Aku tak pernah hina seperti yang selalu kautuduhkan padaku. Ingin rasanya kusumpal mulutmu dengan serbet lusuh berlumuran muntahku. Tidakkah kau sekali saja mengerti? Oh, bukan mengerti. Itu masih terlalu jauh. Tidakkah sekali saja terlintas dipikiranmu tentangperilaku busukmu padaku? Kau terang-terangan menjarah harga diriku. Kau perlakukan aku tak ada harganya demi mengenyangkan nafsumu yang liar dan serakah ketika kukatakan tak mau. Manusia ataukah binatang kau itu sejatinya? Bahkan mungkin binatang lebih mulia daripada kau. Iblis pun mungkin lebih mulia daripada kau! Ketika aku meraung-raung kesakitan kau malah mengisap dalam-dalam puntung rokok yang menyala sambil tertawa riang menyaksikanku kesakitan. Aku ini si pesakitan. Tidakkah pernah kau melihatku sebagai manusia yang juga sama sepertimu?
Mulanya berjam-jam. Aku menunggu sesuatu entah apapun itu menjemputku dan menjauhkanku dari tempat yang mulai kucurigai ini. Kemudian menjadi berhari-hari. Seorang berseragam mendekatiku yang gemetar di pojokan kamar. Perlahan dia menyentuh bibirku yang memucat. Kuhempaskan tangannya kemudian ia membalas lebih keras. Masih kucoba memberontak dan melindungi diriku yang kekuatannya tak sampai setengah dari kekuatan lelaki berseragam tadi. Ia malah balik menyerangku. Akupun tak berdaya dan menuruti kemauannya. Tolol. Sungguh tolol. Aku hanya mampu menggulirkan air mata.
Lelaki berseragam sama silih berganti mendatangiku. Dari berhari-hari menjadi berbulan-bulan. Aku sekarang mengerti. Manusia-manusia berseragam yang tak berperikemanusiaan itu telah memperkerjakanku sebagai Jugun Ianfu, wanita jalangnya. Bah, masih mending dipekerjakan, tapi aku telah diperdayakan alias diperbudak alias diperbinatangkan. Apakah di luar sana, tanah di mana darah dari rahim ibuku muncrat pertama kali ketika melahirkanku, juga semakin menderita seperti aku? Aku bersumpah, orang-orang berseragam yang telah mencampakkan diriku akan kutuntut sampai ke neraka jahanam sekalipun. Entah anakku atau cucuku atau buyutku yang akan membalasnya. Aku bersumpah demi semua perempuan di tanah ini yang bernasib sama sepertiku.
2012
Segera kututup dan kusembunyikan harian yang kubaca diam-diam di sudut rumah yang sepi ketika kudengar majikanku memanggil namaku. Aku lekas menghampirinya, tak mau pemukulan tempo hari terjadi lagi padaku.
“Ndon, apa kau tuli? Kau tak ingin bernasib sama seperti kawanmu seindon yang mbudak di tetangga sebelah, kan?” ancam majikanku.
“Tidak, Tuan.” Aku terbungkuk-bungkuk menjawabnya. Menatap mata sang majikan ketika sedang berbicara merupakan dosa besar. Mungkin seluruh tubuhku akan disetrika jika melakukannya lagi.
“Bagus, Ndon. Orang-orang bodoh di negerimu layak diperlakukan macam itu.”
“Jangan…”
Buk buk buk.
Pukulan keras berulang menghujani tubuhku ketika aku mencoba mengatakan sesuatu kepada majikanku. Aku segera beranjak dari hadapan majikanku dan berlari ke kamar. Kutumpahkan seluruh air mata bersama luruhnya harga diriku. Kuusap air mataku berulang kali dengan tanganku. Aku sudah tidak tahan dengan semua ini. Semua, semua tak terkecuali. Bertahun-tahun aku hidup merantau di negeri yang tak kukenal sama sekali. Bertahun-tahun pula aku tak dimanusiakan. Aku ingin memberontak. Aku ingin kabur. Aku ingin pulang. Aku rindu kampung halamanku. Tapi aku tak ingin bernasib sama seperti kawanku setanah air yang kabarnya baru saja kubaca dari koran yang kusembunyikan tadi. Ia dihukum mati karena terbukti membawa kabur berdolar-dolar uang majikannya. Jangan kaupikir hal semacam itu tidak terjadi. Tak diupah atau upah rendah adalah syarat tak terlihat ketika kau bekerja di negeri orang sepertiku, sebagai TKW, yang justru ‘mereka’ sebut sebagai pahlawan devisa. Tapi aku masih beruntung, toh walaupun setiap hari disiksa, dicaci, dimaki, majikanku masih menggajiku. Aku ingin sekali kabur kembali pulang dan memeluk anak-anakku yang telah sejak lama kurindukan. Tapi niat itu urung kulakukan karena tak ada yang mau menerimaku bekerja di negeriku walaupun aku masih tergolong muda. Aku hanya lulusan SMP! Tak tamat pula! Aku jelas tak mengerti apa itu istilah kapitalisme atau neoliberalisme yang kata kawanku yang lebih berpendidikan menyebabkan orang-orang sepertiku bernasib sial. Yang kutahu adalah kata-kata itu terdengar merdu ketika kucoba kuucapkan. Ajaib sekali…
Abad 22
Penulis : Karima Setyorini