Reporter: Roihatul Musyafi dan Mechelin D. Sky
Malang, dianns.org – Kemerdekaan menyampaikan pendapat, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Topik mengenai kebebasan berpendapat ini kiranya tak lepas dari konflik yang belakangan ini terjadi antara Lembaga Pers Mahasiswa DIANNS Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (LPM DIANNS FIA UB) dan pihak Dekanat FIA. Konflik tersebut berporos pada pelarangan pemutaran film dokumenter ‘Samin vs Semen’ dan ‘Alkinemokiye’ dengan dalih bahwa pada hari penyelenggaraan bedah film tersebut bertepatan dengan hari libur nasional. Di samping itu, kedua film ini dinilai oleh pihak dekanat lebih condong bersifat provokatif ketimbang bersifat informatif. Sedangkan latar belakang yang mendasari penyelenggaraan bedah film tersebut adalah untuk mengembangkan kerangka berpikir dan sebagai media bertukar gagasan. “Tujuannya untuk membuka ruang diskusi publik, membenturkan dengan realitas sosial yang ada, dan menumbuhkan pola pikir kritis mahasiswa mengenai keadilan dan kesejahteraan masyarakat,” ungkap Shochihatuz Zainia selaku bendahara pelaksana acara bedah film tersebut.
Setiap individu mempunyai hak untuk berpendapat dan berekspresi, tidak terkecuali mahasiswa yang berada dalam ruang lingkup pendidikan dan dijamin oleh hukum yang berlaku. “Kebebasan dalam konteks hukum dan hak asasi manusia dapat diartikan bahwa individu diberikan jaminan hukum oleh negara untuk mengekspresikan apa yang menjadi hak dan pendapatnya,” ujar Muktiono, SH., Mphil selaku dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) saat diwawancarai di ruangannya. Ia menambahkan bahwa inti dari hukum adalah menjamin kebebasan, bukan sebaliknya. Hukum akan kehilangan maknanya ketika digunakan sebagai alat pembatasan individu.
Tidak jauh berbeda dengan kebebasan berpendapat dalam konteks hukum, kebebasan berpendapat dalam konteks sosiologi juga hampir sama, tetapi fokus pada poros yang berbeda. “Dalam konteks Hukum Sosiologi, tatanan hukum dibagi menjadi dua yaitu Normatif dan Kepatutan. Normatif yang bersifat adil dan Kepatutan bersifat sosial. Kedua-duanya harus berjalan beriringan,” jelas Dhanny S Sutopo, selaku dosen sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (FISIP UB).
Lebih lanjut menurut Dhanny, ketika mahasiswa mengemukakan pendapat, mereka seakan mengungkapkan suatu gejolak emosi yang tertahan pada dirinya. Dimana gejolak emosi itu mudah terpancing dan meledak seketika. Di sisi lain, oleh para dekan, dosen, dan jajarannya hal semacam ini dianggap liar atau dianggap sebagai gerakan pemberontakan. Padahal ketika mengacu pada hukum sosiologi yang berlaku, kedua hukum yang telah disebutkan sebelumnya harus berjalan bersamaan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
“Ketika dalam suatu elemen, dalam hal ini jajaran dosen dan mahasiswa, salah satunya masih menggunakan kacamata obyektif maka tidak akan bisa tercipta ruang berdialektika demi perubahan yang lebih baik,” jelas Dhanny lebih lanjut. Menjadi tamparan tersendiri ketika suatu lembaga pendidikan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menolak keberadaan ruang dialektika. Padahal perguruan tinggi berfungsi sebagai lembaga terdepan dalam urusan mengedepankan ruang-ruang diskusi publik dan berdialektika. “Fungsi kampus adalah menjadi lembaga pelindung paling akhir ketika di lingkup masyarakat umum sudah tidak ada lagi moralitas. Di sini kampus menjadi tempat untuk mencari kebebasan berdialektika dan diiringi dengan adanya moralitas,” ujarMuktiono.
Dalam hal ini, yang menjadi polemik tersendiri adalah ketika sekelompok orang dengan kekuasaan dan otoritas yang lebih tinggi mereduksi hak-hak kelompok di bawahnya. “Ketika kolerasi yang terjadi seperti itu, maka hal yang harus dilakukan adalah menilai sejauh mana legitimasi dan justifikasi dari pembatasan tersebut dilakukan,” tutur Muktiono. Selanjutnya, ia menerangkan bahwa dalam menilai sebuah kekuatan, alasan yang dikemukakan seseorang terkait seberapa besar kekuatannya harus bisa dinilai berdasarkan hukum yang legitimate. Kasus penyalahgunaan pemberian wewenang yang menimbulkan pembatasan hak seseorang disebut sebagai abuse of power. “Abuse of power adalah ketika seseorang yang berwenang menggunakan kekuasaannya di luar tujuan dari pemberian kekuasaan itu sendiri. Hal tersebut sangat mudah untuk diklarifikasi selanjutnya,” kata Muktiono.
Kewenangan apapun yang ada di dalam kampus sejatinya mencakup sivitas akademika. Jika mengembalikan makna dari eksistensi kampus, maka jangan sampai terjadi pembalikan posisi yang justru membuat kampus menjadi lembaga yang represif. Represifitas bertentangan dengan ‘roh’ sivitas akademika yang berkarakter science. Muktiono mengatakan, “Roh dari sivitas akademik merupakan object to be criticize, object to be evaluated, dan object to be change. Dan orang-orang di ruang lingkup kampus itu ya orang yang open minded dan siap untuk menerima kebenaran meskipun kebenaran itu berbeda dengan pendapatnya. Karena ilmu itu bersifat objektif sehingga bisa membuka lebar ruang dialektika.”
“Perlu ditekankan bahwa kita bukan lembaga birokrasi, kita di sini sebagai lembaga akademik yang melakukan riset, pengabdian, dan penelitian,” lanjut Muktiono tegas. Ia menambahkan bahwa ketiga fungsi akademik merupakan kaki universitas. Perlu adanya ruang kebebasan yang diberikan untuk melaksanakan riset, pengabdian, dan penelitian dengan harapan munculnya penyelesaian atas persoalan yang terjadi di dalam masyarakat. Dan ketika ruang diskusi publik dimatikan, maka tidak mungkin dapat mendeteksi dan mengidentifikasi permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Ilustrator: M. Khoirul Anwar