“Cinta tidak pernah meminta, ia sentiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta di situ ada kehidupan; manakala kebencian membawa kepada kemusnahan” (Gandhi)

Mohandas Karamchand Gandhi, lahir pada 2-10-1869, di Porbandar, Gujarat, India.

Tokoh yang luar biasa memimpin pergerakan untuk kemerdekaan India, dengan gerakan Ahimsa-nya (tanpa kekerasan), Gandhi merangkul semua kelompok lintas agama di India, untuk menyatukan pikir dan langkah, fokus, demi kemerdekaan hakiki sebuah bangsa bernama India.

Laju sejarah India pada waktu itu, berada pada titik nadir perubahan. Setiap saat dijumpai kabar adanya benturan antara para pemeluk agama. Masing-masing kelompok agama, pada waktu itu menginginkan, terbentuknya negara yang didasari oleh nafas agama tertentu. Akibatnya, India sebagai sebuah negara, terancam mengalami perpecahan.

Gandhi, seorang pemeluk Hindu, namun dia pun berusaha memahami perjalanan serta arah ajaran agama lainnya. Karena dia berkeyakinan, bahwa, agama apapun yang ada di India, berhak hidup, dan tumbuh nyaman serta damai berdampingan dengan agama-agama lain yang berbeda.

Tentu keyakinan Gandhi ini tidak datang begitu saja, pengala

man saat dia berpraktik sebagai pengacara di Afrika Selatan, yang pada saat itu masih berselimut kelam politik Apartheid, membulatkan tekad dan energinya untuk mengubah undang-undang ataupun peraturan yang diskriminatif itu.

Gerakan politik tanpa kekerasan akhirnya dia pilih. Sebagai sebuah rasionalisasi dari ajaran Hindu sederhana yang dia anut, yakni Satya (kebenaran) dan Ahimsa (hampa kekerasan).

Betapapun luasnya dukungan gerakan tanpa kekerasan, namun juga tidak bisa serta merta mencegah bergulirnya roda sejarah India. Pada tahun 1947, India berhasil mendeklarasikan kemerdekaan dari cengkraman Inggris, namun harus dibayar sangat mahal, dengan pecahnya negara muda ini menjadi India (mayoritas Hindu) dan Pakistan (Muslim). Sebuah fase sejarah yang jelas menyesakkan bagi Gandhi yang berjuang seluruh hidupnya, demi keselarasan dan kedamaian antar pemeluk agama.

30 Januari 1948, seorang pemuja fanatisme menghentikan pena sejarah Gandhi. Ketidaksetujuannya pada aktivitas Gandhi, yang berusaha mencegah berkobarnya permusuhan Hindu versus Muslim memicu tindakan ini. Nathuram Godse, nama pembunuh Gandhi. Ia termasuk pada kelompok sayap Hindu fanatik, yang beranggapan Hinduisme terancam dari luar oleh Islam (karena lahirnya Pakistan) dan terancam dari dalam oleh gerakan politik Gandhi yang mengkampanyekan toleransi agama dan persaudaraan Hindu-Islam.

Tiga letusan tembakan memecah keheningan sore itu. Dan tokoh pejuang kemanusiaan ini pun rebah. He Rama (Oh Tuhan) kata itulah yang terakhir keluar dari mulutnya, sesaat sebelum diam untuk selamanya.

Gandhi tokoh yang konsekuen antara keyakinan dengan ucapan-ucapannya. Keyakinannya bahwa harmoni antara masing-masing pemeluk agama adalah pondasi bagi keberlangsungan sebuah bangsa, ternyata belum tentu diamini oleh kelompok lainnya.

Gerak tindak Gandhi konsekuen dengan ucapannya. Sehingga ia menjelma menjadi Lokomotif Perubahan yang mampu menginspirasi dan melecut semangat manusia sebangsanya.

Sebaliknya, seorang yang mengaku dan membangun gagasan sebagai tokoh ternyata banyak yang hanya mampu seperti bicara ditengah gurun, keras namun kering. Karena antara ucapan dan tindakan tidak seiring sejalan. Kesan berkuasa lebih mengemuka, tapi sesungguhnya kosong melompong kebenarannya. Akibatnya apapun yang diucapkan menjadi tanpa makna sama sekali.

Ketokohan Gandhi bahkan menjadi ilham sebuah film klasik yang berjudul Gandhi (1982) yang dibintangi oleh Ben Kingsley dan meraup penghargaan sebagai Film Terbaik pada ajang Academy Award. Gerakan tutup mulut dan anti kekerasannya pun bahkan mengundang komentar dari scientist ternama Albert Einstein, yang berpendapat “(Mungkin) para generasi berikut akan sulit mempercayai bahwa ada orang seperti ini yang pernah hidup di dunia ini.”

Lantas apa relevansi cerita Gandhi diatas terhadap negara tercinta ini ?

Negara ini diambang perpecahan. Boleh percaya atau tidak. Konflik horizontal kian kerap terjadi. Gesekan antar kelompok, yang meletup akibat bias praktik keagamaan, benturan antar kelompok atas nama pemenuhan kebutuhan perut, hingga bentrokan karena sentimen suku atau ras. Infiltrasi agenda radikaliksasi seperti merembes merata ke semua kelompok masyarakat.

Letih dan ironis mungkin. Bahwa contoh kasus pelecehan dan konflik antar umat beragama nyatanya masih terjadi di republik ini. Dan terus terang memprihatinkan penulis sebagai salah satu warga negara.

Amanat UUD (Undang Undang Dasar) laksana tumpukan ide di kertas usang. Jauh, mengawang, tanpa mau disentuh.

Anjuran tinggallah anjuran. sila kedua dalam Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan beradab, sepertinya menjadi meleset esensinya.

Dan jangan lupakan sejarah, bahwa republik ini lahir karena saham banyak orang, yang berasal dari beragam kelompok agama, juga suku. Sekali harmoni ini hilang, jangan kaget bila nantinya esensi awal terbentuknya republik ini juga akan menjadi samar.

Penulis : Widdian Pradipto*

*ex Chief Executive Forum Kajian Manhaj Al Fikr