Perbincangan mengenai kasus kekerasan seksual bukanlah hal yang baru namun juga bukan hal tabu untuk dibicarakan. Seringkali kasus seperti ini menjadikan korban sebagai sasaran pengucilan, terlebih jika kasus tersebut sudah mencuat ramai di lingkungannya. Banyaknya kabar simpang siur, gosip, hingga obrolan sekitar yang beredar seakan memberikan cap negatif yang tak pernah lepas darinya dan menguatkan stigma masyarakat akan korban pelecehan seksual. Bahkan belum sempat mereka memproses dan memahami betul kejadian yang mereka alami, tekanan sosial yang datang dari pertanyaan dan sikap yang orang lain tujukan sudah cukup untuk mempersempit ruang keadilannya.

Banyak dari korban kekerasan maupun pelecehan seksual di luar sana yang diam seakan tak berdaya. Namun orang sekitarnya bahkan tidak sadar bahwasannya mereka sendiri yang menyudutkannya. Budaya victim blaming oleh masyarakat membuatnya bungkam ketakutan untuk bercerita bahkan semakin mempersempit ruang aman bagi korban. Bukannya menerima pembelaan dari lingkungan sekitarnya namun korban malah dipersalahkan atas perbuatan ataupun kasus yang menimpa dirinya.

Adapun dalam konteks ini, perempuan lebih sering mengalami diskriminasi dan distereotipkan “menggoda” atau berusaha “menarik perhatian” laki-laki. Oleh karena itu, perempuan sebagai korban seringkali dipersalahkan atas pelecehan maupun kekerasan seksual yang terjadi padanya. Risiko buruk yang terjadi saat mereka tidak kuat akan tekanan jiwa yang dihadapi sehingga bisa mengantarkannya pada yang sering kita sebut dengan gangguan jiwa atau disabilitas psikososial.

Penyandang disabilitas psikososial ini menurut UU No.16 Tahun 2014 adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.

Tidak hanya sebagai “akibat” dari tekanan batin yang diterima, penyandang disabilitas psikososial ini juga bisa menjadi “korban” tindak pelecehan seksual itu sendiri. Banyak namun tak terlihat. Seperti gunung es yang terpantau rendah di permukaan air namun sangat besar di bawah permukaan. Kalimat tersebut seakan menunjukkan realita sosial atas pelecehan seksual yang terjadi kepada penyandang disabilitas psikososial diluar sana.

Sungguh tidak masuk diakal namun ada di kenyataan, fenomena pelecehan seksual terhadap ODGJ (Orang dalam Gangguan Jiwa) yang termasuk dalam kaum penyandang disabilitas mental dan intelektual atau psikososial bisa terjadi. Ketidakberdayaan penyandang disabilitas yang tidak mampu untuk berpikir rasional dan minim perlindungan ini seakan menjadi salah satu pemicu tindak pelecehan yang terjadi. Namun apakah hanya itu? Bagaimana dengan pelaku yang melakukan tindak pelecehan tersebut? Seakan nilai moral tidak berarti apa-apa baginya, ketidakberdayaan seseorang pun dijadikannya peluang untuk kepuasan pribadinya tanpa rasa takut akan konsekuensi hukum yang ada. Sebagai penyandang disabilitas, banyak pandangan negatif masyarakat diarahkan padanya bahkan seringkali mereka dijauhi atau bahkan tidak dipedulikan.

Lalu bagaimana mereka bisa mendapatkan keadilannya? Tindakan pelecehan yang jelas terjadi tentu diluar kesadaran akal mereka dan hal ini merupakan suatu tindakan pidana. Bahkan sudah ada payung hukum berupa Undang-Undang No.12 Tahun 2022 yang mengatur mengenai tindak pidana kekerasan seksual. Melihat realita kesulitan penerapan hukum terhadap kasus seperti ini memperlihatkan bahwa aturan tersebut kurang memberikan efek jera terhadap pelaku. Lalu dimana kebebasan bagi perempuan terlebih kepada penyandang disabilitas ini apabila terdapat banyak batasan dalam ruang lingkup kehidupan mereka sendiri.

Dengan kondisi latar belakang penyandang disabilitas psikososial ini tentu merupakan hal yang sulit untuk dapat melaporkan tindakan tersebut. Kesadaran moral dan aksi nyata masyarakat adalah penting dalam hal ini. Perlu adanya kepekaan sosial dan bantuan dari masyarakat sekitar maupun lembaga terkait untuk melapor ketika menyadari dan mengetahui adanya tindak pelecehan seksual di lingkungannya terlebih kepada penyandang disabilitas psikososial. Bukan malah dikarenakan kondisi tersebut, masyarakat sekitar mengabaikan fenomena yang terjadi hanya karena hal tentang penyandang disabilitas psikososial yang tidak memberikan pengaruh terhadap mereka.

Selain itu, penanganan kasus seperti ini memerlukan perhatian yang lebih. Perlu adanya tenaga ahli yang memiliki pemahaman serta dapat memberikan bantuan dan rehabilitasi bagi korban pelecehan seksual terkhusus bagi korban yang ODGJ. Hal ini dikarenakan sulitnya ODGJ dalam berpikir rasional dan melakukan suatu hal yang menjadikan faktor mengapa pelecehan seksual terhadap penyandang gangguan psikososial ini susah ditekan.

Jangan jadikan masalah ini sebagai omongan yang lalu lalang di awal dan terlupakan begitu saja seakan tidak terjadi apa apa. Justru karena itu masyarakat lebih dibutuhkan dalam memberikan support dengan melaporkan pelaku pada pihak terkait dan bantuan lainnya untuk korban. Kesadaran ini dibutuhkan menimbang korban yang memiliki gangguan mental yang bahkan tidak paham akan pelecehan yang terjadi padanya dan tidak mengerti apa yang harus dilakukan.

 

Penulis: Rosyida Dwi Kartika Sari

Editor: Tiara Maulidah