Reporter: Danar Yudhitya dan Dea Kusuma R.
Malang, dianns.org – Pembangunan pabrik PT Semen Indonesia di sepanjang pegunungan Karst, Kendeng, Jawa Tengah, dan perjuangan buruh PT Freeport di Timika, Papua, merupakan gambaran mengenai permasalahan pembangunan nasional yang cukup pelik dan berkepanjangan. Kedua pemasalahan tersebut menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan politik bangsa. “Kedua masalah tersebut merupakan tanggung jawab kita bersama, khususnya generasi muda,” ujar Agus Suman, salah satu dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) saat ditemui DIANNS pada Kamis (23/04). Agus juga menambahkan bahwa ujung dari pembangunan nasional adalah pemberian manfaat pada manusia banyak bukan kepentingan pribadi maupun golongan semata.
Senada dengan Agus, Dhanny S. Sutopo selaku dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya (FISIP UB) juga mengatakan bahwa generasi muda harus peka terhadap masalah-masalah sosial yang terjadi di Indonesia. Dhanny lebih menekankan pada peran mahasiswa karena mahasiswa merupakan akademisi penerus bangsa yang sejatinya tidak terpisah dengan rakyat.
Kedua masalah tersebut mengangkat isu yang sama yaitu rakyat yang menjadi korban atas dalih pembangunan nasional. Pada kasus pembangunan pabrik PT Semen Indonesia (persero) Tbk, pembangunan akan dilakukan di kawasan pertanian masyarakat Samin. Pembangunan pabrik tersebut akan menggerus 1.350 hektare (ha) lahan dari total keseluruhan lahan yang dizinkan adalah 850 ha. Pada tahun 2015, luas tapak pabrik telah mencapai 57 ha. Status lahan yang akan dipakai adalah hak milik masyarakat, tanah milik desa (kas negara), dan lahan perhutani yang dikelola masyarakat.
Dhanny menjelaskan bahwa masyarakat Samin akan kehilangan ‘home’ jika pembangunan tetap dilakukan. Home bukan hanya dalam artian sebuah bangunan rumah, namun lebih ke tanah kelahiran dan tempat tinggal. “Nilai kultur sebagai seorang petani yang dianut oleh masyarakat Samin juga akan hilang jika mereka kehilangan tanah dan pekerjaan. Pekerjaan bisa digantikan namun nilainya tidak. Masalah lain yang akan muncul adalah disartikulasi sosial,” tambah Dhanny. Hal ini berkaitan dengan ajaran masyarakat Samin yaitu tidak berdagang dan menolak kapitalisme.
Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yang mempersulit posisi masyarakat Samin. Pada Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2641 K/40/MEM/2014 tanggal 16 Mei 2014 tentang penetapan lahan bentang alam Karst Sukolilo menyebutkan bahwa luas lahan pembangunan pabrik menjadi 71.80 km2. Padahal, pada Keputusan Menteri ESDM Nomor 0398/K/40/MEM/2005 tanggal 25 Februari 2005 luas kawasan Karst Sukolilo adalah 118,02 km2 sehingga luas lahan untuk pembangunan pabrik hanya 46,22 km2. Begitu pula dengan keputusan majelis hakim Pengadilan Tinggi Umum Negeri (PTUN) Semarang pada Kamis (16/04/2015) yang menolak gugatan rakyat. Putusan penolakan tersebut berdasarkan pada asas keterbukaan informasi bahwa rakyat sebagai penggugat sudah mendapatkan sosialisasi ihwal pemberian izin lingkungan oleh Gubernur Jawa Tengah. Sebenarnya, substansi gugatan rakyat bukan mengenai perkara administratif, melainkan kerusakan lingkungan dari dampak pertambangan. “Seharusnya pemerintah lebih menggunakan pendekatan persuasif kepada rakyat. Memang tidak bisa hanya sekali namun juga tidak bisa dipaksakan,†tanggap Agus.
Sedangkan kasus PT Freeport Indonesia dan buruh di Timika, Papua, juga berkaitan dengan kepentingan rakyat. Pada tanggal 15 September 2011, 8.000 (delapan ribu) dari 22.000 (dua puluh dua ribu) pekerja PT Freeport Indonesia melakukan aksi mogok kerja karena penghasilan yang mereka peroleh tidak sebanding dengan pekerjaan yang telah mereka selesaikan. Mereka menuntut kenaikan upah dari US $3,5 per jam menjadi US $7,5 per jam. Aksi ini paling banyak melibatkan karyawan yang bekerja sejak tahun 1967, sejak Freeport mulai beroperasi di Indonesia. Selama dua tahun, yaitu sekitar bulan Juli 2009 s.d November 2011, setidaknya ada 11 (sebelas) karyawan Freeport dan sub-kontraktor ditembak secara misterius oleh para penembak gelap. Bahkan PT Freeport Indonesia telah mengeluarkan dana sebesar tujuh ratus sebelas milyar rupiah untuk ‘uang keamanan’.
Perjuangan buruh PT Freeport Indonesia tersebut pernah diangkat dalam film dokumenter Alkinemokiye karya Dandhy Dwi Laksono. Dalam film dokumenter tersebut menyajikan realitas sosial berupa pengeksploitasian besar-besaran oleh investor asing di tanah Papua, sedangkan masyarakat Papua sendiri tidak mendapatkan manfaat yang terlalu signifikan. Justru sebaliknya, ketidakadilan, intimidasi, kesengsaraan, hingga kematian yang mereka terima. Bahkan dalam film tersebut juga menyuguhkan data pendapatan emas yang diperoleh PT Freeport Indonesia. Emas yang diperoleh PT Freeport Indonesia paling tinggi di antara beberapa cabang di negara lainnya, namun untuk pemberian upah buruhnya paling rendah dibanding negara lain. “Jangan bilang sumbangan Freeport untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) itu besar jika kenyataannya yang dia ambil dari tanah Papua jauh lebih besar,” tegas Agus.
Agus dan Dhanny senada mengatakan bahwa realitas sosial seperti itulah yang seharusnya diketahui oleh generasi muda ataupun mahasiswa. “Kita jangan hanya larut pada keadaan. Kita seharusnya prihatin pada generasi muda yang setiap hari hanya sibuk update status ataupun nongkrong,” tutur Agus.
Ilustrator: Khoirul Anwar