Penulis : Aliefiana Fernanda V
Karena itu saya harus memasuki bidang emansipasi perempuan dengan hati-hati sekali . Jika kami di sini meminta pendidikan dan pengajaran bagi para gadis, ya, bahkan meminta-minta dan memohon, maka hal itu bukan karena kami ingin menjadikan mereka saingan kaum lelaki dalam perjuangan hidup, melainkan ingin menjadikan kaum perempuan lebih siap menghadapi tugas besar yang dianugerahkan Ibu Pertiwi kepadanya, yaitu menjadikannya seorang ibu“pendidik pertama umat manusia!“ Kartini, dalam surat tertanggal Oktober 1902.
Tahun ini saya berusia 20 tahun. Usia yang sama ketika Kartini muda berjuang mendobrak kebiasaan dan kepercayaan masyarakat Jawa pada masanya. Kepercayaan yang membatasi hak kaum hawa, terutama dalam hal kesempatan memperoleh pendidikan. Kartini yang seorang puteri bangsawan bahkan mendapat julukan kuda liar kala itu. Kelincahan dan semangatnya dipandang sebagai sebuah bentuk pembangkangan. Ia bahkan dijauhkan dari adik-adiknya karena dianggap sebagai contoh yang buruk bagi mereka. Akan tetapi, seberapa radikal pun pemikiran Kartini pada masa itu, ia tetaplah putri kesayangan ayahnya. Jujur saja, di usia yang sama, Kartini dan saya (ah, atau mungkin kebanyakan dari kita) adalah dua hal yang tak pantas dibandingkan.
Usia Kartini bisa dibilang singkat, hanya 25 tahun. Namun, hidupnya yang hanya 25 tahun tersebut mampu mengubah hidup jutaan wanita lainnya di Indonesia selama puluhan tahun berikutnya. Kita“para perempuan modern sudah sepatutnya bersyukur terlahir di era ini. Era di mana kesempatan mengenyam pendidikan bagi perempuan terbuka lebar. Di sini, Kartini-lah sang pembuka kesempatan tersebut.
Dengan segala kemudahan mengenyam pendidikan kini, sudah tercapaikah cita-cita Kartini sesungguhnya? Apakah cita-cita Kartini hanya sebatas membuat perempuan lebih terdidik? Jika kita amati kembali penggalan surat Kartini di atas, jelaslah bahwa ia ingin perempuan lebih terdidik agar nantinya mereka mampu menjadi guru bagi anak-anaknya. Kartini tahu betul bahwa ibu adalah soko guru-nya manusia. Ibu adalah pendidik pertama, tempat manusia belajar hal-hal sederhana sampai hal-hal paling kompleks darinya. Kartini paham bahwa sudah kodrat perempuan untuk melahirkan dan menjadi ibu. Ia tidak pernah menentang kenyataan tersebut layaknya feminis-feminis (sok) radikal yang berkoar-koar menuntut kesetaraan gender tanpa mengerti apa makna setara itu sendiri.
Pernah dalam sebuah surat yang ia tujukan pada Pemerintah Daerah Jajahan, Kartini menulis, Pendidikan itu perlu. Lebih-lebih untuk perempuan dewasa dan gadis-gadis pendidikan itu harus diadakan. Sebagai ibu ia merupakan pendidik pertama umat manusia. Bagaimana mungkin ibu-ibu Jawa mendidik anaknya jika mereka sendiri tak terdidik? Jika kita tarik benang merah dari gagasan-gagasan Kartini, maka sesungguhnya ia tak sekedar bercita-cita memajukan pendidikan bagi perempuan. Cita-citanya jauh lebih besar daripada itu. Ia ingin menciptakan manusia-manusia terdidik lewat ibu yang terdidik pula.
Wanita dan Karakter Luhur
Di saat seorang perempuan menjadi seorang ibu, pada saat yang sama ia juga menjadi seorang guru. Ibulah yang mengajari seorang anak bagaimana merasa, berpikir, dan berbicara untuk pertama kalinya. Peran ibu sebagai seorang guru sebenarnya tak sebatas pada memberikan pendidikan formal semata, lebih dari itu ibu adalah guru yang bertugas membentuk moral anak dan menanamkan nilai-nilai budi pekerti luhur.
