Secercah harapan muncul, matahari pagi merona tersenyum begitu anggunnya. Kapas putih melayang indah di langit. Membentuk deretan benda yang sebentar berubah mengikuti pola pemikiranku. Menyaksikan kuasa Tuhan di dataran permadani hijau ini menggambarkan kenyamanan penuh optimisme yang melahirkan sebuah kenyataan hidup begitu indah.

Udara masih sangat bersahabat begitu tertib masuk dan keluar dari paru-paru. Sungguh membuat nyaman segalanya. Saat akhir pekan inilah selalu kusempatkan untuk menyandarkan tubuhku sejenak. Istirahat dari lelahnya berpetualang mencari pengalaman baru setiap hari. Hanya di hari ini. Minggu yang indah, minggu yang sempurna, minggu yang sejuk, namun juga minggu yang kosong. Lekukan bibirku sekejap berubah menjadi perahu terbalik. Aku terhenyak saat pikiranku menyapa minggu yang kosong. Tarikan napas panjang bergelut dengan nuraniku. Kosong dan gelap.

Mataku menyapu alam sekitar, sejak dua tahun lalu tak ada yang berubah dari tempat ini. Hijau berbintik merah karena diantara rumput terdapat bunga mawar merah yang tumbuh dengan cantiknya. Mengisyaratkan sebuah lukisan Tuhan Yang Maha Agung. Hanya saja langit berbisik merdu kepadaku. Telinga ini seakan menangkap dengan jelas gaung yang diteriakkan oleh pengisi alam.

Kebersamaanku dengannya hanya sebentar. Katanya “hatiku disana bukan disini”. Air mata meleleh jatuh menuruni mulus melewati pipi. Dan kata-kata itulah yang saat ini dibisikkan lagi oleh langit. Akankah mereka menginginkan aku untuk jatuh pada sakit yang kurasakan dulu.

“Sudah cukup kau melampiaskan semua kekecewaanmu terhadapku”. Aku terdiam, suara berat laki-laki di samping seakan mengiris tajam pendengaranku. “Makanya jadi cewek jangan mudah terkena bujuk rayu orang lain”. Aku kembali terdiam. “Bukan cuman kamu saja yang malu, aku juga malu. Apa kata orang nantinya”. Suaranya semakin menggelegar di tengah kesepian alam sekitar. Yang bisa kulakukan hanya diam dan terus mengusap derasnya dua buah aliran sungai kecil yang mengalir di wajahku. “Bisakah kamu mengatakan sesuatu kepadaku saat ini”. “Aku menyesal”. Akhirnya hanya kata itulah yang sanggup keluar dari mulutku. Dia nampak berpikir serius. “Nampaknya memang jalan ini yang terbaik buat kita berdua”. “Maksudnya??”. Aku menatapnya penuh heran. “Hatiku disana bukan disini”. Tangannya menunjuk deretan rumah yang terlihat kecil dari bukit lalu menunjuk lingkungan di sekitar kami. Tepat di antara kedua kakinya. Aku paham. Sekeping hati ini hancur dan menangis pilu.

Sekelebat putaran memori hidupku itu kembali hadir denga rasa sakit yang sama. Namun kehidupanku sekarang terasa jauh lebih berarti dibanding dengan masa lalu. Sangkar emas bukan lagi mengurung diri dengan kepongahannya. Rajutan sutra tidak lagi terlihat terjahit pada selembar kain kepantasan. Kilatan petir tidak lagi menyambar setiap saat dalam diri meski awan mendung terkadang menyapa. Kucoba menutup mata perlahan. Kusingkap kerudung putih yang membelit kepala dengan menggeserkannya ke pundak. Ini jalan terbaik yang sudah selayaknya aku ambil dari dulu.

Meski sekarang sudah tidak ada lagi Kuncono yang selalu berbisik “Yanti, makan yang banyak ya” atau “Yanti, cobalah hari ini untuk berpuasa”. Aku terlalu berbuat salah dengannya. Berkencan dengan laki-laki lain di saat ikatan sudah terjalin, membuat Kuncono cemburu. Jalan pikiran mana yang membuatku melakukan hal sejahat itu. Kuncono terlalu baik. Dan benar saja dia sekarang telah menikah dengan wanita lain. “Hatiku juga masih disana Kuncono ya di hatimu. Bukan disini” pikiranku masih menerawang jauh. Andai dia ada di sampingku.

Penulis : Anita Aprilia