Penulis: Dea Kusuma Riyadi
Ilustrasi Oleh Ria Fitriani
Semilir angin Bulan Januari membelai lembut wajahku yang nampak menua. Dinginnya menyejukan kumisku yang mungkin lebih mirip Pak Raden, salah satu teman Si Unyil di tontonan favoritku semasa kecil dulu. Ada aroma tanah basah di setiap hembusannya. Daun-daun nampak tersenyum manis dengan warnanya yang hijau, langit pun terasa damai dihiasi mendung-mendung putih yang nampak berbaris. Sebuah rasa syukur yang luar biasa membuncah di dadaku. Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku melihat alam seindah ini. Duniaku hanya sebatas ruang pengap bertembok kusam dengan barisan besi di bagian depan, ya setidaknya begitulah untuk beberapa tahun belakangan ini.
Seorang wanita yang semakin rapuh dimakan usia nampak sedang memberi makan ayam-ayam yang ia pelihara di samping rumah, beberapa meter di depanku. Langkahnya nampak lebih lambat daripada ketika aku melihatnya meninggalkanku sendirian bersama orang-orang galak di sana 7 tahun silam. Sebenarnya aku tak ingin kembali ke tempat ini lagi. Aku sangat membenci wanita itu, wanita yang sudah membiarkanku berada di masa sulitku sendirian. Niat itu sangat kuat tertanam di hatiku bahkan hingga tadi pagi pun niat itu masih berkobar. Namun, semua amarahku padam ketika seseorang yang mengantarku ke tempat ini tadi, lelaki setengah baya yang sering kupanggil Pak Jono, bercerita tentang wanita tua itu. Cerita yang selama ini hanya kuanggap sebagai mimpi. Mengapa hanya mimpi? Karena sebenarnya aku sangat mencintai jalan cerita itu. Namun, hatiku terlanjur diselimuti kebencian dan kesepian sehingga aku hanya menyimpan jalan cerita itu jauh di lubuk hati. Bahkan mungkin di bawah alam sadarku sehingga sering muncul dalam mimpiku.
“Ibu, Antok pulang. Maafkan Antok”, kupeluk wanita tua itu. Air mata tak mampu lagi kubendung. Sebuah rasa bersalah yang sangat hebat menyesakan dadaku. Kudengar sesekali sengguk wanita tua itu. Ibu menangis. Mungkin ia tak menyangka putranya akan menangis lagi di pelukannya.
Sejenak kurasakan tubuhku aneh. Tangis ini membuat kepalaku pusing. Perlahan pusing itu menjelma menjadi sakit yang luar biasa. Rasa bersalah di dadaku perlahan mereda dan secara bersamaan badanku terasa ringan. Sesekali aku masih mendengar tangis ibu namun lama-kelamaan menjadi samar. Kakiku tak lagi mampu aku rasakan bahkan langit yang tadi terlihat indah kini menjadi gelap. Kemudian aku terjebak dalam keheningan total.
Aku berada di ruang hampa. Putih dan kosong, hanya itu yang bisa kulihat. Aku mencoba memanggil ibu namun percuma. Tak ada jawaban apapun bahkan suaraku pun tak mampu kudengar. Aku mulai frustasi dengan keadaan ini. Ruang ini tak berujung. Aku merasa berada di tempat yang sama meskipun aku sudah mencoba berlari. Bingung. Tiba-tiba “prank!”, sebuah suara gelas pecah meredakan kebingunganku. Aku melihat seorang laki-laki berumur 20 tahunan baru saja membanting gelas di depanku.
“Sudahlah, diam saja! Aku sudah mencari kerja tapi kenapa masih ngomel?”, laki-laki itu nampak membentak seorang wanita di hadapannya.
“Merampas harta orang lain itu kamu sebut kerja? Itu haram, Nak”, nada suara wanita itu masih terdengar halus namun tegas.
“Cari yang haram aja susah apalagi yang halal!”
“Karena sesungguhnya rezeki halal memang lebih mudah didapat.”
Aku mengenal laki-laki biadab itu. Iya, itu adalah aku. Wanita tua yang aku bentak itu adalah ibuku. Kejadian itu terjadi sesaat sebelum polisi menjebloskanku ke bui dengan tuduhan pencurian dan perampokan. Anehnya, aku tak bisa menghampiri mereka. Ada sebuah tembok transparan di antara kami. Aku seperti sedang menonton film di bioskop. Sebuah film yang tokoh utamanya adalah diriku sendiri.
Selama di bui, ibuku tak pernah sekalipun menjengukku. Bahkan proses peradilan yang sangat panjang pun kulewati tanpa ibu. Jangankan mengirim makanan, nama ibu pun tak pernah ada di daftar orang yang menjengukku. Ada sebuah rasa kehilangan yang luar biasa di benakku. Aku tak terbiasa melakukan semua hal sendirian. Hanya ibu yang aku punya. Setiap hari ibu yang menyiapkan keperluanku mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Ibu selalu membelaku di hadapan tetangga meskipun sebenarnya aku yang bersalah. Ibu menutupi identitas putranya meskipun ia sering menangis melihatku menjadi pencuri. Namun, di saat aku terpuruk ibu justru meninggalkanku. Rasa kehilangan dan amarah itu bercampur menjadi kebencian. Walaupun jauh di lubuk hatiku, aku merindukan kasih sayang ibuku. Ya begitulah manusia, karena merasa terlalu dicintai sehingga lupa sang pecinta bisa pergi kapanpun ia mau.
“Pulanglah ke ibumu. Sebenarnya selama ini setiap hari ibumu menemuiku. Ia memintaku menjagamu, memastikan kamu tidak terserang penyakit. Makanan dan vitamin yang sering aku berikan padamu bukanlah dari istriku melainkan titipan ibumu. Ia hanya tak kuasa menahan sakit hatinya melihat putra yang telah 20 tahun dibesarkannya sendirian berada di bui. Bahkan ia selalu meminta foto terbarumu.” Memoriku mengulas kembali perkataan Pak Jono pagi tadi.
Tiba-tiba aku merasakan kakiku kembali. Pusing di kepalaku mulai menghilang. Bahkan rasa bersalah di dadaku perlahan kembali. Aku bisa merasakan semilir angin lagi di wajahku. Ada sebuah rasa hangat di pipiku, rasa hangat yang selalu aku rindukan. Perlahan kubuka kelopak mataku. Aku melihat ibuku tersenyum dengan mata yang penuh air mata. Aku bersyukur bisa kembali ke dunia lagi. Kupikir tadi aku sudah berada di teras neraka. Sebuah teras dengan penuh rasa hampa dan putus asa sebelum badanku dibakar.
“Nak, ibu hanya mengajarimu cara menghargai wanita yang selalu mencintaimu ini”, bisik ibu padaku.