Oleh: Antonius Bagas dan M. Yusuf Isma’il

Malang, dianns.org – Program reforma agraria kembali digulirkan di era Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Minggu, 26 Maret 2017 Jokowi bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menggelar rapat. Kebijakan reforma agraria ini dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial. Melalui pembagian lahan dan legalisasi aset, program reforma agraria menurut Jokowi akan mendorong lahirnya ekonomi baru yang berkeadilan. Selain itu juga sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang ada di masyarakat, sebagaimana yang dilansir dari ksp.go.id. Padahal, reforma agraria bukan hanya tentang pembagian lahan dan sertifikat.

Putut Prabowo yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) menyampaikan kepada LPM DIANNS saat berada di Sekretariat Bersama Fakultas Ilmu Administrasi pada Kamis, 27 April 2017. “Di tengah situasi kaum tani yang membutuhkan kepastian atas hak tanah mereka, program reforma agraria ini dinilai menjadi angin segar. Tetapi harus diperhatikan bahwa reforma agraria bukan hanya sekedar membagi-bagikan tanah dan sertifikat,” cetusnya. Beliau melihat bahwa reforma agraria sejati harus dapat membebaskan seluruh permasalahan petani. Termasuk buruh tani yang hanya memiliki tanah kurang dari 0,3 hektar dan tidak memiliki kemampuan mengelola tanahnya, akibat tingginya biaya poduksi pertanian karena dimonopoli oleh industri. Serta petani yang terpaksa menjual tenaganya untuk bekerja dalam sistem pertanian dengan upah yang sangat rendah.

Putut juga menambahkan bahwa reforma agraria harus dapat menyelesaikan permasalahan sarana produksi, selain status kepemilikan tanah. Misalnya terkait bibit yang masih dimonopoli oleh sektor industri, sehingga memberatkan petani dalam proses produksinya. Pemerintah harus dapat menjamin upah dan perbaikan penghidupan kaum tani. Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa konsep reforma agraria pemerintah tidak sesuai dengan konsep reforma agraria sejati. Konsep reforma agraria yang sejati menurut beliau seharusnya dapat menghapuskan atau menghilangkan monopoli tanah. “Percuma hanya membagikan sertifikat tanah ketika masih ada segelintir orang yang memonopoli tanah yang sangat luas,” ujarnya.

Jika dilihat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, skema reforma agraria dibagi menjadi dua, yakni legalisasi aset dan redistribusi lahan yang masing-masing sebesar 4,5 juta hektar. Legalisasi aset 4,5 juta hektar juga dibagi menjadi dua, yang pertama legalisasi aset sebesar 3,9 juta hektar tanah yang belum jelas legalisasinya dan 0,6 juta hektar tanah bagi aset tanah transmigrasi yang belum bersertifikat. Sedangkan untuk redistribusi aset, pelaksanaannya juga dibagi menjadi dua. Pertama adalah redistribusi tanah dengan sasaran eks Hak Guna Usaha atau tanah terlantar seluas 0,4 juta hektar dan pelepasan kawasan hutan seluas 4,1 juta hektar.

Dari total luas lahan yang demikian, Putut mengungkapkan bahwa tanah yang dijadikan TORA bukan tanah-tanah yang saat ini dimonopoli oleh swasta maupun yang dikuasai negara. Tanah yang sudah diambil alih tersebut tidak tersentuh oleh TORA. Menurut sosok yang biasa dipanggil Bung Putut itu, reforma agraria milik Jokowi-JK tidak mengubah status kepemilikan tanah. “Tuan tanah tetap menjadi tuan tanah karena mengajukan sertifikasi kepada pemerintah, dan mereka yang tidak memiliki tanah tetap tidak memiliki tanah.” Hal yang sama disampaikan oleh Achmad Sodiki, pakar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Beliau berkata bahwa sebagian besar tanah di Indonesia masih dikuasai oleh segelintir orang, selain juga oleh sektor industri besar. Menurutnya, negara memudahkan korporasi besar dengan mengeluarkan regulasi-regulasinya yang hanya akan memperburuk nasib kaum tani di Indonesia. “Banyak peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang justru mendukung perusahaan-perusahan besar, sehingga memperburuk kondisi kaum tani,” tutur mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.

Pelaksanaan reforma agraria dari tahun ke tahun juga terus mengalami kegagalan. Penyebabnya adalah tidak adanya kepanitiaan yang jelas dalam pelaksanaan pendistribusian aset dan legalisasi tanah, serta tidak adanya tindakan lanjutan setelah pendistribusian aset. Sodiki menyampaikan salah satu penyebab kegagalan reforma agraria adalah tidak adanya implementasi secara menyeluruh ke daerah-daerah. Hal tersebut disebabkan pembentukan kepanitiaan landreform yang tidak jelas. “Harus jelas tanah mana yang harus dibagi, dan siapa saja yang berhak mendapatkan tanah tersebut, termasuk mengawasi bagaimana pelaksanaan reforma agraria. Ini adalah tugas dari kepanitiaan landreform,” tuturnya. Putut juga mengkritik kepanitiaan landreform yang tidak terbentuk dengan benar. Menurutnya, panitia landreform seharusnya bersifat independen, bukan berada di bawah pemerintahan, yang sekarang dimandatkan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). “Padahal BPN sendiri dalam situasi tidak mempunyai data yang konkret,” ungkap beliau.

Bagi Putut, reforma agraria Jokowi-JK hanya merupakan upaya peredaman masalah, sehingga tidak dilaksanakan sesuai cita-cita reforma agraria sejati yaitu penghapusan monopoli tanah. Reforma agraria Jokowi-JK hanya memberikan impian yang konvensional bagi kaum tani. Jangankan pemerintah bisa membantu kesejahteraan, tidak diusir dari tanah yang sedang digarap dan tidak dianggap perambah saja, sudah cukup bagi mereka. Sangat ironis, di tengah pembagian aset dan sertifikasi yang dilakukan oleh pemerintah, ada perampasan tanah yang juga dilakukan oleh pemerintah demi kepentingan segelintir pihak. “Di satu sisi ada yang dapat tanah baru, tapi perampasan tanah masih saja terjadi,” tandas Bung Putut.