Category: Cerpen

Asa Terakhirku..

Rutinitas pagiku telah selesai dua jam lalu. Sudah dua bulan siklus hidupku begini-begini saja. Bangun, mandi, makan, melamun adalah kegiatan konstanku. Suasana rumah begitu senyap padahal aku sudah menyalakan televisi di depanku. Keributan dari arah dapur pun tidak membantu untuk menghidupkan suasana rumah ini. Agaknya suasana hatiku tidak begitu bagus. Aku duduk melamun sambil mengamati berbagai kudapan yang disajikan ibu di meja makan, rasanya seperti menunggu sesuatu yang tak kuketahui. Aku menatap kosong layar televisi yang menayangkan acara komedi yang lebih menyerempet ke arah bodoh. Bertanya-tanya siapa yang dapat menggiring dunia pertelevisian Indonesia menjadi lebih baik. Aku muak melihat...

Read More

Jangan Bedakan Kita Karena Kita Sama

Di pagi yang cerah ini aku sedang memasak nasi goreng untuk sarapanku dan kakakku. Biasanya sih yang masak Ibu dan aku cuma bantuin aja. Tapi hari ini Ayah dan Ibu harus berangkat keluar kota sejak dini hari tadi karena Ayah ada urusan pekerjaan selama beberapa hari di sana. Jadi mau nggak mau aku yang masak kali ini daripada nanti sakit perut karena harus makan masakan kakakku, hehe. Sebenernya kita bisa beli makanan diluar buat sarapan, tapi aku memilih masak sendiri agar lebih hemat dan uangnya bisa disimpen buat belanja online. Kalo urusan masak sih, skill-ku bisa dikatakan masih lumayan...

Read More

Teruntuk Hipokrit Pengabai Tameng

Namaku Hassano Wiratman. Umurku 25 tahun. Aku bekerja di salah satu perusahaan elektronik terbesar di kotaku. Sudah tiga tahun aku bertahan dalam posisi sebagai engineering (teknisi elektrikal). Aku menandatangani kontrakku pada Maret 2018 dengan masa kontrak selama 5 tahun. Aku pun bekerja menyandang status pekerja harian dengan gaji sebesar Rp.100.000 per hari. Gaji itu jelas tak cukup untuk membiayai kebutuhan hidupku sehari-hari. Terlebih aku hanya anak yatim piatu sedari kecil dan sekarang memiliki istri serta seorang bayi mungil. Namun, aku memilih bertahan sebab tak ada pemasukan lain selain dari perusahaan itu. Tiga tahun terbilang waktu yang cukup lama bagi...

Read More

Duka Perempuan dalam Sebuah Kado

Hei,aku punya kado untuk diriku sendiri di hari ulang tahunku ini. Tadi siang aku membelinya di pasar. Bagaimana? Bagus kan dress ini? Aku selalu ingin memakainya. Sedari dulu, aku harus menahan diri dan memilih untuk tidak berani mengenakan pakaian model dress seperti ini, karena takut akan celaan dari orang sekitarku yang masih berpikiran konservatif. “Berpakaianlah yang benar, itu terlalu terbuka. Kamu mau menggoda laki-laki di luar sana?”, “Salahmu berpakaian seperti itu. Mengundang hasrat laki-laki saja!” Itu kata-kata yang sering keluar dari mulut mereka ketika terjadi pelecehan atau kekerasan pada perempuan–aku muak mendengarnya. Masih saja, pakaian perempuan digunakan sebagai alibi atas tindakan mereka itu. Kok terus-terusan perempuan sih yang disalahkan? Rasa-rasanya tubuh perempuan ini dipenjara. Hanya dijadikan objek saja bahkan untuk hal yang sebebas memilih pakaian, masih tetap diatur. Bagiku, ini adalah bentuk ketidakdilan. Ketidakadilan? Iya. Selain perkara pakaian, aku juga punya cerita lain. Dahulu, aku sangat ingin bersekolah di perguruan tinggi. Aku ingin bisa meraih cita-citaku menjadi seorang guru. Sayangnya, aku bukan dari keluarga yang berkecukupan. Sehingga aku harus rela membuang cita-citaku tatkala ibu berkata, “sudahlah nduk, ndak usah. Kami tidak punya uang. Lebih baik kamu belajar memasak saja. Karena kodrat perempuan ujung-ujungnya juga di dapur.” Tentulah aku merasa sedih ketika mendengarnya. Tapi, bagaimanapun aku harus mempertimbangkan kondisi keuangan dalam keluarga, hingga akhirnya memilih untuk bekerja dengan bayaran yang tak seberapa. Lebih sedih lagi ketika dua tahun setelahnya, adik...

Read More

Kesah

Kesah Oleh: Mar “Jangan kau jadi perempuan sesat, menolak menguburkan mayat anak perempuanmu. Kau hanya akan membuatnya menderita!” “Bukan dikuburkan atau tak dikuburkan yang membuatnya menderita, kau tahu itu! Kematian baru bisa diterima si mati setelah segala urusannya selesai, dan untuk anakku, artinya ia harus mendapat keadilannya.” Itulah kalimat terakhir yang dilontarkan ibuku, sesaat sebelum sekelompok orang dusun menarik tubuhnya, mengikat tangannya, dan memasungnya dalam sebuah kandang yang akan jadi penjara seumur hidupnya. Luka dan luka, seakan-akan tak habis-habis ditorehkan dalam tubuh kami. Ibu hanya menuntut keadilan atasku, anak semata wayangnya yang mati dalam keadaan paling mengenaskan yang bahkan...

Read More