Terlepas dari latar belakang Kartini sebagai seorang anak wedhono, di masa lampau perempuan-perempuan Jawa memang mendapatkan pendidikan budi pekerti dari keluarganya sekalipun ia bukan anak bangsawan. Hal semacam itu wajar adanya mengingat kultur masyarakat Jawa pada saat itu. Anak-anak gadis dipersiapkan untuk menjadi perempuan yang pandai mengurus rumah, melayani suami, dan mengasuh anak. Merupakan hal yang memalukan bagi keluarga Jawa saat itu jika memiliki anak gadis berusia 20 tahun yang tak kunjung dipinang orang.
Dari situ Kartini tahu bahwa pendidikan budi pekerti saja tidaklah cukup, meskipun hal tersebut tetaplah penting. Wanita perlu mendapat pendidikan lebih, bukan semata untuk mengangkat martabatnya, melainkan untuk membantunya melaksanakan peran sebagai ibu.
Sekarang, di masa saya mengetik tulisan ini, saya yakin betul bahwa cita-cita Kartini untuk menjadikan kaum perempuan lebih terdidik sudah hampir terwujud sepenuhnya. Itu jika kita melihat dari tolok ukur seberapa banyak perempuan yang punya kesempatan bersekolah di negeri ini. Lalu, sampai di situ sajakah?
Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, Kartini ingin perempuan lebih terdidik karena ia sadar peran kaum hawa sebagai ibu. Dahulu pada zamannya, perempuan-perempuan yang ada memiliki budi pekerti yang luhur namun tidak cukup pandai. Sekarang? Perempuan pandai ada di mana-mana, namun belum tentu semuanya memiliki budi pekerti luhur.
Melihat ironi ini, kembali saya bertanya-tanya, inikah yang dicita-citakan Kartini sesungguhnya? Kartini memang ingin perempuan lebih terdidik, tetapi perempuan terdidik yang tak memiliki budi pekerti tidak akan mampu menjadi soko guru bagi anak-anaknya. Padahal alasan Kartini ingin perempuan menjadi lebih pandai adalah supaya mereka mampu menjadi ibu yang lebih baik bagi anaknya.
Peran lembaga pendidikan harusnya tak sekedar menjadikan siswa-siswinya pandai dalam ilmu-ilmu tertentu saja. Pada masa ini, pendidikan karakter harus menjadi agenda utama institusi pendidikan. Mengingat kenyataan yang kini terbalik, sekedar membuat kaum wanita bisa bersekolah dan menjadi ahli di bidang ilmu tertentu rasanya tidak cukup. Perempuan pada masa ini juga membutuhkan polesan-polesan terhadap budi pekertinya, terhadap karakternya. Di samping keluarga, lembaga pendidikan adalah pihak yang tepat untuk diberi amanah ini. Peran keluarga dalam menciptakan pendidikan karakter berlandaskan budi pekerti memang yang utama, namun kita tidak bisa menutup mata tentang kemungkinan bahwa tidak semua keluarga memiliki kondisi yang kondusif dan hubungan emosional yang terjalin harmonis. Dari situ, pada lembaga pendidikanlah kita bisa berharap.
Karena, kita jelas tidak ingin seorang anak gadis yang tidak sempat mendapat pendidikan karakter dari keluarganya karena lahir dari keluarga carut-marut, nantinya membentuk keluarga yang sama pula di saat ia dewasa. Seorang anak perempuan bisa saja mempunyai ibu yang tidak mampu memberinya pengajaran budi pekerti, tetapi tentunya kita berharap ia tidak akan menjadi sosok ibu yang serupa bagi anaknya kelak. Ia harus bisa menjadi sosok ibu yang lebih baik. Sebab, apa yang dicita-citakan Kartini bukan sekedar mencerdaskan kaum wanita. Lebih dari itu, ia ingin mencerdaskan umat manusia.