“Government of the people, by the people, and for the people”
Atau ketika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi pemerintahan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Mungkin itu adalah satu dari sekian banyak definisi dari demokrasi. Ungkapan yang dikenal oleh masyarakat luas tersebut merupakan pendapat dari Presiden Amerika Serikat ke-16—Abraham Lincoln dalam “Gettysburg Address” pada tahun 1863.
“Demokrasi adalah proses di mana orang-orang memilih seseorang yang kelak akan mereka salahkan”
Pendapat lain tentang demokrasi di atas lahir dari Bertrand Russell—filsuf, ahli matematika, dan kemudian menjadi satu di antara lebih dari ratusan definisi demokrasi yang ada saat ini. Sebagian orang berhak untuk tidak sepakat dengan pengertian tersebut, tapi rasa-rasanya masuk akal juga.
Apabila kita cermati dari dua pengertian di atas saja, maka demokrasi memiliki kaitan yang erat dengan rakyat dan proses politik. Maka hemat saya, rakyat yang baik—bijak, terdidik, berpengetahuan, matang, dan hal-hal baik lainnya akan menjadi instrumen proses politik yang ideal dan pada akhirnya akan menghasilkan pemimpin yang ideal pula. Begitupun sebaliknya.
Maka pertanyaan setelahnya, apakah kita sudah menjadi rakyat yang ideal dan menjadi bagian dari instrumen proses politik yang baik? Lalu sudahkah kita pantas untuk berharap mendapatkan pemimpin yang semestinya didapatkan? Tentu jawabannya akan beragam. Tak akan ada yang sama antara satu mulut dengan mulut lainnya. Tapi secara umum, saya akan katakan belum.
Belum karena tingkat literasi kita masih peringkat 70 dari 80 negara dengan skor 359 berdasarkan Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 atau 0,001% menurut persentase yang dipublikasikan oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dan termasuk dalam kategori rendah bahkan mungkin sangat rendah. Belum karena hanya 4 dari 10 orang yang membicarakan politik dan pemerintahan atau hanya 40% masyarakat yang memiliki kesadaran politik berdasarkan survei oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Belum karena masyarakat yang terlibat politik uang mencapai 33% atau 62 juta orang dari total 187 juta pemilih dalam pemilu berdasarkan riset yang berjudul “Votes for Sale: Klientelisme, Defisit Demokrasi, dan Institusi”, yang artinya kita belum menjadi masyarakat yang ideal karena politik uang (money politic) masih lumrah dilakukan, dan belum karena alasan-alasan lainnya.
Lalu, apakah masih bisa berubah? Bisa, dan seharusnya berubah untuk berbenah. Apakah pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana caranya? Jika itu pertanyaan yang muncul di benak saudara, maka jawabannya adalah baca kembali alasan-alasan kenapa kita belum menjadi rakyat yang ideal.
Tapi, apakah kita tidak boleh berharap mendapatkan pemimpin yang ideal? Bukankah kita sudah menunaikan kewajiban kita untuk memilih pemimpin yang terbaik? Bukankah kita sudah membayar pajak yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan mereka? Bukankah kita juga sudah merelakan sedikit ruang ketika sirine mereka terdengar nyaring membelah jalanan? Dengan apa yang telah kita berikan sebagai rakyat, apakah kita tidak boleh berharap mereka adalah sosok pemimpin yang ideal?
Tentu saja boleh, dan sah-sah saja berharap demikian. Tapi saya akan berpendapat bahwa pengharapan tersebut berlebihan. Mari kita tarik simpulnya dari salah satu pertanyaan di atas. Kita sebagai rakyat memang memilih mereka sebagai pemimpin yang kita kehendaki di Pemilihan Umum (Pemilu). Tapi, mereka juga memilih sebagaimana yang kita lakukan. Jadi, tak ada perbedaan antara kita dan mereka soal hal tersebut. Lantas, bagaimana cara kita menjamin bahwa mereka adalah pilihan yang terbaik jika mereka juga berasal dari rakyat yang dalam tanda kutip tidak atau belum baik? Maka berarti, standar terbaik di sini akan sangat rendah bukan?
Berbicara mengenai demokrasi maka akan sangat luas spektrumnya. Dan berbicara mengenai demokrasi akan banyak sekali perbedaan dan perdebatan yang menyertainya. Tapi hemat saya, demokrasi tidak akan jauh-jauh dari rakyat dan proses politik yang bertujuan untuk memilih pemimpin politik dan pada akhirnya diharapkan mampu mewujudkan iklim yang ideal dalam bernegara dan bermasyarakat. Maka untuk mencapai hal tersebut, rasa-rasanya tak pantas apabila kita sebagai rakyat hanya menuntut perbaikan tanpa melakukan pembenahan dari pribadi masing-masing. Sederhananya, rakyat yang baik dan ideal akan menjadi instrumen demokrasi yang baik serta mendapat pemimpin yang ideal pula. Karena pada akhirnya, pemimpin saat ini atau yang akan datang sejatinya adalah rakyat di masa lalu.
Penulis: Alfian Rizki
Editor: Fitri Sabtika