Massa melakukan aksi tolak revisi UU KPK di depan Balai Kota Malang pada Rabu, 10 Februari 2016.

Reporter : Athikah Sri A. dan Esa Kurnia

Malang, dianns.org – Aksi penolakan terhadap revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berlangsung di depan Balai Kota Malang pada Rabu, 10 Februari 2016. Aksi ini dilangsungkan sebagai bentuk penolakan atas Revisi UU KPK yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Secara substansi, wacana DPR dalam melakukan revisi terhadap UU KPK dinilai merupakan upaya pelemahan KPK secara eksternal. Tujuan aksi ini adalah menyampaikan usulan massa kepada DPR selaku dewan pusat agar menghentikan revisi UU KPK. “Harapan kita pemerintah terutama eksekutif harus sadar bahwa Indonesia masih belum siap ketika KPK ini sudah tidak independen, KPK harus tetap independen sehingga upaya pemberantasan korupsi dapat berhasil,” tutur Farchan Masqud selaku Koordinator Aksi. Aksi penolakan ini melibatkan sejumlah elemen masyarakat, seperti Malang Corruption Watch (MCW), Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Malang (BEM FISIP UMM), dan para seniman di Kota Malang.

Dalam aksi tersebut, penolakan ditekankan pada bab-bab dan pasal-pasal yang terdapat dalam draf revisi UU KPK. Dilansir dari press release aksi, ada empat poin penting yang alasan penolakan revisi UU KPK. Pertama, sepanjang berdirinya, KPK tercataat telah menindak 101 orang anggota legislatif baik pada tingkat daerah maupun nasional, 66 orang kepala daerah setingkat bupati dan gubernur, dan 23 orang pemimpin lembaga setingkat kementerian. Kedua, DPR merupakan institusi terbesar ke-3 yang paling banyak mendapat petisi dari masyarakat sepanjang tahun 2015, sedangkan posisi pertama ditempati oleh instansi kepolisian dan pemerintahan Jokowi-JK.

Ketiga, poin-poin revisi memuat peran besar institusi di luar KPK yang turut serta hingga berpotensi mengintervensi independensi dan kualitas kinerja KPK. “Dalam revsi tersebut, ada dewan pengawas berfungsi untuk memberikan izin untuk penyitaan dan penyadapan. Bagaimana mungkin KPK bisa melakukan pemberantasan korupsi yang lebih efektif apabila penyadapan dan penyitaan itu dihalangi oleh strukturnya sendiri?” imbuh Farchan. Kemudian, imbuhnya, mengenai poin-poin rekruitmen yang harus dikembalikan kepada kepolisian dan juga ada pasal yang membatasi proses penyelidikan dan penyidikan juga turut menjadi perhatian. Keempat, dengan adanya revisi UU KPK tersebut, posisi KPK berpotensi setara dengan Penyidikan Negeri Sipil. Hal ini terlihat dengan penghapusan pasal 38 ayat (2) tentang kewenangan KPK seperti penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Selama aksi berlangsung, orasi penolakan atas revisi UU KPK dilakukan oleh sejumlah aktivis. Orasi pertama dilakukan oleh Farchan Masqud yang menandakan dimulainya aksi. Massa aksi berdiri sambil memegang tulisan yang berisi penolakan terhadap revisi UU KPK. Acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi tentang korupsi oleh Ahmad Musawwir. Acara kemudian ditutup dengan teatrikal sebagai penggambaran atas kondisi KPK saat ini. Massa yang berperan dalam teatrikal tersebut menaburkan bedak ke mukanya dan menyebut diri mereka sebagai Badut Senayan. Dengan maraknya kasus korupsi, Farchan menambahkan, KPK harus tetap independen sehingga upaya pemberantasan korupsi dapat berhasil.

Fotografer: Muhammad Bahmudah.