Pengesahan rancangan undang-undang omnibus law (5/10) merupakan bentuk patah hati terdalam rakyat kepada pemerintah. Sungguh, rakyat mencintai negara ini dengan penuh rasa kasih dan sayang. Namun pemerintah mengkhianati kami. Maka atas keingkaran pemerintah saat ini, saya akan tuliskan bentuk ketidak percayaan lagi kepada mereka.

Tidak ada pembuat undang-undang yang pembentukannya segopoh layaknya omnibus kecuali rezim hari ini.

Omnibus law merupakan undang-undang sapu jagat. Undang-undang yang memadatkan banyaknya undang-undang dalam satu undang-undang. Namun celakanya, terdapat keganjalan metode legislasi pembuatan omnibus oleh pemerintah. Menurut Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) , pemerintahan mengabaikan asas kejelasan, kedayagunaan, dan hasilguna undang-undang. Ini bertambah parah dengan perumusan naskah akademik yang bebarengan dengan perumusan pasalnya. Hal itu melanggar Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diubah dalam UU No. 15 Tahun 2019.

Istilah omnibus law yang terdengar milenial dan kekinian, Pemerintah tidak memberikan akses informasi yang jelas terkait omnibus kepada masyarakat. Mereka tidak transparan, menciderai undang-undang yang berlaku. Padahal, masyarakat sangat berhak atas transparansi suatu informasi. Terkhusus informasi bersifat publik. Hal ini diungkap oleh Arif Zulkifli, anggota dewan pers. Ia menyatakan bahwa dewan pers tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan omnibus yang di dalamnya juga mengatur tentang pers. Menurutnya semua dibikin sak det sak nyet dan muncul begitu saja.

Tidak ada pembuat paradigma pembentukan undang-undang yang paling menyakitkan kecuali rezim hari ini

Hal lain yang membuat saya geting terhadap pembentukan omnibus ialah subjek utama pertimbangannya. Omnibus berpihak kepada pemilik modal, bukan masyarakat. Pemerintah memangkas regulasi dalam berinvestasi. Bahkan, mereka bersedia memberikan insentif pajak bagi investor. yang bermaksud agar investor senang melakukan investasi di indonesia. Dalam hal ini omnibus bermakna bahwa pemerintah menggelar karpet merah bagi investor – hanya investor, bukan yang lain. Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat turut serta berpendapat terkait karpet merah ini. Ia menuturkan bahwa omnibus merupakan undang-undang yang memastikan investor untuk lebih leluasa masuk dan merampas wilayah adat di tengah ketidakpastian UU Masyarakat Adat. Sungguh, ini ironi bagi masyarakat. Masyarakat diposisikan asing di negeri sendiri oleh pemerintahnya.

Tidak ada produk hukum yang paling menyakitkan kecuali pembuatan omnibus oleh rezim hari ini

Ibarat buah, omnibus mempunyai daging buah layaknya buah-buah pada umumnya. Namun soal rasa, omnibus sangat menyakitkan . Pahit dan busuk. Hal ini tercermin pada pasal tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Omnibus tidak lagi mengakomodir pembukaan lahan dengan cara pembakaran sesuai kearifan lokal bagi masyarakat setempat. Ini membuat masyarakat setempat dapat dipidana.

Barisan pasal pada UU Cipta Lapangan Kerja yang juga diatur dalam omnibus tak kalah menyakitkannya bagi buruh. Kini posisi buruh semakin rentan. Pertama, pada persoalan pengaturan upah misalnya. Upah buruh berdasar pada satuan waktu. Ini sangat memicu pengupahan yang rendah oleh pemilik modal. Sebab omnibus juga menghapus pasal 91 di UU Ketenagakerjaan tentang pengupahan yang sesuai undang-undang. Kedua, dalam persoalan jam kerja yang diatur pada pasal 77. Ada ketidakjelasan skema jam kerja bagi buruh. Jam kerja seriap buruh dibeda-bedakan dan tidak ada pengaturan yang jelas. Hal ini membuat buruh semakin mudah dieksploitasi oleh pemilik modal. Buruh akan kerja lembur bagai kuda. Ketiga, persoalan cuti. Omnibus tidak menghendaki buruh cuti karena haid, menikah, dan ingin memandikan anggota keluarga mereka yang meninggal. Dan yang menurut saya sangat menyakitkan ialah persolan sistem hubungan kerja. Omnibus menghapus perjanjian pembatasan waktu kerja tertentu. Dalam arti kata lain, buruh berstatus sebagai pekerja kontrak atau tidak, pokoknya itu keputusan pemilik modal.

***

Di indonesia kedunguan seperti ini tidak baru saja terjadi. Sejarah orde baru merupakan sejarah kelam bagi bangsa ini. Bangsa yang saat itu sistem politik pemerintahannya diduduki oleh militer dan disokong pebisnis. Sedangkan masyarakatnya, dibungkam, dipinggirkan, dan dihilangkan. Ingat saja terkait penembakan misterius, hilangnya aktivis reformasi, dan tragedi trisakti. Hal itu berdasar pada rentetan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah mendarah daging. Namun anehnya, mengapa hal ini terjadi kembali padahal orde baru telah tiada?

Sungguh kegaduhan pengesahan omnibus mengingatkan saya pada salah satu tokoh sejarah yang barus saya kenal. Ia bernama Lord Acton. Saya takjub olehnya. Terkhusus dalilnya. Ia menyatakan bahwa power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Yang menurut saya dalil ini masih sangat relevan hingga saat ini. Saat-saat pemerintah kembali meniadakan rakyatnya. Saat-saat pemerintah dengan rasa bangga menyongkong kepentingan oligarki. Dan saat-saat ketua dewan perwakilan rakyat mematikan mikrofon anggotanya di waktu persidangan.

Penulis: Ismael Hidayat

Editor: Nesty Omara