Reporter : Mechelin D. Sky dan Hendra Kristopel
Rencana pembacaan keputusan akhir International Peoples’ Tribunal for Indonesian 1965 Crimes against Humanity (IPT 65) pada Jumat, 11 Maret 2016 batal dilaksanakan. Haris El Mahdi selaku koordinator IPT 65 mengatakan, pembatalan ini disinyalir adanya kekurangan dana penyelenggaraan sidang. Akibatnya, pembacaan keputusan akhir yang diagendakan akan terselenggara di Jenewa, Swiss ini ditunda hingga September 2016 mendatang.
Alasan penundaan pembacaan keputusan akhir sidang IPT 65 tersebut diungkapkan Haris kepada DIANNS pada Selasa, 5 Maret 2016 lalu. “IPT ini merupakan sidang rakyat, yang menginisiasi juga harus rakyat, termasuk dana. Sampai bulan Februari, satu bulan sebelum jadwal pembacaan keputusan yang pertama, yaitu bulan Maret, kita masih kesulitan dalam mencari dana,” ujar Haris saat. Mengacu pada hasil rapat core team IPT 65 di Belanda pada 5 Maret 2016 lalu, pembacaan final judgement di Jenewa diagendakan akan dilaksanakan antara tanggal 13-30 September 2016 yang akan datang. Namun, tanggal pasti finaljudgement masih akan dikonsultasikan dengan panel hakim.
Haris menambahkan, rentang waktu yang dipilih tersebut dinilai tepat karena berdekatan dengan peringatan peristiwa 30 September. “Dalam bulan itu juga ada peringatan 30 September dan sidang komisiHuman Right PBB, jadi akan pas waktunya,” ujarnya.Final judgement tersebut rencananya tidak akan diselenggarakan dengan format pengadilan, karena hakim beranggapan hal tersebut akan menimbulkan antiklimaks. Tim media IPT 65 pun merencanakan untuk membuat film pendek yang merupakan ringkasan proses IPT 65.
Senada dengan Haris, Rian Adhivira selaku aktivis HAM tidak menganggap penundaan pembacaan keputusan akhir tersebut sebagai suatu masalah yang berarti. Menurutnya, hal tersebut justru menunjukkan keseriusan hakim dalam mengadili perkara mengingat keberadaan IPT 65 selama ini cenderung dimaknai negatif oleh pihak-pihak tertentu. “Selama ini tuduhan terhadap IPT 65 selalu buruk dengan memberinya stigma sebagai “pengadilan mainan”. Padahal dalam menjatuhkan vonis, para hakim itu betul-betul memikirkan masak-masak putusan mereka. jadi, penundaan itu bukan masalah, yang penting apa isi putusan nantinya,” ungkap Rian.
Sebelumnya, pada tanggal 10-13 November 2015 lalu, IPT 65 telah menyelenggarakan sidang untuk mengkaji bukti tentang kejahatan-kejahatan kemanusiaan dan genosida pada saat sebelum, selama, dan sesudah tahun 1965. Sidang yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda ini juga mengungkap kesaksian secara terperinci dari para korban selamat dan keluarga mereka. Dari hasil sidang tersebut, diperoleh suatu kesimpulan sementara dari para hakim yang terlibat. Mereka menyimpulkan bahwa telah terjadi kejahatan serius dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) di Indonesia pada periode 1965 terhadap mereka yang dituduh komunis dan soekarnois. Sidang IPT 65 ini akan berdampak pada satu standar kebenaran yang sejak lama dibungkam dan bertendensi akan melahirkan solidaritas dan gerakan bersama dalam skala internasional.
Namun, sikap pemerintah Indonesia sampai saat ini dinilai masih negatif dalam menanggapi masalah tersebut. Haris menyatakan bahwa pernyataan dari pemerintah Indonesia seperti dari Jusuf Kalla dan Luhut Panjaitan seolah-olah menganggap IPT 65 ini tidak penting. Jaksa Agung pun menyatakan tidak akan ada permintaan maaf dari pemerintah Indonesia. “Sidang tahun lalu itu tanpa terdakwa, yaitu pihak pemerintah Indonesia. Pemerintah paling tidak diwakili Menteri Hukum dan HAM atau Menteri Luar Negeri, namun tidak ada yang datang,” ungkap Haris.
Terkait keputusan akhir IPT 65, pihak penyelenggara menginginkan adanya pelurusan sejarah melalui permintaan maaf dari negara kepada korban kekerasan 65, yang dilanjutkan dengan rekonsiliasi dan rehabilitasi. “Rekonsiliasi pun tidak dapat berjalan sempurna tanpa ada pelurusan sejarah. Perlu ada pelurusan sejarah”, ujar Haris. Haris menambahkan, pihak penyelenggara IPT 65 beserta aktivis dan para pegiat kasus pembantaian 1965 merencanakan akan melakukan gerakan pasca pembacaan keputusan akhir IPT 65 mendatang. Gerakan tersebut dimulai dengan tuntutan kepada negara untuk meminta maaf, lalu akan ada pembuatan film terkait IPT 65. Selain itu, akan dubangun monumen-monumen kecil di tempat-tempat pembantaian untuk mengingat peristiwa bersejarah tersebut. Lebih lanjut lagi akan ada gerakan untuk saling memaafkan dari kedua belah pihak.
Sementara itu, Rian dan kawan-kawan aktivisnya akan melakukan gerakan-gerakan sederhana yang berkaitan dengan 1965. “Di Semarang, kami mengadakan diskusi di FIB UNDIP yang isinya membedah buku yang ditulis oleh pecinta 1965. Juga ada galeri HAM dan lain sebagainya. Acara itu diinisiasi oleh kawan-kawan FIB UNDIP, yang kemudian mengajak kawan-kawan lain baik dari intra maupun ekstra untuk gabung. Kerja sederhana sejauh inilah yang baru bisa kami lakukan,” terang Rian.
Rian berharap agar putusan IPT 65 ini menjadi pelecut bagi negara agar kejaksaan, DPR, dan presiden tanggap terhadap permasalahan ini. Menurutnya, kepastian arah permasalahan ini harus segera ditentukan. Meskipun demikian, Rian mengaku merasa pesimis dengan penyelesain kasus ini lantaran lemahnya penegakan hukum di Indonesia. “Tapi, sejujurnya saya pesimis karena struktur hukum kita yang lemah. Harapannya sekarang justru ada di gerakan dari bawah. Sementara hukum masih kacau balau, para pelaku, saksi, dan korban telah banyak yang meninggal. Tak terhitung berapa keluarga yang sejarah keluarganya hilang karena tidak ada kejelasan macam ini. Kebencian juga mudah diucapkan, begitupula kekerasan,” ungkap Rian.