana. KPK saat itu juga dikalahkan dalam permohonan pra-peradilan Budi Gunawan, Ilham Aief Sirajuddin, dan Hadi Purnomo. Ditambah lagi dengan kasus penyidik KPK, Novel Baswedan, yang menjadi tersangka dalam kasus penembakan pencuri sarang burung walet tahun 2004 juga dianggap sebagai upaya pelemahan KPK. Hal itulah yang kemudian memicu konflik internal KPK. Hingga sekarang, revisi UU KPK masuk ke dalam Prolegnas 2016.

Menanggapi data tersebut, Akmal menambahkan, “Kasus ini sebenarnya hanya garis besarnya saja, saya kira masih ada lagi kasus-kasus yang tidak terlihat sebagai upaya melemahkan KPK.” Akmal juga berpendapat bahwa fungsi-fungsi penyelidik, penyidik dan penuntut yang dimiliki KPK akan melemah. Sebenarnya, ia menambahkan, kalau diperiksa di salah satu pasal, semisal pasal 38 UU yang awal, KPK tidak lagi berada di bawah kepolisian dan bersifat independen. Namun, di draf revisi UU KPK yang sekarang, kepolisian dan jaksa memiliki kontrol terhadap KPK.

Bambang Wijayanto, mantan pimpinan KPK, menyampaikan surat Jangan Bunuh KPK, Hentikan Revisi UU KPK melalui laman change.org, bahwasanya revisi ini bukan sekadar melemahkan KPK. Tetapi, mendelegitimasi seluruh upaya pemberantasan korupsi. Ia pun menambahkan revisi ini mengintervensi independensi KPK. Ia memaparkan setidaknya ada tiga poin penting dalam revisi UU KPK yang akan melemahkan KPK, yaitu adanya Dewan Pengawas yang harus menyetujui penyadapan oleh KPK, adanya mekanisme penghentian kasus di tengah jalan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), serta KPK yang tidak diperbolehkan mengangkat penyidik atau penyelidik sendiri.

Akmal pun turut mengkritik sikap legislatif dan eksekutif yang dinilai semakin tidak profesional. “Melalui pengolahan RUU ini saja kita juga bisa lihat, betapa tidak profesionalnya legislator kita. Bagaimana mereka membuat RUU tanpa adanya naskah akademik? Itukan sudah sangat tidak profesional,” tuturnya.

Salah satu alasan RUU ini adalah adanya kesamaan fungsi yang dimiliki KPK dengan penegak hukum lainnya. Menanggapi hal tersebut, Akmal memaparkan bahwa ada beberapa hal yang cukup berbeda. Misalnya, KPK boleh menyadap, sedangkan polisi juga boleh menyadap tetapi aturannya lebih ketat. Kemudian dalam hal menahan tersangka, KPK tidak terikat dengan aturan di KUHAP, sedangkan polisi ada jangka waktunya dan ada keterikatan. Terlebih lagi, KPK memiliki wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, beda dengan polisi, polisi hanya sampai tahap penyidikan dan kemudian dilanjutkan jaksa.

Akmal menyatakan bahwa tujuan dibalik RUU ini adalah untuk menguatkan struktur di atasnya. Di sisi lain, RUU ini dinilai membuat KPK lemah. KPK diletakan di bawah kontrol jaksa dan polisi. Sehingga ketika KPK berbuat sesuatu hal yang meresahkan golongan tertentu, polisi bisa menjerat penyidiknya dan jaksa dapat memerintahkan orangnya untuk melakukan gangguan-gangguan di internal KPK. “Jadi menurut saya, ini adalah masalah pragmatisme politik,” ungkapnya.

Fotografer: Muhammad Bahmudah